Diskursus Sufi (18): Falsafah Kematian

in Tasawuf

“…Di tahap akhir, aku akan mati dari (keadaan sebagai) manusia; untuk bisa berubah menjadi salah satu sayap malaikat; Setelah jadi malaikat, aku akan terus mencari ufuk lain; Karena “ Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.” (Jalaluddin Rumi)

Gambar Ilustras. Sumber:
http://diefontaene.de

Makna Kematian

Kembali ke sisi Allah SWT dan keluar dari kehidupan dunia menuju kehidupan lain digambarkan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya dengan istilah maut (kematian). Kematian ini bukan yang biasa kita pahami dan kita lihat sehari-hari sebagai hilang­nya fungsi indra, punahnya kemampuan beraktivitas dan lenyapnya kehidupan (fisik). Allah SWT berfirman:

Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya (bil-Haqq). Itulah yang kamu selalu lari darinya. (QS. Qaf: 19)

Dari ayat ini kita dapat memahami haki­kat kematian yang digam­barkan oleh Allah SWT dengan ungkapan bil-Haqq, sehingga kema­tian bukanlah ketiadaan, kesirnaan atau kehilangan. Allah SWT berfiman: Sekali-kali tidak! Apabila nyawa (seseorang) telah sampai ke kerongkongan, dan (ketika itu) dikata­kan: ‘Siapakah penyem­buh’[1] dan dia telah menduga bahwa sesung­guhnya itulah waktu perpisahan, dan bertautlah betis (kiri) dengan betis (kanan),[2] kepada Tuhanmu lah pada hari itu (tempat dan masa) penggiringan.[3]

Jadi, saat kematian adalah saat semua manusia kembali kepada Allah SWT sekaligus saat penggiringan setiap makhluk ke sisi-Nya.

Fenomena Kematian

Di antara pikiran yang selalu menyiksa manusia adalah kematian dan berakhirnya kehidupan. Setiap manusia akan bertanya kepada dirinya: “Mengapa aku dilahirkan ke dunia? Dan mengapa aku harus meninggalkannya? Apa yang menjadi tujuan dibangun dan dimusnahkannya semua ini? Bukankah perbuatan itu merupakan kesia-siaan yang sama sekali tidak berfaedah?”

Khayyam mengatakan:[4]

Raja yang mengatur susunan tabiat ini, mengapa di dalamnya ada yang hina dan tercemooh.

Kalaulah sejak semula alam ini indah dan baik, mengapa Dia mengubahnya menjadi jelek?

Kalaulah sejak semula alam ini jelek, lalu siapakah yang seharusnya bertanggungjawab?

***

Peminum dari cangkir seindah ini, tentu takkan rela melihatnya hancur.

Betapa banyak kaki dan tangan yang indah serta wajah-wajah yang ceria, mengapa dicipta? Lalu mengapa dibiarkan sirna?

***

Itulah piala yang mencengangkan akal, lantas akal menciuminya ratusan kali

Pencipta zaman telah membuat piala sehalus ini,

kemudian Dia membiarkannya tercecer di tanah.

***

Kegelisahan menghadapi kematian merupakan salah satu faktor yang telah mendorong lahirnya pesimisme. Kaum pesimis menggambarkan kehidupan dan eksistensi ini sebagai tidak bertujuan, tidak berfaedah, sia-sia dan tidak mengandung hikmah. Pandangan ini telah membuat mereka semakin gundah dan bimbang, dan kadang-kadang menimbulkan pikiran untuk bunuh diri. Mereka berpikir, seandainya kita harus berpisah dengan kehidupan ini, mengapa kita dilahirkan ke dunia ini? Sekarang, setelah kita dilahirkan ke dunia ini tanpa kehendak, mengapa kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kesia-siaan ini, dan dengan menghentikan segala kesia-siaan ini berarti kita telah melakukan sesuatu yang sangat penting! Khayyam mengatakan:[5]

Sekiranya kedatanganku ini atas kemauanku sendiri,

sungguh aku tak akan datang

Sekiranya kejadianku ini atas perintahku,

sungguh aku tak akan menjadi

Bukankah yang terbaik di dunia yang bakal dimusnahkan ini,

adalah keadaan tidak datang, tidak menjadi, dan tidak mewujud?

***

Senyampang urusan manusia di bumi getir ini

tak lain dari tersiksa, sampai ruh meninggalkan jasad

Maka orang yang paling bahagia

adalah yang paling cepat meninggalkan alam ini

dan yang lebih bahagia lagi

adalah yang sama sekali tidak pernah tiba ke bumi ini.

***

Sekiranya satu saja kudapat buah dari pohon harapan,

sungguh aku telah mendapatkan ujung jarumku

Sampai kapankah aku akan terus ada

di penjara wujud yang sempit ini?

Duhai, kapan kiranya aku ini

menemukan jalan menuju ketiadaan!

***

Keadaan Takut Mati

Sebelum membahas fenomena kematian dan dampaknya pada sistem alam, ada baiknya kita terlebih dahulu mengingat persoalan sangat penting ini, yaitu bahwa takut dan gusar menghadapi kematian adalah salah satu karakteristik manusia. Para peneliti menemukan bahwa binatang tidak pernah berpikir tentang kematian dan karenanya tidak takut menghadapi kematian. Binatang hanya memiliki naluri untuk menghindar dari bahaya dan mempertahankan hidup yang dimilikinya. Jelas bahwa keinginan untuk tetap hidup, dalam arti mempertahankan kehidupannya, menyertai kehidupan pada umumnya. Tetapi, di samping itu, manusia juga menghendaki masa depan dan kelanggengan di masa depan. Dan inilah yang menyebabkan manusia takut pada apa yang dikiranya sebagai kemusnahan.

Dengan kata lain, manusia memiliki cita-cita untuk bisa tetap abadi. Hal demikian jelas merupakan karakteristik khas manusia. Cita-cita ini lahir dari konsepsi tentang masa depan, dan cita-cita keabadian lahir dari konsepsi tentang keabadian. Konsepsi semacam ini merupakan salah satu keunikan manusia.

Maka itu, ketakutan dan kegusaran manusia terhadap kematian yang membuat pikirannya senantiasa terlibat dengan dirinya adalah sesuatu yang berbeda dengan naluri menghindari bahaya. Naluri menghindari bahaya tidak lebih dari reaksi spontan dan wajar pada setiap makhluk hidup saat melihat bahaya. Bahkan, sebelum hasrat pada keabadian berkembang menjadi konsep dalam benak manusia dewasa, bayi juga sudah mempunyai naluri untuk menghindari bahaya.

Jadi, lari dari kematian dan kegusaran terhadapnya merupakan buah dari hasrat manusia pada keabadian. Dan mengingat tidak ada hasrat yang sia-sia di alam ini, maka hasrat ini sendiri bisa menjadi dalil bagi kekekalan hidup manusia sesudah mati. Saat kita merasa tersiksa oleh pikiran tentang ketiadaan, maka pikiran ini sendiri sudah bisa menjadi dalil bahwa kita sekali-kali tidak akan meniada. Andai kita seperti bunga dan tetumbuhan yang hidup secara temporal dan terbatas, maka dalam sukma kita tidak akan muncul hasrat fundamental untuk hidup abadi.

Rasa haus adalah bukti keberadaan air. Bahkan, semua hasrat dan kesiapan fundamental adalah bukti aktualitas kesempurnaan yang dituju itu. Dan setiap kesiapan merupakan prakonsepsi tentang kesempurnaan yang harus segera dicapai.

Kegusaran dan hasrat untuk hidup abadi yang dirasakan oleh setiap manusia, dan yang membuatnya sibuk memikirkan dirinya, sebenarnya merupakan penampakan dari hakikat penolakan manusia terhadap ketiadaan. Munculnya kegusaran dan hasrat ini pada manusia persis seperti realitas mimpi yang menampakkan segenap watak dan persepsi manusia saat terjaga. Apa yang kita saksikan dalam mimpi adalah penampakan hal-hal yang merasuki dan mengakar dalam ruh kita saat kita terjaga. Begitu juga, hasrat untuk hidup abadi yang tampak saat kita terjaga, yang tidak sejalan dengan kehidupan dunia yang terbatas ini, sebenarnya merupakan manifestasi dari realitas abadi kita. Realitas itu—mau tidak mau—akan membebaskan dirinya dari “kebengisan penjara Alexander” untuk secepatnya “berkemas pindah ke kerajaan Sulaiman”.[6]

Mengenai hakikat ini, penyair Mawlawi, dengan begitu indah mengungkapkan:

Agar gajah bisa tidur dengan lelap,

ia harus bermimpi tentang India.

Keledai tidak bermimpi tentang India

karena ia tidak pernah pergi darinya

Lantaran ingatan tentang India menyita siang harinya

gambaran-gambaran tentangnya mengisi mimpi gajah di malamnya

Semua ide, konsepsi, harapan dan hasrat ini menjelaskan fakta yang disebut oleh para filsuf dan ahli makrifat (arif) sebagai “alienasi” (gharbah) atau “ketidaksejenisan” manusia dengan bumi wadag ini.[7]

Relativitas Kematian

Keberatan yang muncul dari kematian bermula dari konsepsi yang memahaminya sebagai ketiadaan. Padahal, kematian bukan ketiadaan melainkan perkembangan dan perpindahan; musnah dari satu tingkat untuk memulai hidup di tangkat lain. Dengan kata lain, kematian adalah non-eksistensi, hanya saja ia bukan non-eksistensi mutlak. Kematian adalah non-eksistensi relatif, yakni non-eksistensi dari satu tahap demi eksistensi di tahap lain.

Manusia tidak akan mengalami kematian mutlak, melainkan hanya akan kehilangan kondisi tertentu dan beralih ke kondisi lain. Di sini, kesirnaan itu bersifat relatif. Misalnya, tanah yang berubah menjadi tetumbuhan, tidak mengalami kematian mutlak. Tanah itu hanya mengalami kematian relatif, karena forma dan ciri-khas tanah sebelumnya sebagai benda matitelah lenyap. Namun, ia mati dari satu kondisi dan keadaan untuk beroleh kehidupan dalam kondisi dan keadaan lain:

Aku mati dari (keadaan sebagai) benda mati,

dan berubah menjadi tetumbuhan

Aku mati dari (keadaan sebagai) tetumbuhan

dan berubah menjadi binatang

Aku mati sebagai binatang,

dan kini berubah menjadi manusia

Kalau begitu, mengapa aku mesti takut menjadi kurang akibat kematian?

Di tahap akhir, aku akan mati dari (keadaan sebagai) manusia

untuk bisa berubah menjadi salah satu sayap malaikat

Setelah jadi malaikat, aku akan terus mencari ufuk lain

Karena “ Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.”[8]

La haula wala quwwata illa biLLAH

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] QS 75 (Qiyamah): 26

[2] QS 75 (Qiyamah): 29

[3] QS 75 (Qiyamah): 30

[4] Lihat, Mutadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung: Mizan, 2009), hal. 196

[5] Ibid, hal. 197

[6] Ibid, hal. 199

[7] Ibid

[8] Lihat, Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-serpihan Puisi Penenang Jiwa, (Jakarta: Penerbit Mizan/Noura, 2015), hal. 21

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*