Setelah wafatnya Fadl bin Sahal dan Ali Ridha, Al-Makmun mengambil alih sendiri kendali kekuasaan. Ketika memasuki Baghdad, dia masih mengenakan simbol hijau yang merupakan warna pendukng Ahlul Bait. Para pemuka Bani Abbas meminta agar Al-Makmun kembali mengenakan pakaian hitam sebagai simbol Bani Abbas. Permintaan ini awalnya ditolak oleh Al-Makmun. Tapi setelah merenung beberapa hari, dia akhirnya mengganti simbol hijau dengan warna hitam.
Setelah wafatnya dua orang penting di sisi Al-Makmun, Fadl bin Sahal dan Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim, Al-Makmun mulai merekonstruksi pemerintahannya. Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, bahwa Ali Ridha telah berhasil menyingkap fakta tentang semua yang terjadi selama ini di dalam pemerintahan Al-Makmun. Kini dia memutuskan untuk mengambil alih sendiri kendali pemerintahan.
Setelah wafatnya Fadl bin Sahal, Al-Makmun segera melantik adiknya Fadl, Hasan bin Sahal sebagai wazirnya.[1] Dan setelah wafatnya Ali Ridha – yang sebelumnya sudah diangkat sebagai putra mahkota – Al-Makmun segera menulis pengumuman ke para pentinggi Bani Abbas dan masyarakat Baghdad, tentang pembatalan keputusan pengangkatan putra mahkota. Awalnya, pengumuman dari Al-Makmun ini tidak digubris oleh para petinggi Bani Abbas.
Mereka menilai bahwa Al-Makmun sudah lebih condong pada kelompok pendukung Ahlul Bait dari pada Bani Abbas. Bahkan setelah wafatnya Ali Ridha, Al-Makmun masih mengenakan simbol hijau yang merupakan simbol Ahlul Bait. Mereka juga mendapat informasi bahwa Al-Makmun sangat bersedih ketika kehilangan Ali Ridha. Al-Makmun sendiri yang memimpin sholat jenazah, bahkan memakamkan Ali Ridha di samping makam Harun Al-Rasyid.[2] Isu kedekatan Al-Makmun dengan kelompok Ahlul Bait tersebut, menjadi pertimbangan tersendiri bagi Bani Abbas untuk menerima kembali Al-Makmun sebagai khalifah mereka.
Mendengar respon adanya negatif dari pemuka Bani Abbas dan masyarakat Baghdad, Al-Makmun akhirnya mengumpulkan para komandan militernya, termasuk di antaranya Tahir bin Husein, pahlawan yang bersama Harsamah bin Ayun berhasil menaklukan Baghdad dan membunuh Al-Amin. Tahir bin Husein kemudian menasehati Al-Makmun agar segera melepas simbol warna hijau dan kembali menggantinya dengan warna hitam, warna kebesaran Bani Abbas.[3] Untuk sementara dia tidak menjawab.
Di tempat berbeda, meskipun orang-orang Baghdad dan para pemuka Bani Abbas masih belum sepenuhnya menerima kembali Al-Makmun, tapi mereka sudah berangsur-angsur menanggalkan sumpahnya pada Ibrahim bin Mahdi yang sebelum ini mereka angkat sebagai khalifah menggantikan Al-Makmun. Melihat orang-orang mulai menanggalkan sumpahnya, Ibrahim memutuskan melarikan diri. Menurut Imam As-Sututhi, dia kemudian bersembunyi selama delapan tahun lamanya.[4]
Adapun Hasan bin Sahal, yang baru saja ditunjuk sebagai wazir menggantikan Fadl bin Sahal, tiba-tiba terserang depresi berat (melancholia). Menurut Tabari, penyebab awalnya dia terserang sakit keras, yang kemudian menyerang saraf otaknya. Ketika sembuh, dia mengalami gangguan mental yang parah, sampai-sampai dia harus dipasung dan di tempatkan di dalam rumah khusus. Kondisi Hasan bin Sahal ini kemudian dilaporkan pada Al-Makmun oleh komandannya. Al-Makmun hanya menjawab, bahwa sekarang dia sedang berjalan menuju Baghdad.[5]
Dengan demikian, dua penguasa yang tadinya berebut tahta tertinggi di Baghad dan Al-Iraq (Ibrahim bin Mahdi dan Hasan bin Sahal), kini sepenuhnya tidak bisa menjalankan fungsinya. Masyarakat Baghdad, khususnya Bani Abbas tidak memiliki lagi pegangan, selain menerima Al-Makmun kembali. Hanya saja mereka masih keberatan dengan kecenderungan politik Al-Makmun yang lebih condong pada kelompok Ahlul Bait.
Al-Makmun sendiri sampai di Baghdad pada bulan Safar 204 H. Ketika itu di memerintahkan agar semua orang di Baghdad menggenakan pakaian hijau. Apabila ditemukan masih ada yang menggunakan pakaian hitam, maka harus dirobek. Penduduk ketakutan, dan tak satupun para elit Baghdad yang diperkenankan masuk menghadap ke Al-Makmun selain mereka menggunakan pakaian hijau.[6]
Ketika menyaksikan fenomena ini, para pemuka Bani Abbas datang menghadap Al-Makmun. Mereka mengatakan, bahwa pakaian hitam ini adalah simbol Dinasti Abbasiyah yang sudah ditetapkan oleh para pendahulu Al-Makmun. Itu sebabnya penduduk mengenakannya. Ini bukanlah simbol pengkhianatan, tapi justru sebagai simbol dukungan pada Dinasti Abbasiyah yang sekarang dipimpinnya.[7]
Setelah mendengar pendapat dari para pemuka Bani Abbas, Al-Makmun sempat berpikir selama beberapa hari. Dia mulai menilai, apa gunanya orang-orang mematuhi perintahnya, sedang di dalam hati mereka membencinya. Perenungan Al-Makmun terus berlanjut. Selama proses itu, surat-surat dari komandan militer pun berdatangan yang memohon agar khalifah bersedia menanggalkan simbol warna hijau.[8]
Akhirnya pada satu hari di akhir bulan Safar 204 H, Al-Makmun memanggil semua pemuka Bani Abbas dan juga penduduk. Mereka semua datang berbondong-bondanog dengan mengenakan baju hijau. Dan ketika semua sudah berkumpul, di hadapan semua yang hadir, Al-Makmun segera meminta jubah hitam dan langsung mengenakannya. Setelah itu dia meminta jubah kehormatan berwarna hitam dan memasangkannya sendiri ke tubuh Tahir bin Husein. Selanjutnya, dia memanggil satu per satu komandan militernya, dan menyerahkan sendiri seragam warna hitam.[9] Sejak hari itu, para prajurit dan juga penduduk Baghdad kembali mengenakan pakaian hitam sebagai simbol dukungan mereka pada Bani Abbas.
Imam As-Suyuthi mengutip riwayat dari Ash-Shuli menyebutkan bahwa sebagian keluarga Al-Makmun berkata, “Engkau adalah orang pilihan dan keturunan Ali bin Abi Thalib. Adapun kekuasaan yang kini kau pegang membuat posisi mu jauh lebih kuat untuk melakukan kebaikan kepada mereka daripada kekuaan itu jatuh di tangan mereka.”[10]
Al-Makmun menjawab, “Sesungguhnya, semua yang kulakukan penyebabnya karena aku melihat bahwa ketika Abu Bakar berkuasa, dia tidak pernah mengangkat seorang dari Bani Hasyim. Demikian juga dengan Umar dan Utsman. Setelah Ali menjadi khalifah, dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gubernur Basrah, Ubaidillah sebagai gubernur Yaman, Mabad sebagai gubernur Makkah, dan Qutsam sebagai gubernur Bahrain. Tak ada keturunan Abbas yang tak diberinya jabatan. Ini tentu saja tindakan yang harus dibalas setimpal oleh kita yang berkuasa saat ini.”[11] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Dikisahkan oleh Tabari, bahwa setelah Al-Makmun mengeksekusi para pembunuh Fadl bin Sahal, dia mengirim kepala para pembunuh tersebut Hasan bin Sahal. Al-Makmun menyatakan duka cita yang mendalam atas wafatnya Fadl, dan meminta Hasan menggantikan posisi Fadl sebagai wazirnya. Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 81
[2] Ibid, hal. 85
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 418
[4] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 327
[5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 85
[6] Ibid, hal. 96
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Menurut Tabari, sejak memasuki Baghdad, Al-Makmun masih mengenakan pakaian hijau selama 27 hari, sebelum akhirnya memutuskan mengenakan pakaian hitam pada tanggal 21 Safar 204 H (818 M). Lihat, Ibid
[10] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit
[11] Ibid