“Pertanyaannya, bagaimana konstruksi sejarah yang bisa menjelaskan keberadaan makam Fatimah binti Maimun?”
—Ο—
Sejauh ini, waktu yang tertera pada prasasti batu nisan Fatimah binti Maimun adalah bukti arkelogis tertua yang menunjukkan jejak Islam di Pulau Jawa. Agus Sunyoto, dalam karyanya berjudul Atlas Walisongo, menjelaskan dengan cukup rinci berbagai kemungkinan narasi sejarah yang terjadi, bila ditarik dari titik prasasti Fatimah binti Maimun.
Pertama, dari jenis huruf kufi yang tertera di prasasti tersebut; Agus Sunyoto mengutip Hasan Muarif Ambary, “Petikan ayat Al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia. Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan, memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ ke-11 H”.[1]
Bila kita konstruksi lebih luas momen historisnya, tahun kematian Fatimah binti Maimun (475 H atau 1082 M), adalah era berdirinya kerajaan Perlak di Aceh. Kerajaan Perlak sejauh ini dianggap sebagai kerajaan Islam Pertama di Nusantara. Perlak pertama kali dipimpin oleh Raja yang beragama Islam pada tahun 225 H. Prof. A. Hasjmy, merujuk pada naskah Kitab Idharul Haqq, karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy, mengatakan bahwa “Pada tanggal 1 Muharam 225 H. Kerajaan Islam Perlak diploklamirkan berdiri, Saiyid Abdul Aziz, putra campuran Arab-Perlak dilantik menjadi Raja pertama dengan gelar Sulthan Maulana Abdul Aziz Syah”.[2]
Masih menurut Prof. Hasjmy, “…pada tahun 173 H, Nahkoda Khalifah dengan kira-kira 100 orang anggota Angkatan Dakwahnya telah berlabuh di Bandar Perlak, yang menyamar sebagai “kapal dagang”. Khalifah sendiri yang menjadi “Kapitain” dari “kapal dagang” tersebut, sehingga dalam Kitab Idharul Haqq Fi Mamlakah Ferlak karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy, dia sebut “Nahkoda Khalifah” (Nahkoda artinya kapitan kapal). Anggota Dakwahnya berjumlah 100 orang itu, terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan Hindi. Idharul Haqq mencatat bahwa Nahkoda Khalifah amat bijaksana, sehingga dengan hikmah kebijakasaannya, dalam waktu kurang dari setengah abad, Meurah (Raja) dan seluruh rakyat Kemeurahan Perlak yang beragama Budha/Hindu dan Perbegu, dengan sukarela masuk agama Islam. Selama proses Peng-Islaman yang tidak begitu lama itu, para Anggota Dakwah Nahkoda Khalifah telah mengawini dara-dara Perlak, dan salah seorang anggota angkatan dari Arab suku Quraisy mengawini Putri Istana Kemeurahan Perlak, sehingga perkawinan itu lahirlah putra campuran pertama, yang diberi nama Saiyid Abdul Aziz.[3]
Tidak jelas apakah gelombang Islam generasi pertama yang menyebar di kawasan Asia Tenggara menurut Agus Sunyoto ataupun Hasan Muarif Ambary, sama maksudnya dengan rombongan “Nahkoda Khalifah” yang dimaksud oleh Prof. Hasjmy. Tapi dari informasi-informasi ini, kuat dugaan bahwa pada awal abad pertengahan, Islam sudah menjadi agama yang cukup luas dianut masyarakat di kawasan Asia Tenggara hingga Asia Timur.
Terkait dengan bagaimana menjelaskan keberadaaan makam Fatimah binti Maimun di Gresik, Prof. Dr H. Aboebokar Aceh, dalam karyanya berjudul “Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia”, sempat mempertanyakan persoalan ini. Mengingat jalur masuk pelaut Muslim ke wilayah Nusantara, pastilah melewati Selat Malaka, atau menyusuri pantai barat Sumatera. Adapun jalur pantai barat Sumatera baru terbuka ketika Portugis memilih jalur ini setelah berhasil dikalahkan di Malaka.[4] Sedangkan bila dilihat dari tahun masuknya, makam Fatimah binti Maimun adalah makam tertua kedua di Nusantara, setelah Makam Mahligai di Barus yang bertuliskan tahun 48 H. Belum ditemukan mata rantai informasi, seperti bukti arkeologis ataupun naskah yang bisa menjelaskan bagaimana proses sejarah munculnya makam Fatimah binti Maimun.
Dalam kerangka ini, dari beberapa temuan mutahir, Agus Sunyoto menilai bahwa pada abad petengahan, di Nusantara sudah terjadi kontak perdagangan yang intens antara masyarakat Nusantara dengan masyarakat internasional. Apa yang disampaikan Agus Sunyoto sejalan dengan fakta sejarah bahwa para pelaut Nusantara pra-Islam, adalah pelaut aktif dalam perdagangan global. Hasil penelitian mutahir terkait jalur kayu manis (Cinnamon Route) dan rempah-rempah (Spice Route) yang tulis oleh Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce dalam buku “Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans”, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut Nusantara dengan perahu layarnya yang bernama Perahu Halmahera dengan penggandung ganda (The Halmaherian double-outrigger), telah melakukan pelayaran hingga ke Madagascar sejak ribuan tahun lalu.[5] Bentuk perahu layar pelaut Nusantara ini terpampang di relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad 8 Masehi, dan masih digunakan sampai pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa.
Masih di dalam buku yang sama, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce mengatakan bahwa pengetahuan manusia Nusantara tentang peredaran angin muson adalah faktor terpenting di jalur pelayaran ini. Adapun rute yang ditempuh di Jalur Kayu Manis ini sangat berbeda dengan Jalur Sutra Laut yang ada pada abad setelah masehi. Jalur Kayu Manis menggunakan jalur selatan, dari Halmahera, menyusuri selatan Pulau Jawa, langsung melewati Samudera Hindia hingga ke Madagascar. Jalur ini tetap bertahan hingga masuknya era Jalur Sutra China, dan Jalur rempah-rempah tetap bertahan sampai masuk abad 21 sekarang. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan bahwa jalur perdagangan dunia ke Nusantara mestilah melewati Selat Malaka, terbantahkan. Mengingat semua celah komunikasi dan pelayaran global di Nusantara sejak ribuan tahun lalu sudah terbuka lebar dari segala penjuru. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 58
[2] Lihat, Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 146
[3] Ibid, 147
[4] Prof. Dr H. Aboebokar Aceh, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Solo, CV. Ramdhani, 1971, Hal. 19
[5] Lihat, Charles E.M. Pearce & Frances M. Pearce, Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans. Springer: London-New York, 2010, Hal. 75-81
I like the report