“Makam Fatimah binti Maimun, dan makam-makam di sekitarnya, bercerita tentang lapisan-lapisan babak sejarah Islam dan peradaban lainnya di Pulau Jawa.”
—Ο—
Dalam perkembangannya makam Fatimah binti Maimun terus mengapung di arus waktu. Menjadi satu penanda sejarah, dan tetap dirawat oleh masyarakat. Beberapa abad setelah wafatnya Fatimah binti Maimun, Desa Leran ditempatkan pada posisi khusus oleh kekuasaan yang datang kemudian. Hal ini dapat ditinjau dari aspek toponim, dimana nama-nama dusun di sekitar makam Fatimah binti Maimun menunjukkan bahwa wilayah ini diberi kekhususan tersendiri pada masa silam. Toponim Wangen (tapal batas), Pasucian (tempat bersuci), penganden (Tempat kaum ningrat), Kuti (Vihara Budha), dan Daha (kemerahan) menunjukkan bahwa kawasan sekitar komplek makam adalah wilayah khusus berstatus shima yang bebas pajak dan dikeramatkan rakyat.[1]
Pada abad ke-13, ketika masyarakat Hindu-Buddha menguasai wilayah ini, Desa Leran tetap dilestarikan dan tetap diperlakukan dengan hormat. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya prasasti Leran yang sekarang dapat dilihat di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini berasal dari abad ke-13 M, terbuat dari tembaga, dan ditulis dengan menggunakan Bahasa Jawa kuno. Dalam prasasti ini disebutkan bawah Desa Leran adalah tanah perdikan bebas pajak (sima ri leran) yang sebagian penduduknya adalah pedagang. Disebutkan pula dalam prasasti tersebut, bahwa ada tempat suci bernama batwan yang di tempat tersebut bersemayam “arwah suci Rahyang Kutik”.[2]
Bila melihat dari waktunya, yaitu abad ke-13 Masehi, adalah era pemerintahan Singasari dan Majapahit, yang merupakan penganut agama Hindu-Buddhis. Namun anehnya, tidak ditemukan bekas candi yang biasanya dibuat untuk menandai tempat suci umat Hindu. Menurut Agus Sunyoto, besar kemungkinan “tempat suci batwan” yang dimaksud itu adalah makam Fatimah binti Maimun. Dan arwah suci Rahyang Kutik tersebut tidak lain adalah ruh agung Fatimah binti Maimun.[3]
Bukti lain yang menunjukkan bawah tempat ini dianggap keramat dan dimuliakan pada masa kekuasaan Hindu-Buddhis berkuasa, adalah struktur bangunan makam itu sendiri. Makam Fatimah binti Maimun terletak di dalam sebuah cungkup persegi dengan luas 4×6 M dan tinggi 16 M. Cungkup tersebut berbahan batu kapur yang diambil dari gunung suci, Manyar. Berbeda dengan bangunan makam wali pada umumnya, cungkup bangunan makam Fatimah binti Maimun lebih menyerupai sebuah candi pada masa Hindu-Budha.[4] Besar kemungkinan bangunan ini dibuat pada masa kerajaan Hindu-Buddha menguasai wilayah tersebut. Karena demikian dimuliakan dan dikeramatkan, maka penguasa pada masa itu membangun struktur candi untuk melestarikannya.
Di dalam cungkup bangunan makam Fatimah binti Maimun terdapat 5 buah pusara, dan pusara paling istimewa adalah yang ditutup kain tirai berwarna hijau, yang dianggap sebagai pusara Fatimah binti Maimun. Sedang empat puasara lain, diduga merupakan makam para dayang atau saudari Fatimah, yaitu Putri Seruni, Putri Keling, Putri Rucing, dan Putri Kamboja.[5] Tapi asumsi ini tampaknya masih perlu ditinjau lebih jauh akurasinya. Mengingat cungkup yang berbentuk candi itu sendiri dibangun baru beberapa abad setelah wafatnya Fatimah binti Maimun, atau pada masa kerajaan Hindu-Budha menguasai Leran. Artinya pengelompokan pusara itu dibuat berdasarkan asumsi masyarakat sekitar yang hidup beberapa abad setelah Fatimah binti Maimun wafat. Selain itu, nama-nama putri yang dimaksud tidak tertera dalam prasasti sebagaimana nama Fatimah binti Maimun. Dan bila ditinjau dari nuasanya, nama-nama mereka cukup kontras dengan nama Fatimah binti Maimun yang bernuasa sangat Islam.
Yang menarik juga, di sekitar makam Fatimah binti Maimun terdapat cukup banyak makam kaum Muslimin lain. Beberapa yang paling menyita perhatian adalah 8 makam panjang yang terdiri dari 6 makam panjang berukuran 9 meter dan 2 makam panjang berukuran 6 meter. Pemilik dari 8 makam panjang tersebut adalah Sayid Jafar, Sayid Kharim, Sayid Syarif, Sayid Jalal, Sayid Jamal, Sayid Jamaluddin, Raden Ahmad, dan Raden Said.[6] Makam-makam panjang ini dibuat berkelompok, dan diberi pembatas khusus. Belum jelas alasan pengelompokan ini, apakah berdasarkan tingkat kemuliaan, atau berdasarkan waktu wafatnya. Tapi tiga diantara 8 makam panjang tersebut, tampak dikelompokkan secara lebih istimewa dari yang lain. Ketiga pusara tersebut adalah milik Sayid Jafar, Sayid Kharim, Sayid Syarif.
Sebagian pendapat ada yang mengatakan bahwa makam-makam ini adalah pusara dari sanak keluarga, dan juga paman dari Fatimah binti Maimun. Tapi menurut kajian arkelogis, makam-makam ini berusia jauh lebih muda dari makam Fatimah binti Maimun. Pola ragam hias yang ada di makam-makam tersebut lebih menunjukkan bahwa makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi. Terkait hal ini, Agus Sunyoto menghubungkan keberadaan makam-makam tersebut dengan dakwah Islam yang dilakukan oleh Syeik Maulana Malik Ibrahim pada perempat akhir abad ke-14 M dan perempat awal abad ke-15 M.
Dikisahkan Syeik Maulana Malik Ibrahim ketika pertama kali tiba di Pulau Jawa, beliau menetap di Desa Sembalo di Dusun Leran. Di tempat ini beliau menyebarkan dakwah dan akhirnya membentuk satu komunitas Islam. Setelah cukup kuat menetapkan pondasi agama di Desa Leran, beliau lalu beranjak melanjutkan perjalanan ke Gresik.[7] Tidak dijelaskan mengapa Walisongo yang pertama ini memilih Leran sebagai tempat petilasan pertamanya. Kemungkinan karena adanya kedekatan historis antara Syeik Maulana Malik Ibrahim dengan Fatimah binti Maimun yang juga Muslim dan berketurunan Persia. Tapi yang jelas, adalah satu banggaan bagi komunitas Muslim yang baru didirikan oleh Syeik Maulana Malik Ibrahim dimakamkan di sekitar areal makam Fatimah binti Maimun, yang merupakan leluhur yang mereka muliakan. Wallahualam bi sawab.. (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 57
[2] “Pahinangi sang hyang sima li leran, purwa akalihan wates galengan sidaktan lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si dukut, angalor atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut galenging tamba ri susuk ning huluning batwan…mwah rahyangta kutik nguni matengi irikan susuk ri batwan ngaranya.” Menurut isi prasasti Leran, sima ri leran adalah tanah perdikan bebas pajak yang sebagain penduduknya pedagang, batas di sebelah timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang disebut milik si Dukut; di utaranya pula berbatasan dengan tambak Si Bantawan; lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. Di tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyang Kutik. Ibid, hal. 60
[3] Ibid
[4] Lihat, http://www.suaragresik.com/2013/11/siti-fatimah-binti-maimun-makam-panjang.html, diakses 20 Maret 2018
[5] Ibid
[6] Lihat, http://www.laurentiadewi.com/2017/04/04/makam-fatimah-binti-maimun-bin-hibatullah-siti-fatimah-binti-maimun-makam-islam-tertua-di-nusantara/, diakses 20 Maret 2018
[7] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 61