Dinasti Umayyah (21); Marwan bin Muhammad Khalifah Terakhir Bani Umayyah

in Sejarah

Last updated on March 28th, 2018 09:09 am

Ketika pertama kali menjabat sebagai khalifah, kebijakan pertama Marwan bin Muhammad adalah memerintahkan agar mayat Yazid III, yang sudah meninggal beberapa bulan, digali kembali. Mayat tersebut lalu disalib dan digantung di gerbang kota.

—Ο—

 

Yazid bin Walid (Yazid III) hanya berkuasa sekitar 6 bulan. Para sejarawan berbeda pendapat tentang usianya ketika wafat. Ada yang mengatakan ia wafat pada usia 46 dan ada pula yang mengatakan ia wafat pada usia 37. Sebab kematiannya dikarenakan sakit. Tidak ada catatan khusus tentang sebab kematiannya yang terbilang mendadak dan masih di usia muda.

Setelah Yazid III, saudaranya Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik menggantikan naik tahta. Terkait hal ini, Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikel mengutip Imam Suyuthi menceritakan sebenarnya Yazid III menolak memberi wasiat untuk mengangkat Ibrahim sebagai penggantinya. Kabarnya saat Yazid III pingsan menjelang wafatnya, Qathn menulis surat wasiat atas nama Yazid III yang berisikan pengangkatan Ibrahim sebagai khalifah. Jadi, ini semacam fait accompli.[1]

Tapi kedudukan Ibrahim nyaris tidak diakui oleh sejarawan. Menurut Tabari terjadi proses delegitimasi yang intens terhadap kedudukannya – hanya seminggu menjabat sebagai khalifah, kekuasaannya menyusut menjadi hanya sekedar Amir, dan hanya seminggu kemudian, iapun seakan hilang dari orbit kekuasaan, bukan khalifah, bukan pula seorang Amir. Tabari melanjutkan, menurut Abu Hashim Mukhallad bin Muhammad: masa pemerintahan Ibrahim bin Walid hanya berlangsung 70 malam.[2] Ini agak lebih lama dari durasi kekuasaan Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II) yang hanya menjabat 40 hari saja.

Ketika mendapuk dirinya sebagai khalifah, banyak pihak yang enggan memberi bai’at pada Ibrahim bin Walid. Marwan bin Muhammad – gubernur Armenia dan sosok yang sangat mencintai Walid II – begitu mendengar kabar tentang kematian Yazid III, langsung bergerak bersama 80.000 pasukannya menuju Damaskus. Ketika memasuki wilayah Hims, Marwan melihat ada yang janggal dengan situasi di sana. Ternyata sebelumnya sudah datang Sulaiman bin Hisham yang diutus oleh Ibrahim untuk mengambil baiat dari masyarakat Hims, tapi masyarakatnya menolak. Sehingga Sulaiman bin Hisham mengepung wilayah ini dengan 120.000 pasukan. Begitu pasukan Marwan bin Muhammad tiba, maka pertempuran tidak bisa dihindari.[3] Hasil akhirnya, Sulaiman kalah telak dan kehilangan lebih dari 17.000 prajuritnya. Ia lari ke Damaskus dan lebih memilih bertahan di sana.

Setelah pasukan Sulaiman pergi, masyarakat Hims langsung berbai’at pada Marwan bin Muhammad. Namun Marwan mengatakan bahwa ia datang untuk memenuhi amanat  Walid II, yang telah mewasiatkan kekuasaan pada kedua putranya, Utsman dan Hakam yang ketika itu sedang ditahan oleh Ibrahim. Dengan demikian, bai’at masyarakat ditujukan untuk Hakam dan Utsman.[4]

Di Damaskus, begitu mendengar kabar tentang maksud kedatangan Marwan bin Muhammad, Ibrahim panik. Ia lalu membunuh kedua putra Walid II yang masih kecil. Bala tentara Ibrahim sebenarnya banyak, tapi kesetiaannya begitu rendah. Dengan mudah Marwan memasuki kota Damaskus layaknya seorang penakluk. Ibrahim dan Sulaiman pun lari meninggalkan kota bersembunyi ke Tadmur, sebuah kota tua di Selatan Syiria.[5] Di kemudian hari, Ibrahim memberikan baiatnya pada Marwan dan ia diampuni.

Begitu memasuki Istana Damaskus, hal pertama yang dicari Marwan adalah Hakam dan Utsman, putra-putra Walid II yang ternyata telah tewas dibunuh. Menurut Tabari, adalah Abu Muhammad al-Sufyani sosok yang pertama kali mengusulkan Marwan diangkat sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah. Dikisahkan, bahwa Abu Muhammad dibawa ke hadapan Marwan dalam keadaan terikat, lalu ia secara tiba-tiba menunduk dan berbaiat pada Marwan bin Muhammad. Melihat kejanggalan ini, Marwan kebingungan dan bertanya alasannya melakukan hal tersebut. Meski ia salah satu sosok paling berpengaruh pada masa itu, tapi menjadi khalifah bukanlah sesuatu yang dibayangkan oleh Marwan. Ia hanya datang ke Damaskus demi hak orang yang dicintainya, Walid II, dan putra-putranya yang merupakan keponakan kesayangannya yang sekarang semuanya sudah tiada.

Abu Muhammad lantas menyampaikan padanya bahwa pesan terakhir putra Walid II, Hakam ingin Marwan yang menggantikan dirinya menjabat sebagai khalifah. Abu Muhammad lantas mengulurkan sebuah puisi yang ditulis oleh Hakam di dalam penjara, yang hal tersebut menyiratkan amanat pada Marwan untuk menjabat sebagai khalifah. Dengan perasaan yang bercampur aduk, akhirnya Marwan menerimanya. Ia dilantik sebagai khalifah pada akhir tahun 126 H, dan lebih dikenal dengan sebutan Marwan II, untuk membedakannya dari kakeknya, Marwan bin Hakam.

Marwan lahir pada tahun 72 H. ayahnya bernama Muhammad bin Marwan bin Hakam. Ibunya adalah seorang budak milik tuan yang bernama Ibrahim Ushtar. Marwan mengambil budak tersebut dari Ibrahim pada sebuah pertempuran. Dalam hidupnya, Marwan dikenal sebagai seorang Jenderal yang tangguh. Kepada Walid II, Marwan memiliki kesetiaan yang luar biasa, meski perangai buruk Walid II sangat terkenal dan meresahkan masyarakat. Ketika mendengar kabar tentang tewasnya Walid II di tangan Yazid III, ia begitu marah. Meski akhirnya ia memberikan baiatnya kepada Yazid III dengan imbalan areal kekuasaan yang luas, namun ia masih memelihara dendam atas apa yang dilakukan Yazid III kepada Walid II.

Tabari mengisahkan, bagaimana dendam di dalam diri Marwan kepada Yazid III ternyata demikian hebat. Ketika menjabat sebagai khalifah, ia langsung memerintahkan agar mayat Yazid III, yang sudah meninggal beberapa bulan, digali kembali. Mayat tersebut lalu disalib dan digantung di gerbang kota.[6]

Tindakan yang dilakukan beberapa khalifah akhir Dinasti Umayyah memang mengerikan dan menebar horror ke seantero negeri. Setelah sebelumnya Hisham bin Abdul Malik menggantung mayat Zaid bin Ali bin Husein, dan dibiarkan mengering selama bertahun-tahun, kini Marwan menggenapinya dengan mengeluarkan mayat yang sudah dikubur hanya untuk disalib di gerbang kota. Entah apa tujuan objektif dari semua tindakan tersebut, tapi yang pasti dalam diri masyarakat sudah terbentuk satu ritme aspirasi yang sama, yaitu mendelegitimasi Dinasti Umayyah. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (22); Berakhirnya Imperium Umayyah dan Revolusi Bani Abbas

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (20); Prahara Di Langit Damaskus

Catatan kaki:

[1] Lihat, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-yazid-bin-al-walid-fitnah-ketiga-dalam-sejarah-islam/, diakses 25 Maret 2018

[2] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, Translated by Carole Hillenbrand, State University of New York Press, 1990. Hal. 247-248

[3] Tabari mengisahkan, bahwa sebelum pecahnya pertempuran, Marwan sudah mengingatkan, bahwa ia datang hanya untuk mengamankan kursi khlaifah bagi keponakannya, yaitu Hakam dan Utsman yang ketika itu sedang ditahan oleh Ibrahim. Bila Ibrahim dan Sulaiman berkenan membebaskan keduanya, dan memberikan baiat pada mareka, maka pertumpahan darah tidak perlu terjadi. Lihat, ibid, hal.

[4] Sebelum Hims, Marwan bin Muhammad juga sudah berhasil menaklukan wilayah

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 241

[6] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 1

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*