Diskursus Sufi (16): Paradoks Doa

in Tasawuf

Last updated on May 6th, 2019 06:46 am

Dalam berdoa, kita mesti selalu sadar bahwa kita teramat bodoh, lemah, dan tidak mengerti mana yang terbaik buat diri kita sendiri. Sedangkan Dia Teramat Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Penyayang. Sehingga apapun jawaban yang diberikan Allah atas doa kita, haruslah kita terima.

Gambar ilustrasi. Sumber:
Gambar.wiki

Berbicara tentang doa dan munajat bukanlah perkara yang mudah. Lebih-lebih, bila pembicaraan tersebut mengarah kepada upaya mengenali hakikatnya. Dalam ajaran Islam, doa menempati posisi yang paradoksal. Pada dirinya sendiri, doa merupakan ungkapan kelemahan, kekurangan, kenistaan, kesusahan, kehilangan, kesedihan, dan sebagainya. Dan tindak mengungkapkan semua perasaan ini merupakan inti penghambaan manusia kepada Allah. Karenanya, dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Nabi bersabda: “Ad-du’a mukhkhul ‘ibadah (doa adalah saripati ibadah).”

Tetapi, pada sisi tujuan dan sasarannya, doa merupakan pintu menuju Kemahakuasaan, Kemahakayaan, dan Kemahapemurahan Allah. Arahnya yang tertuju kepada Allah membuat sebuah doa bisa mengandung kebaikan dan kesempurnaan apa saja yang terbayang oleh manusia. Karena itu, pendoa seakan-akan berada dalam ruang yang tidak terhingga. Tidak ada kemustahilan di dalam “dunia doa”. Hanya dengan berdoa, manusia bisa mewujudkan segala apa yang semula mustahil baginya.

Banyak sekali mukjizat para nabi yang terjadi melalui doa dan permintaan. Dalam berbagai riwayat juga disebutkan betapa doa seseorang dapat mengubah “takdir” yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuknya. Apakah takdir dalam arti hukum-hukum universal yang mengatur alam semesta atau pun takdir dalam arti yang lazim dipakai oleh para ahli ilmu kalam sebagai nasib dan ketentuan seputar jalan hidup manusia.

Seperti kita tahu, doa dan permintaan kita kepada Allah tidak sedikit pun akan mengurangi Kemahasempurnaan-Nya. Sebaliknya, seperti diajarkan oleh para sufi, makin tinggi doa dan permintaan kita kepada Allah, makin tinggi dan besar pula Allah di mata kita. Dan makin “mustahil” doa tersebut kita wujudkan lewat kemampuan kita sendiri, makin sayang Dia kepada kita. Paradoks doa terletak pada percakapan bahkan “perjumpaan” antara yang lemah gemulai dan Yang Mahaperkasa. Dalam perjumpaan tersebut, si lemah menyatakan segala kelemahannya dan si Mahaperkasa melimpahkan semua kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Maka itu, tidak ada kemustahilan dan tidak bisa ditemukan kekeliruan dalam ruang seperti itu.[1]

Akan tetapi, dalam memanjatkan doa orang sering salah paham dan menganggap Allah akan bersikap sama seperti kita. Padahal, dalam kenyataannya, Dia adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan kita. Meminta Allah Yang Mahakaya berarti menyerukan pujian, sanjungan dan kebesaran-Nya, sekaligus mengakui Kemahasempurnaan-Nya. Dan inilah tujuan dasar penciptaan manusia. Allah berfirman:

Tidak sekali-kali Kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. 51:56)

Atas dasar itu, doa adalah dialog antara hamba yang sangat terbatas lagi papa dengan Tuhan yang Mahakaya. Untuk berbicara dengan Sang Mahakaya diperlukan sebuah “komunikasi” yang jujur dan benar. Mula-mula, pujilah Dia. Lalu akuilah kelemahan dan kekurangan sendiri. Selanjutnya, Dia pasti akan bersedia menanggapi kita. Bersabarlah sejenak untuk-Nya, tapi juga berputus-asalah pada selain-Nya.

Dalam surah Al-Maidah ayat 116-118, Al-Qur’an menceritakan ungkapan diplomatis Nabi Isa dengan Allah untuk menarik simpati dan kasih sayang-Nya di satu sisi, dan di sisi lain untuk mengakui kemustahilan dirinya melawan Kemahakuasaan-Nya. Dalam ayat-ayat tersebut, terjadilah dialog yang dahsyat antara Nabi Isa dan Allah. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak tahu apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui semua perkara yang gaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya) yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian.” Dan akulah saksi mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang menjadi pengawas mereka. Dan Engkau Mahamenyaksikan segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Doa-doa Nabi Muhammad Saw, para manusia suci dan sufi juga penuh dengan ungkapan-ungkapan seperti di atas. Salah satunya ialah munajat orang yang bersyukur dari Ali Zainal Abidin: “…Bagaimana pula caranya aku (dapat disebut) bersyukur, padahal (setiap ungkapan) syukurku itu sendiri memerlukan kepada syukur (yang lain).” Doa ini seolah-olah ingin mengatakan: aku memang teledor; lalai untuk mensyukuri semua nikmat-Mu. Namun, andai pun aku tidak lalai untuk mensyukuri-Mu, maka ketidaklalaianku itu memerlukan pernyataan syukurku kepada-Mu dan demikian seterusnya, sehingga sulit rasanya untuk dapat sepenuhnya disebut mensyukuri-Mu.

Meminta kebaikan dari Allah tetapi tidak mau mendapatkan cobaan atas semua kebaikan tersebut adalah sikap yang waras. Seorang yang sadar bahwa dia meminta kepada Zat yang tiada berbatas akan meminta segala yang terbaik untuk dirinya dan juga meminta agar dihindarkan dari semua kemungkinan buruk dari apa yang dimintanya. Al-Quran mengajarkan kita untuk berdoa meminta segala kebaikan dunia dan akhirat, dan berlindung dari siksa neraka. Inilah doa yang dikenal dengan sebutan ‘Doa Sapu Jagat’.  Allah berfirman,

Dan di antara mereka ada yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”  (QS Al-Baqarah: 201).   

Namun, harus pula ada kesadaran yang kuat bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah, terbatas dan tidak mengerti mana yang terbaik buat diri kita sendiri. Jawaban apapun yang diberikan Allah atas doa kita haruslah kita terima. Dalam berdoa, kita mesti selalu sadar bahwa kita teramat bodoh dan lemah, sedangkan Dia Teramat Mengetahui dan Bijaksana. (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Terkait uraian lebih jauh mengenai kajian doa ini, redaksi ganaislamika,com pernah menerbitkan artikel berjudul, “Perihal Doa”. Untuk membacanya bisa mengkases melalui link berikut: https://ganaislamika.com/perihal-doa/ !

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*