Dinasti Abbasiyah (78): Abu Ishaq Al-Muktasim (9)

in Sejarah

Last updated on August 17th, 2019 05:46 am

Pada tahun 220 H, Al-Muktasim memecat Fadl bin Marwan dari posisinya sebagai wazir (perdana menteri), karena tuduhan korupsi. Di tahun ini juga, Al-Muktasim mengangkat Al-Afshin, seorang jenderal asal Turki, untuk menjadi panglima perang Abbasiyah.

Lukisan karya seniman Persia Salik ibn Said (1493-1494 M). Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org

Pada tahun 220 H, atau ketika Al-Afshin ditugaskan berangkat menghadapi Babak Khurmi, Al-Muktasim memecat Fadl bin Marwan dari posisinya sebagai wazir (perdana menteri). Secara umum, alasan pemecatan ini karena Fadl dituduh melakukan korupsi. Pada tahun ini, harta Fadl bin Marwan tiba-tiba di audit oleh Al-Muktasim. Dari hasil audit tersebut, ditemukan kelebihan uang sebesar satu juga dinar yang tidak ada laporannya.[1]

Menurut Tabari, proses terjadinya inspeksi mendadak terhadap harta kekayaan Fadl bin Marwan ini sebenarnya cukup panjang. Tapi pada intinya, Fadl agaknya sudah terlalu nyaman dengan posisinya sebagai wazir, sehingga mulai berani menentang perintah Al-Muktasim.[2]

Penentangan ini bermula ketika Al-Muktasim memasuki Kota Baghdad dan memerintahkan Fadl agar memberikan hadiah pada para penyanyi dan penghibur di kota itu. Tapi perintah ini dianggap angin lalu oleh Fadl, karena dianggap sebagai urusan yang tidak terlalu penting.[3]

Hingga satu ketika, Al-Muktasim berjalan-jalan bersama salah satu penghibur tersebut di sebuah taman. Di hadapan Al-Muktasim, sang penghibur mengatakan, bahwa dia sedang berjalan bersama seorang budak, bukan khalifah. Karena khalifah yang sesungguhnya adalah Fadl bin Marwan. Dari dialah semua perintah datang, dan semua keputusan ditentukan. Mendengar ini Al-Muktasim marah, lalu bertanya, “perintah ku yang mana yang tidak ditunaikan oleh Fadl?”[4]

Sang penghibur kemudian menjelaskan bahwa perintahnya untuk memberikan hadiah kepada para penghibur dan penyanyi itu sampai saat itu belum juga terlaksana. Itu menandakan bahwa khalifah hanyalah boneka yang ucapannya tidak berarti. Mendengar laporan ini, Al-Muktasi tidak membantah ataupun langsung memarahi Fadl bin Marwan. Tapi ini menjadi catatan sendiri dalam benak Al-Muktasim. Dan sejak itu, hubungan Fadl dengan Al-Muktasim, mulai renggang.[5]

Menurut Tabari, pada awalnya, Fadl bin Marwan adalah orang yang sangat dekat dengan Al-Muktasim. Sedemikian sehingga, Fadl tidak hanya dipercayakan mengurus administrasi pemerintahan, tapi juga keuangan dan pajak. Tapi sejak peristiwa tersebut, Al-Muktasim menunjuk sosok bernama Ahmad bin Ammar Al-Khurasani sebagai kuasa keuangan negara. Sedang Fadl, untuk sementara waktu masih ditetapkan pada posisinya.[6]

Hingga satu ketika Al-Muktasim membangun Samarra. Ada satu masalah yang menyebabkan proyek itu terhenti sementara. Melihat ini, Al-Muktasim murka. Dia lalu mendatangi Fadl dan mengaudit harta bendanya. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal, dari hasil audit tersebut ditemukan adanya kebocoran dana sangat besar yang mengalir ke Fadl bin Marwan. [7]

Dan setelah sejumlah ketegangan yang dilewati antara Al-Muktasim dan Fadl bin Marwan, tibalah momen ketika Al-Muktasim sedang asyik menikmati hiburan dari para seniman, dia memanggil Fadl bin Marwan untuk menghadap. Setalah Fadl datang, dia diperintahkan mendekat. Lalu dengan setengah berbisik, Al-Muktasim berkata seraya menggambit tangan kiri Fadl, “kembalikan cincin dan segel kerajaan ku!”[8]

Mendengar ini, Fadl tidak berdaya. Cincin itupun dilepaskan sendiri oleh Al-Muktasim dari jadi Fadl dan langsung mengenakannya ke jari Ahmad bin Ammar Al-Khurasani yang sedari tadi menemaninya. Dengan demikian, pergantian posisi wazir pun sudah terjadi.[9]

Di tahun yang sama, Al-Muktasim melepas angkatan perangnya ke wilayah Azarbaijan untuk menaklukkan kekuatan Babak Khurmi. Pasukan ini dipimpin oleh seorang jenderal asal Turki yang dikenal sebagai Al-Afshin.

Sekilas tentang Al-Afshin

Al-Afshin, bernama lengkap Haidar bin Kawus bin Saban. Dia sebenarnya adalah pangeran pewaris tahta Ashrosna/Osrusana (sekarang kawasan utara Tajikistan). Dulunya, wilayah ini berhasil ditaklukkan tak lama setelah pasukan Dinasti Umayyah menginvasi kawasan Asia Tengah sekitar tahun 712 Masehi.[10]

Meski sudah ditaklukkan, wilayah ini tak sepenuhnya stabil. Sejumlah pemberontakan kerap kali terjadi. Dan pada tahun 722 M, Raja Ostusana yang juga ayah Al-Afshin, memutuskan untuk melakukan perlawanan secara total terhadap Dinasti Umayyah. Hanya saja, pemberontakan itu gagal, dan sang raja pun di hukum mati.[11] Bersamaan dengan itu, para anggota kerajaan kehilangan hak istimewa mereka dan menjadi warga biasa (budak).

Tapi bagi masyarakat di Asia Tengah – khususnya kawasan Transoxiana – keluarga ini tetap dihormati sebagai bangsawan. Itu sebabnya, ketika Al-Muktasim menggunakan jasa budak-budak dari kawasan Farghana, dia menggunakan Al-Afshin untuk menjaga loyalitas kaumnya.

Al-Afshin memutuskan masuk Islam dan menjadi pengawal setia Al-Muktasim selama masa kepemimpinan Al-Makmun. Setelah masuk Islam dia mengganti namanya menjadi Haidar. Itu sebabnya, kemudian dia dikenal juga dengan nama Afshin Haidar.[12]

Ketika Al-Muktasim ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur Suriah dan Mesir, beberapa kali dia menguji kesetiaan dan kemampuan militer Al-Afshin. Makin diuji, makin terlihat kecakapan dan kehebatan pangeran Osrusana ini. Tak heran ketika Al-Muktasim dilantik menjadi khalifah, Al-Afshin diangkat menjadi salah satu jenderal kepercayaan Al-Muktasim. Dia dibuatkan istana khusus di Samarra, lengkap dengan fasilitas untuk pasukannya.[13]

Ketika Al-Muktasim akhirnya mendapatkan peta keseluruhan kekuatan Babak Khurmi, Al-Afshin didaulat sebagai panglima angkatan perang Abbasiyah. Dia ditugaskan untuk menaklukkan Benteng Al-Badhdh dan menghancurkan kekuatan Babak Khurmi yang sebelumnya nyaris tak terkalahkan. Tapi sebagaimana akan kita saksikan selanjutnya, di bawah Al-Afshin, metode perang tentara Abbasiyah menjadi sangat berbeda. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 444

[2] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 35

[3] Ibid, hal. 30

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid, hal. 31

[7] Ibid

[8] Ibid, hal. 35

[9] Ibid

[10] Lihat, Mehrdad Kia, The Persian Empire: A Historical Encyclopedia (volume 1), (California: ABC-CLIO, 2016), hal. 101

[11] Ibid

[12] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 446

[13] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*