“Setelah menguji burung-burung itu, maka kepala rumah tangga keraton itu pun membukakan pintu, dan ketika ia menyingkapkan seratus tabir, satu demi satu, maka sebuah dunia baru di balik tabir itu tersingkap. Kini cahaya dari segala cahaya memancar, dan sekalian burung-burung itu duduk di atas masnad, tempat duduk Yang Mulia dan Agung. Kepada mereka diberikan nas, dan mereka diminta membaca itu, dan setelah membaca dan merenungkan, mereka pun dapat memahami keadaan mereka. Ketika mereka sepenuhnya merasa tenang dan terlepas dari segala apa pun, mereka menjadi sadar bahwa sang Simurgh ada di sana bersama mereka. Segala yang telah mereka perbuat dahulu terhapus. Matahari keluhuran memancarkan sinarnya, dan dalam saling merenungi wajah sesama mereka, ketiga puluh burung (si-murgh) dari dunia luar ini menatap sang Simurgh dari dunia dalam. Ini amat menakjubkan sehingga mereka tak tahu apakah mereka masih tetap mereka atau apakah mereka telah menjadi sang Simurgh. Akhirnya, dalam suasana tafakur itu, mereka menyadari bahwa mereka sang Simurgh dan bahwa sang Simurgh ketiga puluh burung itu juga. Ketika mereka menatap sang Simurgh, mereka melihat bahwa sungguh sang Simurgh yang ada di sana itu, dan ketika mereka mengarahkan pandang ke diri mereka sendiri, mereka melihat bahwa mereka sendiri sang Simurgh. Dan mengamati keduanya serempak, yaitu diri mereka sendiri dan Dia, mereka pun menyadari bahwa mereka dan sang Simurgh itu wujud yang satu dan yang itu juga. Tiada siapa pun di dunia pernah mendengar tentang sesuatu yang seperti itu.”
Petikan kisah di atas merupakan episode akhir dari kisah perjalanan para burung yang terbakar api cinta dan kerinduan pada sang Raja, yang bernama Simurgh. Kisah yang sangat terkenal ini dituturkan dengan indah dalam bentuk Fable Sufi oleh seorang sufi terkemuka bernama Faridu’d-.Din Attar, dan di beri judul Mantiqu’t-Thair. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hartojo Andangdjaja, dan diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, pada tahun 1983, dan diberi judul “Musyawarah Burung”.
Bait demi bait puisi sufistik yang dirangkainya begitu melegenda. Sosok dan karya sastra yang ditorehkannya telah menjadi inspirasi bagi para pujangga di tanah Persia, salah satunya penyair termasyur sekelas Jalaluddin Rumi. Penyair sufi legendaris yang masih berpengaruh hingga abad ke-21 itu dikenal dengan nama pena “si penyebar wangi” yang dalam bahasa Persia disebut Attar.
Selain “Musyawarah Burung”, Attar pun memberi sumbangan yang amat besar pada dunia sufi dengan menuliskan kumpulan kisah para sufi sebelumnya dalam kitab Tadzkiratul Awliya. Karya yang ditulisnya itu sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran Attar. Ia pun getol menulis puisi-puisi sufi. Begitu banyak puisi yang berhasil dituliskan sang penyair sufi legendaris itu. Namun, ada beragam versi mengenai jumlah pasti puisi yang dibuat sang penyair. Reza Gholikan Hedayat, misalnya, menyebutkan jumlah buku puisi yang dihasilkan Attar mencapai 190 dan berisi 100 ribu sajak dua baris (distich). Sedangkan Firdowsi Shahname menyebutkan jumlah puisi yang ditulis Attar mencapai 60 ribu bait.[1]
Ada pula sumber yang menyebutkan jumlah buku puisi yang ditulis Attar mencapai 114 atau sama dengan jumlah surat dalam Alquran. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi yang ditulis Attar mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya Attar dapat dibagi ke dalam tiga kategori : [2]
- Puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf atau sufistik yang menggambarkan keseimbangan yang sempurna. Kategori pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur.
- Puisi-puisi yang ditulisnya bertujuan untuk menyangkal kegiatan panteisme.
- Puisi-puisi yang berisi sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.
Salah satu karya yang utama dari Attar berjudul Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya yang terkenal dari Attar adalah Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh itu konon dihadiahkan kepada Maulana Jalaludin Rumi ketika keluarganya tinggal di Nishapur dalam sebuah perjalanan menuju Konya.
Syahdan, dalam pertemuan dengan Rumi yang saat itu masih kecil, Attar meramalkan bahwa Rumi akan menjadi seorang tokoh besar dan terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar terbukti. Attar meninggal dunia di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian dieksekusi oleh pasukan Tentara Mongol yang melakukan invasi ke wilayah Nishapur pada 1221 M. Kisah kematian seorang Attar bercampur antara legenda dan spekulasi.
Terkait biografi Faridu’d-.Din Attar, di akhir buku “Musyawarah Burung“ dijelaskan sebagai berikut :[3]
Faridu’d-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1120 Masehi dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Omar Khayyam). Tarikh wafatnya tak diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1230, sehingga ia hidup sampai usia seratus sepuluh tahun. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang perajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi.
Darwis itu berkata, “Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?” Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. “Kita tunggu saja,” kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di permukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalal-uddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang Sufi mengatakan, “Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Rumi mengatakan, “Attar ialah jiwa itu sendiri.”
Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai berikut:
Allah Kekal
Dengan nama Allah
Yang Pengasih Yang Pengampun
Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu … Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Rabbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein …
Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia meninggal dan dikuburkan.
Terkait dengan tempat dikebumikannya sosok agung ini. Saat ini, umum diketahui bahwa Attar dimakamkan di Nishapur, Iran. Makamnya yang megah dibangun Ali-Shir Nava’i pada abad ke-16, dan di renovasi total pada tahun 1940 oleh Syah Reza. Sosok Attar hingga kini masih tenar dan populer di Iran. Tak heran, bila makamnya banyak dikunjungi para peziarah.
Sumber Rujukan :
[1] Lihat, http://www.republika.co.id/berita/shortlink/37500, Diakses 18 September 2017
[2] Ibid
[3] Lihat, Faridu’d-.Din Attar, “Musyawarah Burung (Mantiqu’t-Thair)”, Hartojo Andangdjaja (Penj), Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983, Hal. 114-115