Dinasti Abbasiyah (72): Abu Ishaq Al-Muktasim (3)

in Sejarah

Last updated on July 30th, 2019 12:28 pm

Karena terbatasannya, Al-Muktasim membangun sumber daya politiknya dari unsur yang tidak populer. Setelah mengangkat perdana menteri dari agama Kristen, dia pun membentuk satuan ketentaranya dari kalangan budak (Mamluk).

Gambar ilustrasi. Sumber: Pinterest.com

Abu Ishaq Al-Muktasim bukanlah satu di antara tiga putra mahkota yang diinginkan ayahnya, Harun Al-Rasyid. Akibatnya, dia tidak memiliki sumber daya memadai untuk memegang kekuasaannya. Ini berbeda dengan kakak-kakaknya yang langsung diangkat sebagai gubernur sebuah wilayah sesaat setelah dilantik sebagai putra mahkota. Wajar bila kemudian mereka memiliki sumber daya manusia dan logistik yang cukup untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.

Berbeda dengan kakak-kakaknya, Al-Muktasim harus mencari sendiri sumber daya untuk menggapai kedudukannya di tengah hingar bingar perebutan kekuasaan para putra mahkota. Karena hampir seluruh sumber daya itu habis dikuasai kakak-kakaknya ataupun musuh-musuh Abbasiyah.

Terkait dinamika perebutan sumber daya manusia dan logistik ini, agaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu. Hal ini penting guna memahami perubahan politik yang terjadi di era Al-Muktasim dan khalifah penerusnya. Dan pada masa selanjutnya, pilihan politik yang diambil oleh Al-Muktasim tersebut, berdampak luas pada skema perpolitikan di dunia Islam secara umum.

Sebagaimana pernah diurai pada edisi terdahulu, bahwa Dinasti Umayyah menggunakan semangat ashobiyah bangsa Arab untuk melanggengkan kekuasaannya. Tak ayal ketika itu, bangsa Arab sangat dominan di dalam tubuh pemerintahan Dinasti Umayyah. Sedang, orang-orang non-Arab nyaris tak mendapat tempat, baik dalam struktur kekuasaan ataupun dalam kewenangan agama.[1]

Adapun Abbasiyah, memilih antitesa dari apa yang dibangun oleh Dinasti Umayyah. Mereka mengobarkan semangat anti-Arab di tengah masyarakat non-Arab, khususnya Persia dan Khurasan. Maka ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, orang-orang Persia-lah yang banyak menduduki posisi kunci di dalam kekuasaan negara. Sedangkan orang-orang Arab, umumnya menjadi oposisi, atau bahkan memberontak terhadap kekuasaan Abbasiyah.

Ketika Harun Al-Rasyid wafat, kemudian terjadi perebutan kekuasaan di antara para putra mahkota. Yang diperebutkan ketika itu adalah dukungan dari kaum elit dan tentara yang tidak lain adalah orang-orang dari Persia dan Khurasan. Adapun inti kekuatan militer Dinasti Abbasiyah ketika itu dikenal dengan sebutan ahl Baghdad atau Abna. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang Arab yang bermigrasi ke Khurasan di awal masa pemerintah Islam. Namun seiring berjalannya waktu, mereka sudah dinaturalisasi dan dianggap sebagai orang Khurasan itu sendiri.[2]

Di tengah dinamika perebutan kekuasaan para putra mahkota tersebut, Al-Muktasim akhrinya membuat terobosan. Dia membangun kekuatannya sendiri dari unsur yang tidak diduga oleh para petinggi Abbasiyah, yaitu kelompok minoritas dan para budak.

Maka tidak mengherankan bila kemudian – ketika dilantik menjadi khalifah – Al-Muktasim mengangkat Fadl bin Marwan yang seorang Kristen, sebagai wazirnya (perdana menteri). Adapun untuk mengisi pos-pos penting ketentaraannya, dia menggunakan jasa para budak dari sejumlah wilayah, di antaranya yang paling menonjol adalah budak dari Turki yang kemudian dikenal dengan sebutan Ghilman; mereka yang datang dari kawasan Transoxiana, Asia Tengah, disebut dengan nama Ferdghina; serta mereka yang berasal dari dataran tinggi Yaman dan Afrika, atau yang disebut Maghriba (orang barat). [3] Satuan militer para budak ini, pada masa selanjutnya dikenal sejarah dengan nama “Mamluk” (budak).[4]

Terobosan yang dibuat Al-Muktasim ini terbilang cerdik. Sebab dilihat dari perspektif ekonomi, satuan militer para budak ini jauh lebih murah. Sebagai budak, mereka tidak membutuhkan gaji. Berbeda dengan Abna, satuan prajurit yang terbentuk secara profesional. Dinilai secara politis, para budak ini dinilai lebih aman bagi stabilitas kekuasaan. Karena strata mereka yang begitu rendah, membuat mereka tidak memiliki mimpi cukup jauh untuk memproyeksikan tampuk kekuasaan. Adapun dari sisi loyalitas, mereka tentu tidak perlu diragukan. Jauh sebelum Al-Muktasim diangkat menjadi khalifah, para budak ini sudah berhasil menunjukkan kesetiannya dalam membantu Al-Muktasim menuntaskan misi-misi militernya.

Maka demikianlah, dengan sumber daya seadanya yang dimiliki, Al-Muktasim berhasil mengubah keterbatasannya menjadi keunggulan yang dibutuhkan. Dengan cermat dia mengajari mereka para budak tersebut teknik bertempur dan cara berstategi. Bahkan Al-Makmun pun sangat mengagumi kesetiaan dan kemampuan tempur pasukan yang dibangun Al-Muktasim ini. Puncaknya adalah ketika mereka dibawa oleh Al-Makmun untuk bertempur menghadapi Bizantium.

Alasan Al-Makmun ketika itu, karena pasaukan inti Abbasiyah (Abna) dianggapnya sudah tidak bisa dipercaya – baik dalam hal kesetiaan maupun skill – untuk melakukan pertempuran besar di Bizantium. Untuk itulah dia meminta Al-Muktasim agar membawa pasukan yang sudah dilatihnya. Dan dugaan Al-Makmun tepat. Pasukan yang dibawa Al-Muktasim ini berhasil mempersembahkan kemenangan untuk Dinasti Abbasiyah.

Setelah wafatnnya Al-Makmun, pasukan inti Abbasiyah ini diwarisi oleh Abbas bin Al-Makmun. Ini sebabnya satuan tentara inti Abbasiyah (Abna) menolak ketika Al-Muktasim diangkat sebagai khalifah. Meski kemudian mereka menyatakan baiatnya pada khalifah yang baru, tapi Al-Muktasim tidak percaya seratus persen pada mereka.

Ini sebabnya, tak lama tiba di Baghdad, Al-Muktasim membentuk kops baru dalam sistem ketentaraan Abbasiyah. Mereka tidak lain adalah para budak yang berasal dari sejumlah daerah tersebut (Turki, Ferdghina, dan Maghriba) . Dan masing-masing kelompok, dipimpin oleh orang yang berasal dari tempat yang sama dengan mereka. Adapun Abna, mereka tidak diganggu kedudukannya. Besar kemungkinan ini dilakukan Al-Muktasim untuk menjaga stabilitas politik di ibu kota Dinasti Abbasiyah tersebut. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:   


[1] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 199-203. Uraian lebih jauh terkait skema politik yang terbentuk pada masa Dinasti Umayyah, bisa melihat edisi terdahulu dari serial ini dengan mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-3-menunggangi-revolusi-2/

[2] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. xv

[3] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 282

[4] Kata “Mamluk” berasal dari bahasa Arab yang berarti “seseorang yang dimiliki”, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah “budak”. Uraian lebih jauh mengenai Mamluk dan kiprah mereka dalam sejarah, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/asal-usul-dinasti-mamluk-1-siapa-mamluk/ c

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*