“Di akhir era kekuasaannya, dunia menyaksikan bagaimana kekejaman demi kekejaman berlangsung tanpa bisa dihentikan. Dan setelah tumbangnya Dinasti Umayyah, sebagian besar kaum Muslim sempat bernapas lega dan berharap menemukan satu titik cerah. Tapi faktanya tidak demikian. Dinasti Abbasiyah, yang mengusung jargon sebagai wali keluarga Muhammad Saw dan Bani Hasyim, justru meracik singgasana kekuasannya dengan dendam dan darah.”
—Ο—
Marwan bin Muhammad menanggung warisan kekuasaan yang rapuh. Perpecahan internal keluarga Umayyah sudah terjadi demikian parah, dan masyarakat pun sudah mendeligitmasi kedaulatan mereka. Sikap politik masyarakat ini terekspresikan dalam rangkaian pemberontakan yang terjadi selama pemerintahan Marwan bin Muhammad. Dan Marwan, bukanlah sosok politikus, apalagi negarawan. Waktu hidupnya habis di medan tempur. Logikanya hanya menang-kalah. Ia hanya mengenal bahasa pedang. Selama masa pemerintahannya, darah kaum Muslimin bertumpahan di mana-mana.[1]
Baru beberapa bulan menjabat, pemberontakan pertama pecah di Hims, tempat yang sebelumnya memberikan baiatnya kepada Marwan. Di saat yang hampir bersamaan, pasukan Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine V melancarkan serangan ke Asia Kecil. Pasukan Bani Umayyah yang berada di tempat itu terpaksa mundur, dan pada tahun berikutnya pasukan musuh berhasil menguasai perbatasan Suriah bagian utara. Dalam situasi ini, Marwan memilih terlebih dahulu mengamankan Hims yang jaraknya hanya 30 Mil dari Damaskus. Ketika Marwan berhasil memadamkan pemberontakan di Hims, lagi-lagi, ia memperlakukan musuhnya demikian kejam. Ia menyalib korban-korban yang terbunuh di dinding-dinding kota.[2]
Belum sempat bernapas lega, pemberontakan kembali pecah di pinggir kota Damaskus, lalu di Palestina, dan juga di Irak yang dipimpin oleh Dhahak bin Qais Asy-Syaibani. Dhahak bahkan berhasil membunuh Gubernur Irak dan menguasai kota tersebut. Tapi satu persatu rangkaian pemberontakan ini dapat taklukkan oleh Marwan bin Muhammad.
Di internal keluarga Umayyah sendiri, masalah belum tuntas. Sulaiman bin Hisham, yang dulunya pernah disiksa oleh Walid II, juga melakukan pemberontakan. Ia melihat sosok Marwan sebagai representasi Walid II, sehingga ia mengganggap inilah momen untuk membalas kezhaliman yang dialaminya pada masa Walid II. Namun perlawanannya dapat dipatahkan oleh Marwan. Iapun melarikan diri, dan wafat di India.
Marwan bin Muhammad memerintah selama sekitar 5 tahun. Tapi tak seharipun kursi kekuasannya tenang. Demikian kisruhnya suasana sosial politik masa itu, hingga ia memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Mesopotamia, wilayah bekas kekuasaannya. Ia merasa lebih aman di wilayah yang sudah dikenalnya, daripada di Damaskus.
Meski demikian perkasa menghadapi serangkaian front pertempuran, namun pada akhirnya laju sejarah tidak bisa dihentikan. Di Khurasan, Bani Abbas yang sudah bertahun-tahun menyusun kekuatan dengan rapih tiba-tiba muncul ke permukaan. Berbeda dari banyak pemberontakan sebelumnya, kali ini yang ditawarkan oleh Bani Abbas adalah sebuah revolusi – yang perencanaannya sudah disusun bertahun-tahun sejak masa pemerintahan Yazid II. Demikian sibuk para khalifah Dinasti Umayyah mengamankan kursi kekuasaannya, hingga mereka tidak mampu mendeteksi kekuatan besar yang mengular di bawah singgasananya.
Adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang pertama-tama menyusun rencana revolusi besar ini. Dengan mengatasnamakan hak keluarga Muhammad Saw dan Bani Hasyim, secara diam-diam ia berhasil mengumpulkan baiat dari berbagai klan. Hingga akhirnya ia berhasil mengambil baiat dari Abu Muslim, Jenderal paling cakap pada masanya.
Abu Muslim adalah sosok yang sangat setia pada rencana revolusi Muhammad bin Ali. Ketika Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 125 H, Abu Muslim tetap setia mengawal gerakan ini. Sebelum meninggal, Muhammad menitipkan pesan, bahwa penggantinya secara berturut-turut adalah putra-putranya, yaitu Ibrahim, Abul Abbas (kelak bergelar as-Saffah), dan Abdullah Abu Ja’far (bergelar Al Manshur).[3] Sebuah model suksesi yang mengingatkan kita pada tradisi Dinasti Umayyah.
Tapi hanya dua tahun Ibrahim memimpin gerakan Bani Abbas. Pada tahun 127 H, ia tewas di tangan penguasa Bani Umayyah. Sebagaimana amanat ayahnya, kedudukan Ibrahim kemudian digantikan oleh Abul Abbas as-Saffah. Ketika Marwan bin Muhammad disibukkan oleh serangkaian pemberontakan, gerakan ini muncul dalam bentuk yang terorganisir di Khurasan, yang dipimpin oleh Abu Muslim.
Secara cepat gerakan ini menguasai seluruh Iran, lalu bergerak ke Irak. Mereka membawa panji hitam dan berjubah hitam sebagai simbol berkabung atas apa yang diderita keluarga Rasulullah Saw selama masa pemerintahan Bani Umayyah. Gerakan ini berhasil mengakumulasikan emosi masyarakat menjadi bahan bakar yang sempurna untuk mencapai tujuan politiknya. Dengan kekuatan yang luar biasa ini, pasukan Marwan bin Muhammad akhirnya berhasil dikalahkan pada tahun 132 H di tepian sungai Zab. Setelah mengalami kekalahan, Khalifah terakhir Bani Umayyah itu sempat berhasil melarikan diri ke Mosul, Hauran, Syria, dan terakhir ke Mesir. Di sana ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Panglima Shalih bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Kepala dipenggal, lalu dikirim kepada Abul Abbas Ash-Shaffah di Kufah.
Marwan bin Muhammad wafat pada tahun 132 H atau 750 M dalam usia 62 tahun. Dengan terbunuhnya Marwan, maka berakhir pula kekuasaan Bani Umayyah yang sudah berlangsung selama 90 tahun, sejak di deklarasikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada 660 M. Sejarawan mencatat cukup banyak dicapaian Dinasti Umayyah selama 90 tahun tersebut. Mulai dari areal kekuasaan yang membentang mulai dari India hingga Afrika Utara – lengkap dengan sistem administrasi yang tertata baik untuk mengelola areal seluas itu – hingga penyebaran Islam yang demikian massif hingga ke dataran Eropa. Tapi tidak mungkin pula menyangkal, bahwa selama durasi tersebut, sudah tak terhitung jumlah darah yang tumpah mulai dari India hingga ke tepian Samudera Atlantik. Entah sudah berapa jumlah sahabat dan Tabi’in yang terbunuh, sudah berapa banyak hadist palsu bertebaran, bahkan Ka’bah pun sempat dibakar.
Di akhir era kekuasaannya, dunia menyaksikan bagaimana kekejaman demi kekejaman berlangsung demikian masif. Dan setelah tumbangnya Dinasti Umayyah, sebagian besar kaum Muslim sempat bernapas lega dan berharap menemukan satu titik cerah. Tapi faktanya tidak demikian. Dinasti Abbasiyah, yang mengusung jargon sebagai wali keluarga Muhammad Saw dan Bani Hasyim, justru meracik singgasana kekuasannya dengan dendam dan darah.
Terkait hal ini, berikut kami cuplikkan, tulisan Nadirsyah Hosen dalam satu artikelnya tentang babak transisi dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah: [4]
Tumbangnya Dinasti Umayyah diikuti dengan pembunuhan besar-besaran oleh Abbasiyah. Politik balas dendam dimulai. 300 lebih keluarga Umayyah dieksekusi, nyaris tak tersisa. Pertumpahan darah juga terjadi di kalangan penduduk Damaskus yang selama ini menyokong Dinasti Umayyah. Pasukan Abbasiyah membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang.
Masjid jami’ milik Bani Umayyah mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad mantan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (yang wafat 7 tahun sebelumnya) ternyata masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.
Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah dan menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Begitulah kekejian dibalas dengan kekejian, seperti yang diceritakan ulang oleh Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya, al-Khilafah wa al-Mulk. (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Dinasti Umayyah (21); Marwan bin Muhammad Khalifah Terakhir Bani Umayyah
Catatan kaki:
[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 250
[2] Lihat, http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/24/lk5ga0-daulah-umayyah-marwan-bin-muhammad-745750-m-khalifah-terakhir, diakses 26 Maret 2018
[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 352-353
[4] Lihat, Nadirsyah Hosen, Khalifah Marwan II: Sang Keledai Penguasa Terakhir Umayyah, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-marwan-ii-sang-keledai-penguasa-terakhir-umayyah/, diakses 25 Maret 2018
terima kasih telah menulis ini.
sejarah adala pelajaran, siapa yang bisa mengambil pelajaran dari situ maka dia beruntung.
Pertumpahan darah dan perebitan kekuasaan, Dimanakah salahnya… ?