Dinasti Abbasiyah (85): Abu Ishaq Al-Muktasim (16)

in Sejarah

Last updated on September 16th, 2019 12:02 pm

Setelah melakukan pengepungan selama 55 hari, Bentang Ammuriyya berhasil ditaklukkan. Sekitar 3.000 orang pasukan Bizantium yang tewas dalam pertempuran ini, dan sekitar 30.000 lainnya ditawan. Al-Muktasim memerintahkan benteng tersebut dibumi hanguskan. Dan sejak itu, Kota Ammuriyya tidak pernah bisa bangkit lagi.

Rumor tentang adanya konspirasi yang melibatkan Abbas bin Al-Makmun belum sampai ke telinga Al-Muktasim selama pengepungan benteng Ammuriyya. Ketika itu Al-Muktasim masih sibuk dengan upayanya menaklukkan benteng tersebut.

Setelah beberapa hari secara bergantian titik terlemah benteng Ammuriyyah di serang oleh Ashinas dan Al-Afshin, kini Al-Muktasim sendiri yang mengambil alih komando penyerangan. Dia membawa divisi pasukan dari Turki dan Maghribah bersamanya. Dan untuk penyerangan kali ini, dia mempercayakan komandan seluruh pasukan pada jenderal Turki yang lain bernama Aytakh.[1]

Dengan pasukan yang dibawanya, Al-Muktasim berhasil membuat kemajuan yang berarti dalam pertempuran. Mereka berhasil melukai banyak tentara musuh, dan membuat pertahanan mereka mulai goyah.

Adapun di pihak lain, pasukan Bizantium mulai kehilangan militansinya. Komandan pasukan yang bertanggungjawab menjaga sisi benteng yang lemah tersebut bernama “W.n.du”, yang dalam Bahasa Arab artinya adalah “banteng”. Dialah yang berjuang keras siang dan malam mempertahankan benteng dari serangan Abbasiyah yang terus bergelombang. Ironisnya, selama dia bertarung, tak sekalipun gubernur Ammuriyya yang bernama Yatis, memberikan bala bantuan kepadanya.[2]

Selama beberapa hari pengepungan, W.n.du tidak pernah mengeluh. Tapi setelah pasukannya mengalami cukup banyak kerusakan setelah menghadapi serangan Al-Muktasim, dia mulai mendatangi Yatis dan berkata, “Semua serangan sekarang tertuju hanya pada saya. Semua prajurit saya sekarang sudah terluka. Maka tolong kirimkan pasukan anda untuk menggantikan pasukan saya sementara. Sebab kalau tidak, benteng ini bisa jatuh.”[3]

Tapi Yatis enggan membantu. Dia malah berkata, “Tanggungjawab kami adalah dinding sisi ini (seraya menunjuk tembok yang menjadi tanggungjawabnya), dan kami tidak meminta bantuan dari kamu untuk menjaganya. Maka pertahankan saja apa yang sudah menjadi tanggungjawab mu. Kami tidak akan memberikan bala bantuan apapun.”[4]

Mendengar jawaban ini, W.n.du sangat kecewa. Dia dan beberapa orang kepercayaannya memutuskan untuk menawarkan gencatan senjata dan berunding dengan Al-Muktasim. Ketika pagi datang, W.n.du memberi aba-aba pada pasukannya dan tentara Abbasiyah untuk menahan serangan. Dia meletakkan senjatanya, dan meminta bertemu langsung dengan Al-Muktasim.[5]

Permintaannya diterima. W.n.du dijemput oleh kuda, dan dikawal menemui khalifah. Dia memerintahkan pada semua anak buahnya agar menahan serangan sampai dia kembali. Setelah bertemu dengan Al-Muktasim, W.n.du menyatakan kesetiaannya, asal khalifah menjamin keamanan keluarga, pasukan, dan semua logistik yang dibawanya. Permintaan ini diterima oleh Al-Muktasim.

Tapi belum lagi W.n.du kembali pada pasukannya, tentara Abbasiyah sudah diberi aba-aba untuk terus berjalan mendekati benteng. Setibanyak dibenteng, pasukan Abbasiyah memberi isyarat pada anak buah W.n.du, “Jangan takut!”[6]

Di tempat yang berbeda, W.n.du yang menyaksikan hal ini, berbalik dan menarik janggutnya Al-Muktasim, lalu berkata, “Saya datang ke sini untuk berbicara dengan anda. Tapi belum lagi selesai, anda sudah berlaku curang!” kemudian Al-Muktasim menjawab, “Apalagi  yang anda inginkan?! apapun yang anda minta sudah aku kabulkan. Sebutkan saja keinginan anda, dan akan langsung saya penuhi sekarang juga.”[7]

Mendengar jawaban ini W.n.du terdiam. Dia naik ke atas kuda berdampingan dengan Al-Muktasim. Melihat pemimpinanya dalam keadaan aman, anak buah W.n.du mempersilahkan pasukan Abbasiyah memasuki benteng.

Maka demikianlah, pada akhir bulan Syawal 223 H, atau setelah 55 hari terkepung (sejak 6 Ramadhan 223), akhirnya benteng yang terkenal paling kokoh di Bizantium itupun runtuh. Pasukan Abbasiyah merangsek masuk ke dalam benteng dan membantai semua pasukan yang ada di dalamnya. Sebagian dari pasukan itu ada yang berlindung di dalam gereja. Tapi oleh pasukan Abbasiyah gereja itu dikepung, lalu dibakar bersama orang yang ada di dalamnya.[8] 

Adapun Kaisar Theophilus, selama pertempuran tak sekalipun datang membantu Ammuriyya. Selain karena kekuatannya belum pulih, dia merasa percaya dengan sistem pertahanan Ammuriyyah yang sejak dulu tak pernah mampu ditaklukkan siapapun. Meski begitu, ketika pertama kali berita Al-Muktasim mengepung Ammuriyya, Kaisar Theophilus sempat mengirim duta kepada Al-Muktasim. Duta tersebut mengajukan permohonan maaf atas nama kaisar tentang kejadian di Zibatrah. Mereka berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Tapi Al-Muktasim malah menyekap duta tersebut, dan membiarkannya menyaksikan penaklukkan benteng Ammuriyya.

Setelah berhasil menguasai sepenuhnya Ammuriyya, Al-Muktasim memerintahkan benteng tersebut dibumi hanguskan hingga ke dasar tanah. Menurut Imam As-Suyuthi, sekitar 3.000 orang pasukan Bizantium yang tewas dalam pertempuran ini, dan sekitar 30.000 lainnya ditawan.[9] Setelah kekalahan ini, Kota Ammuriyya tidak pernah lagi bisa bangkit seperti semula.

Mereka yang ditawan dipaksa berjalan sampai ke Tarsus. Di tengah jalan, mereka mengalami kehausan dan kelaparan yang hebat, hingga ada yang meninggal dan sebagian lagi sudah tak mampu berjalan. Karena frustasi, beberapa dari tawanan ada juga yang mencoba melawan dan melarikan diri. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Al-Muktasim. Dia memutuskan agar para tawanan di sortir. Mereka yang berpangkit tinggi dibiar hidup, dan sisanya di bawa ke sebuah lembah untuk di eksekusi. Menurut Tabari, tak kurang dari 6.000 orang yang dieksekusi pada waktu itu.[10]

Kemenangan Al-Muktasim atas Bizantium ini terbilang cukup fenomenal. Menurut As-Suyuthi, sewaktu Al-Muktasim mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Romawi, para peramal mengatakan bahwa dia akan kalah, karena menurut mereka itu adalah tahun perunggu. Nyatanya yang terjadi justru sebaliknya. Kemenangan yang dihasilkan oleh Al-Muktasim menunjukkan bahwa dia benar-benar piawa dalam berperang.[11]

Di sisi lain, kemenangan yang diraihnya ini memberi dampak yang besar secara politik. Persiapan kudeta yang dibuat Abbas bin Al-Makmun seketika kehilangan pamor. Para prajurit dan masyarakat lebih memihak pada Al-Muktasim daripada Abbas. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 113

[2] Ibid, hal. 114

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid, 115

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 356

[10] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 116-119

[11] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*