“Ketika Allah membantu perjuangan jiwa seseorang untuk menjadi versi terbaiknya, maka orang tersebut juga harus berkomitmen untuk memperbaiki orang lain dengan menyebarkan kebaikan pada orang lain seperti memberikan nasehat dan pesan kepada yang bermanfaat bagi mereka.”
Ibnu Miskawayh sebagai seorang ulama tersohor dalam bidang etika (ethics) memiliki perspektif khusus tentang filsafat manusia dalam menggambarkan teori etikanya. Kumpulan pemikirannya tentang filsafat manusia tertuang dalam bukunya “Tahdhīb al-akhlāq”.
Ibnu Miskawayh mendefinisikan manusia sebagai makhluk unik yang terdiri dari substansi material dan non-material.[1] Substansi material manusia merupakan tubuh fisiknya sedamgkan substansi non-material merupakan jiwa manusia yang tidak terlihat dan abadi. Oleh karenanya, jiwa adalah penuntun bagi tubuh manusia karena dapat menjangkau apa yang tidak dapat dijangkau oleh indera biasa.
Jiwa manusia terbagi menjadi tiga fakultas, yaitu; Pertama, jiwa rasional (al-nāṭiqāh), jiwa yang berfungsi untuk berpikir dan berefleksi, dan otak adalah organ manusia yang berfungsi untuk itu sehingga jiwa inilah yang dapat membimbing tubuh manusia dan menjadikan manusia sebagai ciptaan yang sempurna.
Kedua, jiwa nafsu (al-shahwiyyah) adalah jiwa yang mendorong manusia memiliki keinginan untuk makan, minum, serta berhubungan seksual, dan hati adalah organ manusia yang merepresentasikan jiwa ini.
Ketiga, jiwa pemarah (al-ghadabiyyah) adalah jiwa yang mendorong manusia untuk memiliki sifat amarah, berani, serta angkuh, dan jantung adalah organ yang merepresentasikan jiwa ini.[2] Oleh karena itu, menurut Ibnu Miskawayh, dominasi salah satu dari tiga kekuatan jiwa tersebut akan menghancurkan kekuatan jiwa yang lainnya.[3]
Ketiga jiwa tersebut dapat bersinergi di bawah konsep moderasi yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 143, sehingga, sinergi yang baik dari ketiganya akan menghasilkan ummatan wasaṭan (umat yang moderat). Maka dari itu, kebajikan kebijaksanaan bukanlah hasil dari kekuatan tertentu dari satu jiwa tetapi merupakan kerja harmonis dari ketiga kekuatan yang merupakan logika, amarah dan keinginan (nafsu).[4]
Ibn Miskawayh sangat rinci membahas sub karakter (kepribadian) yang merupakan komponen dari tiga jiwa tersebut. Uniknya, Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa ada empat kepribadian lain yang tidak terkait dengan jiwa mana pun, yaitu; pertama, kebajikan (tafaḍḍul) yaitu peningkatan keadilan, dan kesempatan ini muncul ketika seseorang dapat berbuat adil antara dirinya dan orang lain bukan antara dua orang lainnya.[5]
Kedua, kasih (maḥabbah) sayang merupakan perasaan lembut antara manusia dan itu mengacu pada sifat alamiah manusia. Ketiga, persahabatan (Ṣadāqah) merupakan jenis kasih sayang dalam bentuk yang lebih spesifik karena persahabatan tidak terjadi dalam komunitas yang luas.[6] Dan keempat adalah cinta (‘ishq) yang merupakan bentuk spesifik dari persahabat karena hanya terjadi antara dua individu dan cinta bisa berupa cinta jasmani (tercela) dan cinta rohani (terpuji).
Adapun tingkatan cinta rohani yang paling tinggi adalah; pertama, cinta kepada Allah, kedua, cinta kepada guru dan terakhir adalah cinta kepada orang tua. Cinta kepada guru lebih tinggi tingkatannya daripada cinta kepada orang tua dikarenakan adanya ikatan batin (melaui ilmu dan pendidikan) yang lebih kuat daripada sekedar ikatan biologis antara anak dan orang tua.
Melengkapi teori diatas, Ibn Miskawayh juga membahas tentang penyucian jiwa, karena penyucian jiwa merupakan jalan menuju puncak tujuan yaitu kebahagiaan. Ibn Miskawayh fokus untuk menemukan landasan metafisik dari teori etikanya yaitu untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Mensucikan diri berarti perjuangan (jihād) melawan diri sendiri. Keadaan jiwa yang bersih dan murni akan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Dan di saat ini, yaitu ketika Allah membantu perjuangan jiwa seseorang untuk menjadi versi terbaiknya, maka orang tersebut juga harus berkomitmen untuk memperbaiki orang lain dengan menyebarkan kebaikan pada orang lain seperti memberikan nasehat dan pesan kepada yang bermanfaat bagi mereka.[7]
Seseorang yang berhasil mensucikan jiwanya, maka jiwa rasional (al-natiqah) akan menjadi kebijaksanaan (ḥikmah), jiwa yang pemarah (al-ghaḍabiyya) akan menjadi keberanian (shajā’ah) dan jiwa nafsu (al-shahwiyya) akan terkendali dengan baik (‘iffah).
Dengan demikian, konsep insān al-kāmil (manusia sempurna) yang digagas oleh ibn Miskawayh memiliki tujuan utama untuk meraih kebahagiaan tertinggi (kebahagiaan ukhrawi).
Ada dua aspek dari manusia yang harus terpenuhi untuk mencapai konsep ini; pertama, aspek teoritis (al-juz al-naẓarī), yaitu keinginan terhadap ilmu yang dengannya akan mengantarkan kepada keyakinan/iman yang kuat, sebab ilmu yang paling tinggi adalah ilmu Allah. Oleh karena itu, orang yang telah memenuhi aspek teoretisnya akan hidup damai tanpa ada rasa ragu di hatinya.
Kedua, aspek praktis (al-juz al-‘amalī), yaitu implementasi dari pengetahuan yang diperoleh seperti etika yang baik dalam berperilaku dan bermuamalah dengan sesame. Maka dapat dipahami bahwa aspek teoretis adalah bentuk abstrak sedangkan aspek praktis adalah bentuk material dan keduanya saling melengkapi satu sama lain.[8] Sehingga jelaslah bahwa konsep filsafat manusia menurut Ibn Miskawayh berlandaskan etika, melalui sinergi tiga komponen utama jiwa dengan proses penyucian jiwa, yang bertujuan mencapai kebahagiaan tertinggi. (NSS)
Catatan kaki:
[1] Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-Aʿrāq, (Egypt: Husayniyyah Press: 1329H), 4.
[2] Syamsul Bakri, “Pemikiran Filsafat Manusia Ibnu Miskawaih: Telaah Kritis Atas Kitab Tahdzib Alakhlaq,” Al-A’raf : Jurnal Pemikiran Islam Dan Filsafat 15, no. 1 (2018): p. 151, https://doi.org/10.22515/ajpif.v15i1.1102.
[3] Ibid., 152.
[4] Bakhtiar H. Siddiqui, “Miskawaih’s Thoughts on Human Personality,” Intellectual Discourse 9, no. 1 (2001): p. 39, https://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/id/article/download/468/414.
[5] Bakhtiar H. Siddiqui, “Miskawaih’s Thoughts on Human Personality,” Intellectual Discourse 9, no. 1 (2001): p. 39, https://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/id/article/download/468/414.
[6] Miskawayh, ibn, Tahdhīb al-akhlāq wa taṭhīr al-qulub, 114
[7] Mohammed Nasir Omar, “Miskawayh’s Theory of Self-Purification and The Relationship Between Philosophy and Sufism,” Journal of Islamic Studies 5, no. 1 (January 1994), p. 43, https://doi.org/10.1093/jis/5.1.35.
[8] Ibid., 33.