Fatimah binti Maimun; Jejak Islam Pertama di Pulau Jawa (3)

in Islam Nusantara

Last updated on March 25th, 2018 09:03 am

Lebih dari sekedar situs arkelologis. Makam Fatimah binti Maimun adalah fundamen historis yang mengkonstruksi ulang narasi sejarah Islam di Nusantara.”

—Ο—

 

Untuk menjelaskan kemungkinan konstruksi sejarah yang berlangsung pada masa Fatimah binti Maimun, Agus Sunyoto dalam karyanya menilai bahwa besar kemungkinan keberadaan makam Fatimah binti Maimun berhubungan dengan migrasi besar-besaran bangsa Parsi ke Nusantara pada abad ke-9 M. Infomasi tentang adanya migrasi besar-besaran bangsa Persia ini disampaikan oleh S.Q. Fatimi dalam karyanya “Islam Comes to Malaysia”, dan juga oleh Prof. Wan Hussein Azmi seorang peneliti dan akademisi Malaysia dalam salah satu makalahnya berjudul “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI”. Cukup mengherankan memang, karena abad ke-8 sampai ke-9 Masehi adalah abad keemasan Dinasti Abbasiyah yang beribu kota di Baghdad, Irak. Masa dimana arus mobilitas manusia seharusnya masuk ke Bahgdad, bukan sebaliknya.

Tampaknya, fenomena migrasi tersebut berhubungan dengan peristiwa pertempuran Syiraz pada tahun 823 Masehi antara kelompok Syiah pendukung Imam Ali Ridho bin Musa Al Kazhim dengan penguasa Dinasti Abbasiyah. Kelompok Syiah mengalami kekalahan dan kerugian yang cukup besar dalam pertempuran ini. Sejak itu perburuan terhadap para kelompok Syiah mulai gencar dilakukan di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Akibatnya, banyak dari kelompok Syiah ini memilih untuk meninggalkan tanah airnya, dan mencari tempat yang aman untuk memulai hidup baru. Sebagiannya ada yang ke Hadramaut, Yaman, dan sebagian lain lagi ada yang ke wilayah Timur, ke India dan Nusantara.[1]

Menurut Prof. Wan Hussein Azmi, pada sekitar awal abad kesembilan Masehi, setidaknya, ada tiga keluarga Persia yang datang ke berbagai wilayah di Indonesia dan membentuk klan di tanah Air. Pertama, keluarga Lor atau Lur, yang tinggal di Jawa Timur. Mereka mendirikan permukiman Lor yang dikenal dengan nama Lorin, Loran atau Leran yang berarti orang-orang Lor. Mereka diperkirakan tiba di era kerajaan Nasiruddin Ibn Badr yang memerintah wilayah Lor, Iran sekitar tahun 912 Masehi atau 300 Hijriah. Kedua, keluarga Jawani yang tinggal di Pasai, Aceh. Keluarga inilah yang menyusun khat Jawi yang artinya tulisan Jawi yang dinisbatkan kepada Jawani. Mereka pernah memerintah di Iran sekitar tahun tahun 913 Masehi atau 301 Hijriah. Ketiga, keluarga Syiah yang mendirikan perkampungan yang dikenal dengan nama “Siak”, lalu berkembang menjadi Nagari Siak, yang diberi nama “Siak Seri Inderapura”. Diperkirakan mereka datang di era pemerintahan Ruknuddaulah Ibn Hasan Ibn Buwaih Al-Dailami sekitar tahun 969 Masehi.[2]

Dari data tentang waktu kedatangan Suku Lor tersebut, Agus Sunyoto lalu menghubungkan bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun. Menurutnya, besar kemungkinan Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jum’at, bulan Rajab, tahun 475 H/ 1082 M itu, bukanlah generasi pertama imigran Persia, melainkan seorang wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loran dan Leran sejak abad ke-10 Masehi.[3] Dengan kata lain, masyarakat suku Lor yang kemudian bermukim di Desa Leran tampaknya berhasil berasimilasi dengan masyarakat sekitar dan mendapatkan kedudukan yang cukup diakui di wilayah tersebut. Ini terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan dengan baik makam-makam anak keturunan Suku Lor, salah satunya adalah makam Fatimah binti Maimun yang Prasastinya pun tetap utuh hingga hari ini.

Lebih jauh, Agus Sunyoto dalam bukunya menganalisa juga hasil galian arkeologi di Dusun Leran, Desa Pesucian, Manyar, Gresik, di sekitar kompleks makam Fatimah binti Maimun berupa mangkuk-mangkuk keramik yang kemungkinan berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi. Menurutnya, dari bukti-bukti ini dapat diasumsikan bahwa di sekitar tempat tersebut pernah tinggal komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan Cina di utara dan India di selatan serta Timur Tengah. Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau memang merupakan pemukiman perkotaan dan perdagangan.[4] Selain itu, salah satu bukti bahwa di wilayah tersebut pernah bermukim suku bangsa Persia, tidak jauh di sebelah tenggara Leran terdapat Desa Roma, yang menurut tradisi lisan masyarakat setempat, nama desa tersebut berasal dari bermukimnya lima orang Rum (Persia) di tempat tersebut pada masa silam.[5]

Dan yang cukup mengejutkan, diperkirakan bahwa Fatimah binti Maimun adalah seorang pemimpin, atau sekurang-kurangnya adalah seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi di tengah masyarakat. Kata asy-Syahidah yang tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai ‘wanita korban syahid’ seperti ditafsirkan Muhammad Yamin, namun menurut Agus Sunyoto, kata ini juga bisa dimaknai ‘pemimpin wanita’.[6] Ini juga mungkin yang membuat makam Fatimah binti Maimun dibuat lebih khusus dari makam masyarakat lainnya pada masa itu. (AL)

Bersambung…

Fatimah binti Maimun; Jejak Islam Pertama di Pulau Jawa (4)

Sebelumnya:

Fatimah binti Maimun; Jejak Islam Pertama di Pulau Jawa (2)

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://forum.republika.co.id/showthread.php?2346-Pribumi-Indonesia-Adalah-Keturunan-Rasulullah-yang-Bermazhab-Ahlulbayt-(Syiah), diakses 11 Maret 2018

[2] Lihat, Prof. Madya DR. Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI, dalam Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 185

[3] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 60-61

[4] Ibid, hal. 58-59

[5] Ibid, hal. 50

[6] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*