Dia dilantik sebagai khalifah kedelapan Bani Abbas menggantikan Al-Makmun pada 8 Rajab 218 H/ 8 Agustus 833 M. Di tengah semaraknya gairah intelektual Islam masa itu, Al-Muktasim justru tidak bisa membaca dan menulis.
Wafatnya Al-Makmun, menandai berakhirnya fase awal perkembangan Dinasti Abbasiyah. Karena setelah ini, Anak keturunan Abbas akan melalui fase sejarah yang baru, dimana gugus tantangan yang mereka hadapi terbilang berbeda dengan para pendahulunya.
Adanya sejumlah tantangan ini, mendorong para khalifah setelah Al-Makmun membuat sejumlah terobosan dan modifikasi dalam model pemerintahannya. Salah satu yang paling kentara adalah keputusan untuk menggunakan jasa para budak dari Turki untuk mengisi pos ketentaraan di dalam struktur kekhalifahan Abbasiyah.
Keputusan ini, di kemudian hari akan berdampak luas bagi jalannya sejarah Islam, dan juga dunia. Dan keputusan itu, dimulai sejak masa kekhalifahan Abu Ishaq, yang bergelar Al-Muktasim.
Profil Singkat Al-Muktasim
Al-Muktasim bernama lengkap Abu Ishaq Muhammad bin Harun Al-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi bin Abdullah Al-Manshur. Ketika dulu tahun 186 H, Harun Al-Rasyid membagi-bagikan kekuasaan di antara putra-putranya (Al-Amin, Al-Makmun, dan Al-Muktaman), [1] Al-Muktasim bahkan tidak disebut namanya.
Dikatakan oleh Imam As-Suyuthi, Harun Al-Rasyid tidak memberikan kekuasaan pada Al-Muktasim, karena dia seorang anak yang buta huruf. Namun, Allah mengkarunikan khalifah padanya. (Bahkan) Dia menjadi anak-anak Al-Muktasim, bukan anak Harun Al-Rasyid yang lain, sebagai khalifah sepeninggalnya. [2]
Al-Muktasim lahir di daerah bernama Zibatrah (sekarang Suriah) dari rahim seorang mantan budak yang bernama Maridah. Konon, Harun Al-Rasyid memiliki perhatian besar pada perempuan ini, sehingga dia memerdekakan Maridah, lalu menikahinya. Soal tahun kelahiran Al-Muktasim, ada beberapa pendapat yang berbeda. Sebagian ada yang mengatakan dia lahir pada tahun 180 H, dan ada juga yang mengatakan dia lahir pada tahun 178 H.[3]
Al-Muktasim dikenal sebagai lelaki yang pemberani, kuat dan berkemauan keras, tapi miskin ilmu (karena tidak bisa membaca).[4] Memang cukup mengherankan, di tengah semaraknya gairah intelektual di masa Harun Al-Rasyid yang kemudian berlanjut hingga masa Al-Makmun, masih ada satu pangeran Abbasiyah yang tidak bisa membaca.
Terkait kondisi Al-Muktasim yang memprihatinkan ini, As-Shuli meriwayatkan dari Muhammad bin Said, dari Ibrahim bin Muhammad Al-Hasyimi, dia menceritakan bahwa (dulunya pernah) Al-Muktasim belajar baca tulis kepada seorang pelayan, lalu pelayan itu meninggal dunia. maka Harun Al-Rasyid berkata, “Sekarang pelayan yang mengajari mu meninggal.” Al-Muktasim mengiyakan pernyataan ayahnya. Tapi kemudian dia tidak melanjutkan belajar baca tulis. Lalu Harun Al-Rasyid berkata, “Sesungguhnya, orang-orang yang pintar baca tulis tidak akan bisa mencapai kedudukan yang akan dicapainya. Maka biarkan saja dia, jangan diajari!” Akibatnya, dia tidak menguasai baca tulis, dan hanya mampu membaca dengan terbata-bata.[5]
Namun demikian, sebagaimana dikatakan As-Suyuthi, Al-Muktasim memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Ibnu Abi Dawud menceritakan, “Al-Muktasim pernah menjulurkan tangannya padaku seraya berkata,’Hai Abu Abdullah, gigitlah lengan ku sekuat tenaga mu!’ (awalnya) Aku tidak mau melakukannya. Tapi Al-Muktasim mendesak, ‘Sesungguhnya gigitan mu tidak akan membahayakan diriku.’ Mendengar itu aku tergoda untuk menguji kebenaran ucapannya. Ternyata tangannya memang tak mempan digigit dengan gigi.”[6]
As-Suyuthi juga mengemukan kesaksian dari Nafthawaih yang berkata, “Al-Muktasim adalah orang yang tahan pukul. Dia pernah memegang tangan seorang laki-laki dan mematahkannya.”[7]
Terkait profil umum Al-Muktasim, As-Suyuthi mengatakan, “Dia banyak melakukan hal-hal baik, kalimat-kalimatnya amat fasih, dan syair-syairnya pun tidak terlalu buruk. Hanya saja, kalau sedang marah, dia tidak peduli siapa yang dia bunuh.”[8]
Menjadi Khalifah ke delapan Abbasiyah
Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelum-sebelumnya, Al-Muktasim berhasil memajat struktur politik Dinasti Abbasiyah dengan kesetiaannya yang penuh pada Al-Makmun. Meski tidak pandai baca tulis, tapi kemampuan militer Al-Muktasim cukup bisa diandalkan. Di tengah huru hara politik yang terus mengancam singgasana Al-Makmun, Al-Muktasim berhasil menjadi benteng tangguh dan terpercaya.
Dia berhasil mempersembahkan kemenangan dan mengamankan sejumlah wilayah dari ancaman pemberontakan Abbasiyah. Hingga akhirnya dia dipercaya untuk menjadi penguasa wilayah Suriah dan Mesir. Beberapa waktu menjelang akhir hayat Al-Makmun, Al-Muktasimlah satu-satunya kerabat dekat yang ada di sampingnya. Maka tidak mengherankan bila pada saat itu, Al-Makmun mengirim surat ke seluruh wilayah kekuasaannya dengan kalimat pembuka, “Dari Abdullah Al-Makmun dan saudaranya, Abu Ishaq, khalifah yang akan menggantikannya sepeninggalnya.”[9]
Kalimat inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi Al-Muktasim untuk mengklaim khilafah. Sebagaimana dikisahkan As Suyuthi, bahwa awalnya, pewaris tahtah yang diinginkan Al-Makmun adalah Abbas bin Al-Makmun. Tapi pada waktu sekaratnya, Al-Makmun mengira dia tidak akan bertemu lagi dengan putranya, sehingga surat pun diedarkan. Tapi ternyata mereka masih bisa bertemu, meski kondisi Abbas saat itu sangat lelah. Hanya saja, surat sudah tersebar, dan diketahui pula oleh publik. Tidak ada waktu bagi Al-Makmun untuk mengubah keputusannya.[10]
Maka demikianlah Al-Muktasim memenuhi takdinya. Dia dilantik sebagai khalifah kedelapan Bani Abbas pada 8 Rajab 218 H/ 8 Agustus 833 M. Tantangan pertamanya, adalah mengukuhkan legitimasi kekuasaannya. Dia harus mengambil baiat dari keponakannya (Abbas bin Al-Makmun) yang kecewa atas keputusan Al-Makmun.[11] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Terkait kisah pembagian kekuasaan oleh Harun kepada putra-putranya, bisa merujuk pada edisi ke-38 serial Dinasti Abbasiyah. Untuk membaca bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-38-harun-al-rasyid-9/
[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 311
[3] Ibid, hal. 354
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hal. 355
[7] Ibid
[8] Ibid, hal. 354
[9] Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-69-wafatnya-al-makmun/
[10] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 334-335
[11] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (University of Manchester: State University of New York Press, 1991), hal. 1