Dinasti Umayyah (20); Prahara Di Langit Damaskus

in Sejarah

Last updated on March 27th, 2018 09:26 am

Sejak berdirinya, Dinasti Umayyah sudah menghadapi berbagai model kekuatan dan bala tentara dari berbagai penjuru dunia. Tapi setelah Hisham bin Abdul Malik, Dinasti Umayyah menghadapi petaka yang tidak bisa dikalahkan oleh imperium manapun, yaitu perpecahan dan perang saudara.”

—Ο—

 

Hisham bin Abdul Malik bin Marwan wafat pada tahun 125 H, setelah menjabat sebagai khalifah selama sekitar 19 tahun. Sebagaian mengganggap era Hisham adalah akhir dari masa keemasan Dinasti Umayyah. Ia tercatat sebagai khalifah Dinasti Umayyah yang paling lama berkuasa. Tapi tak terhitung jumlah nyawa yang harus dibayar sebagai ongkos kekuasaannya. Selama 19 tahun berkuasa, berbagai pertempuran terjadi mulai dari ujung barat di Spanyol dan Afrika Utara, hingga India di Timur. Mulai dari letupan kecil, pemberontakan, hingga ekspedisi perebutan wilayah. Meski satu persatu pertempuran tersebut dapat dimenangkan oleh Hisham bin Abdul Malik, tapi ia bukan sosok yang pandai membangun perdamaian. Alih-alih menyelesaikan masalah, di era Hisham lah kuda-kuda revolusi Bani Abbasiyah semakin kokoh berdiri.

Sebagaimana wasiat dari Yazid bin Abdul Malik, bahwa pewaris tahta Khalifah setelahnya adalah Hisham bin Abdul Malik, lalu beralih ke Walid bin Yazid, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Walid II. Tabari mencatat bahwa Walid II adalah sosok yang terkenal perangai buruknya. Awalnya, ketika Hisham pertama kali menjabat sebagai khalifah, ia bersikap baik dan menaruh hormat pada Walid II. Tapi sejak Walid II mulai menunjukkan pengarai buruk dan meminum anggur, sikap Hisham jadi berubah terhadapnya.[1] Atas dasar ini, Hisham sempat berencana mendepak Walid dari posisi putra mahkota. Namun rencana itu tidak terlaksana mengingat Walid II adalah pasangan yang satu paket dengan Hisham. Mendelegitimasi Walid II, sama halnya mendelegitimasi dirinya sendiri. Dan hal ini akan menuai protes dari keluarga besar bani Umayyah dan banyak bawahannya.

Walid II akhirnya naik tahta pada tahun 125 H di usia 39 tahun. Tidak hanya berperangai buruk, Walid II juga ternyata bodoh dalam berstrategi dan ceroboh dalam bertindak.[2] Hal yang pertama yang dilakukannya justru menjadikan seluruh keluarganya sebagai musuh. Belum genap setahun menjabat sebagai khalifah, ia langsung mengangkat satu paket penggantinya, yaitu dua orang putranya bernama Utsman dan Hakam yang ketika itu masih kecil. Kebijakan ini tentu saja tidak disetujui oleh banyak pihak. Tapi ia justru mengancam akan menghukum bagi siapa saja yang tidak mematuhinya.

Akbar Shah Najeebabadi menceritakan, bahwa perangai buruk Walid II sejak sebelum menjabat sebagai Khalifah sebenarnya sudah banyak kritik dan tidak disetujui oleh beberapa anggota keluarganya. Dan ketika ia menjabat, semua orang anggota keluarganya yang berseberangan dengannya diperlakukan semena-mena. Beberapa diantara mereka ada yang diturunkan gajinya, dan sebagian lagi ada yang ditahan. Ia menangkap Sulaiman bin Hisham, mencambuknya, dan menggunduli rambut serta mencukur jenggotnya, lalu dipertontonkannya di depan umum. Walid II juga menahan beberapa anak dari Yazid bin Hisham dan Walid bin Abdul Malik. Intinya, pada masa Walid II, ikatan keluarga Umayyah terpecah belah dan mulai menyimpan dendam yang tak berkesudahan. Satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.[3]

Selama berkuasa, Bani Umayyah merupakan satu gerakan yang tersusun begitu rapih dan terkoordinasi baik. Mereka sukses bersekongkol mengelabuhi para sahabat terkemuka, membunuh para tabiin, bahkan dengan mulus berhasil membunuh Umar bin Abdul Aziz dengan racun. Tapi sekarang, semua tipu daya itu berbalik menimpa barisan mereka.

Di tengah perburuan Walid II terhadap anggota keluarganya yang tidak sepaham dengan keinginannya, Yazid putra Walid bin Abdul Malik berhasil melarikan diri, dan berhasil menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Ia pun dibaiat oleh keluarga Yamani di daerah Syria dan Palestina.[4] Melihat terjadinya perpecahan di dalam keluarga Umayyah, tentara dan aparatur kerajaan menjadi rentan berkhianat. Walid II menaikan gaji mereka beberapa kali lipat untuk menjamin kesetiaan dari prajuritnya.

Tapi itu semua tidak cukup. Yazid bin Walid datang bersama bersama pasukannya mengepung Istana. Pada detik-detik menentukan, sebagian besar pasukan justru membelot dan berbalik menyerang Walid II. Pasukan Walid II pun kocar kacir. Meski sudah berusaha melarikan diri, namun pasukan Yazid bin Walid berhasil menemukannya, dan membunuhnya.[5] Kepalanya lalu dipenggal dan diarak di jalan-jalan kota Damaskus. Hal yang membuat kebencian antar keluarga Bani Umayyah semakin memuncak satu sama lain. Walid II hanya mampu bertahan selama 14 bulan di atas singgasananya. Setelah itu, Yazid bin Walid dinobatkan sebagai khalifah pada tahun 126 H.

Yazid bin Walid dikenal juga dengan sebuatan Yazid II, untuk membedakannya dengan Yazid bin Muawiyah (Yazid I) dan Yazid bin Abdul Malik (Yazid II). Sebenarnya terlihat bahwa Yazid III berusaha mengembalikan stabilitas Negara. Tapi apa mau dikata, kerusakan yang terjadi sudah terlalu parah. Kepercayaan rakyat sudah hilang, dan keluarga Umayyah pun terpecah belah. Di hadapan keluarganya ia membela diri bahwa apa yang dilakukannya terhadap Walid II hanya sebuah upaya untuk memadamkan kezhaliman. Tapi itu tidak cukup meredam gejolak permusuhan yang terjadi dalam tubuh Dinasti Umayyah. Bagaimanapun, cara merebut kekuasaan yang dilakukan oleh Yazid III tidak pernah dilakukan oleh leluhurnya. Sekeras apapun gesekan yang terjadi antara anggota keluarga Umayyah dalam bersaing menduduki kursi Khalifah, mereka tidak pernah merebutnya dengan brutal sebagaimana yang dilakukan oleh Yazid III.

Sulaiman bin Hisyam, yang sebelumnya dihukum oleh Walid II, pada era Yazid bin Walid di bebaskan. Tapi melihat Yadiz II berada di puncak kekuasaan, iapun merasa pantas. Ia sempat berencana melakuan pemberontakan, namun hal tersebut dapat dicegah oleh Yazid III, dan Sulaiman pun akhirnya bersedia membai’at Yazid III. Salah satu anggota keluarga Umayyah yang sangat mencintai Walid II adalah Marwan bin Muhammad yang ketika itu menjabat gubernur di Asia Tengah. Ia datang bersama pasukannya ke Damaskus untuk membalas dendam pada Yazid III. Namun Yazid III lagi-lagi berhasil membujuknya dalam sebuah negosiasi yang alot, serta membuatnya berbaiat pada Yazid III dan kembali tanpa terjadi pertempuran.

Menurut Akbar Shah Najeebabadi, Marwan bin Muhammad berikan kekuasaan otonom yang mencakup wilayah Azarbaijan, Armenia dan Mosil.[6] Meski begitu Marwan bin Muhammad tetap memelihara sekam di dadanya. Ia secara seksama memantau perkembangan yang terjadi di Damaskus, dan secara tidak langsung menjadi oposisi pemerintahan Yazid III. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (21); Marwan bin Muhammad Khalifah Terakhir Bani Umayyah

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (20); Bergesernya Motif Pemberontakan Rakyat

Catatan kaki:

[1] Tabari menceritakan, bahwa untuk mengubah parangai buruk Walid II, Hisham mengirimnya untuk menjadi pemimpinan Jamaah Haji tahun 116 H. Tapi di momen ini Walid II justru melunasi kebejatannya. Ia dikabarkan membawa sejumlah ekor anjing dan anggur ke tanah suci. Ia meletakkan anjing tersebut di dalam sebuah kotak. Satu ketika, kotak yang berisi anjing tersebut jatuh dari unta, dan masyarakat melihatnya. Ia juga dikabarkan membawa kanopi sebesar Ka’bah. Rencananya kanopi itu akan ia bentangkan di atas Ka’bah dan ia akan duduk di atasnya. Namun rencana tersebut dibatalkan karena pertimbangan dari teman-temanya. Akhirnya kanopi itu tetap digelar di pelataran Masjidil Haram. Berita tentang perilaku buruk Walid II sampai ke telinga Hisham. Sejak itu, Hisham berencana mengubah daftar khalifah setelahnya, diturunkan kepada putranya, Maslamah bin Hisham. Namun Walid II menolaknya. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, Translated by Carole Hillenbrand, State University of New York Press, 1990. Hal. 88-89

[2] Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, mengatakan al-Walid II adalah seorang fasik, peminum khamr, dan banyak melanggar aturan syari’at. Bahkan, masih menurut penuturan Imam Suyuthi, al-Walid II naik haji ke Mekkah dengan tujuan hendak minum khamr (yang memabukkan) di depan Ka’bah. Dia juga menikahi istri-istri ayahnya–sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Imam Suyuthi meriwayatkan dari Dzahabi bahwa al-Walid II juga melakukan liwath. Karenanya, ada yang sampai hati mengatakan dia seorang zindiq. Lihat, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-al-walid-bin-yazid-firaunnya-umat-islam/, 24 Maret 2018

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 232-233

[4] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, hal. 127

[5] Ketika dikepung ia sempat berkata, “Bukankah aku telah memberikan hadiah kepada kalian? Bukankah aku telah meringankan beban kalian yang berat? Bukankah aku telah memberi makan orang-orang fakir di antara kalian?”. Mereka yang mengepungnya menjawab, “Kami tidak membencimu dari diri kami sendiri. Kami mengepungmu karena engkau terlalu banyak melanggar batasan-batasan aturan Allah. Engkau minum minuman keras, menikahi istri ayahmu dan melecehkan perintah Allah.” Lihat, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/23/lk44k0-daulah-umayyah-walid-bin-yazid-bin-abdul-malik-744-m-melanggar-aturan-allah, diakses 24 Maret 2018

[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 240

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*