Rencana pemberontakan Abbas bin Al-Makmun, memaksa Al-Muktasim menumpas semua komandan pasukan inti Abbasiyah. Sehingga yang tersisa tinggalah komandan pasukan dari Turki. Tidak sampai di sana, dia juga memerintahkan agar semua saudara laki-laki Abbas di bunuh.
Setelah berhasil menaklukkan Binzantium dan menundukkan kekuatan Babak Khurmi, nama khalifah Al-Muktasim kian berkibar, tak kalah menterang dari para pendahulunya. Setibanya di Samarra, Al-Muktasim dan pasukannya disambut layaknya raja yang baru menang perang oleh masyarakat. Tapi tidak banyak yang mengetahui, bahwa sepulangnya dari perang itu, Al-Muktasim membawa setumpuk persoalan politik yang harus dia tuntaskan segera.
Masalah pertama, adalah upaya kudeta oleh Abbas bin Al-Makmun. Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, isu ini sebenarnya sudah muncul ketika Al-Muktasim sedang sibuk menaklukkan benteng Ammuriyya. Rencana inipun sebenarnya sudah matang. Sejumlah komandan pasukan pun sudah menyatakan setia. Rencananya mereka akan membunuh Al-Muktasim, Ashinas, dan Al-Afshin. Setelah itu, langsung mendekrasikan Abbas bin Al-Makmun sebagai khalifah. Tapi disebabkan keragu-raguan dari Abbas, kudeta itupun tak kunjung dilaksanakan.[1]
Di sisi lain, rencana konspirasi inipun sudah tercium oleh Al-Muktasim. Begitu mendengar adanya rencana ini, Al-Muktasim cukup terkejut dan khawatir. Sejumlah orang yang dianggap sebagai pengikut Abbas dan mengetahui mengenai rencana tersebut di tahan dan diinterogasi oleh Al-Muktasim. Dari interogasi tersebut, didapatlah semua rencana yang besar yang sedang disusun oleh Abbas dan pengikutnya.
Tapi persoalannya, anak buah Abbas tidak mengetahui semua orang yang terlibat dalam konspirasi tersebut. Satu-satunya orang yang mengetahui secara detail siapa-siapa saja yang terlibat dalam upaya kudeta tersebut, tidak lain adalah Abbas sendiri.
Maka Al-Muktasim membuat sebuah siasat. Pada satu malam, Abbas diundang ke tendanya untuk menemaninya minum anggur (nabidh). Abbas yang sebenarnya sudah mengetahui bahwa rencananya sudah terbongkar, mengira bahwa undangan ini sebagai tanda bahwa Al-Muktasim sudah memaafkannya. Dia pun datang.[2]
Dalam prosesi minum anggur tersebut, Abbas terus dipaksa menenggak minuman, hingga akhirnya dia mabuk. Dalam kondisi mabuk itulah, Al-Muktasim mulai menanyakan kepada Abbas tentang keseluruhan rencana yang sedang dibuatnya. Dengan polos, Abbas mengungkapkan semua rencananya, dan menyebutkan siapa-siapa saja komandan pasukan yang sudah menyakatakan kesetiaan padanya. Nama-nama tersebut kemudian dicatat oleh Al-Muktasim, dan hanya disimpan untuk dirinya sendiri.[3]
Al-Muktasim kemudian memerintahkan agar Abbas ditahan, dan mulai menangkap satu persatu para komandan yang namanya sudah disebutkan oleh Abbas. Menurut Tabari, Abbas sudah ditahan ketika dalam perjalanan menuju Samarra. Selama dalam tahanan tersebut, Abbas tidak diberi makan sama sekali. Kemudian ketika dia meronta agar diberi makanan, dia diberi makan yang banyak. Lalu ketika dia meminta air untuk meloloskan kerongkongannya, permintaan itu ditolak. Para panjaga malah membakap Abbas dengan selimut, hingga akhirnya dia meninggal.[4]
Adapun para komandan yang disebut Abbas, umumnya adalah para tentara dari divisi Abna, atau divisi ketentaraan yang dulunya merupakan pasukan inti kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa Al-Makmun, pasukan ini dipercaya berada di bahwa kendali Abbas bin Al-Makmun. Ketika Al-Makmun akhirnya memilih Al-Muktasim sebagai penggantinya, para komandan pasukan ini sudah berusaha mendorong Abbas untuk melakukan pemberontakan dan menolak memberikan baiatnya pada Al-Muktasim.
Untungnya ketika itu Abbas lebih memilih memberikan baiatnya pada Al-Muktasim, sehingga perang saudara tidak terjadi. Tapi sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu. Al-Muktasim akhirnya meragukan kesetiaan pasukan Abna ini. Kedudukan mereka sebagai pasukan inti Abbasiyah kemudian disingkirkan sejak Al-Muktasim menggunkana jasa tantara budak dari Turki. Atas alasan kesecumburuan inilah mereka kemudian membelot dan mendorong Abbas sekali lagi melakukan kudeta.
Tapi malang bagi mereka. Ketika kedok mereka terbongkar, semua komandan pasukan Abna itu diburu dan dieksekusi. Hingga tidak ada lagi pasukan inti Abbasiyah yang tersisa, selain mereka yang berasal dari Turki. Inilah awal mula ketergantungan itu berbalik. Ketika dulu, orang-orang Turki itu menjadi budak dalam dinas ketentaraan Abbasiyah, mereka menjadi sangat bergantung pada kebaikan hati Al-Muktasim dan para petinggi Abbasiyah.
Tapi kini, setelah semua komandan pasukan inti Abbasiyah dihabisi, kekhalifah Abbasiyah tidak lagi memiliki pasukan selain orang-orang Turki tersebut. Pada masa selainjutnya, tingkat ketergantungan para khalifah terhadap orang-orang Turki ini semakin tinggi.
Pada era Al-Muktasim, hal ini belum terasa. Tapi kelak, di para khalifah setelahnya, tingkat ketergantungan meraka pada orang-orang Turki ini terus meningkat. Hingga pada satu titik – yang akan kita kisahkan nanti – para budak dari Turki tersebut bahkan bisa menentukan siapa saja khalifah yang boleh naik atau turun dari tahtanya.
Maka demikianlah, setelah tiba di Samarra dengan selamat, tidak tersisa lagi komandan pasukan, selain mereka yang berasal dari Turki. Ketika memasuki kota, Al-Muktasim langsung menyebut Abbas bin Al-Makmun sebagai “orang yang terkutuk”.[5] Mendengar ini, semua orang terkesiap.
Tidak cukup hanya membunuh Abbas dan para komandan yang mendukungnya, Al-Muktasim kemudian memerintahkan jenderalnya yang berasal dari Turki bernama Aytakh, untuk menangkap semua saudara laki-laki Abbas bin Al-Makmun dan menahan mereka di ruangan bawah tanah rumah mereka sendiri. Di tempat itu, Aytakh kemudian mengeksekusi semua tahanan tersebut.[6] Alasannya, agar tidak ada lagi pembalasan dendam dari anak keturunan Al-Makmun yang lainnya.
Sejak itu, bukan hanya pasukan inti Abbasiyah yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh para khalifah terdahulu yang hilang. Tapi juga kohesifitas keluarga Abbas juga meluntur. Inti kekuatan Abbasiyah yang tersisa kini, hanya Al-Muktasim putra Harun Al-Rasyid yang tidak pandai membaca, dengan di kelilingi oleh pasukan budak dari Turki yang kian perkasa. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 449-450
[2] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 128
[3] Ibid, hal. 129
[4] Ibid, hal. 130
[5] Ibid, hal. 134
[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 134