Filsafat Politik Al Farabi  

in Studi Islam

Salah satu persoalan paling pelik dalam studi tentang masyarakat, adalah bagaimana membuat satu sistem masyarakat dan negara yang ideal. Bahkan upaya umat manusia dalam mencari satu format ideal tentang cara mengatur masyarakat, sudah ada sejak pertama kali manusia berkumpul. Para ilmuan sosial seperti Jean-Jacques Rousseau meyakini, bahwa sistem dalam masyarakat, khususnya terkait struktur sosial adalah hasil bentukan, tidak terjadi secara alamiah. Ini sebabnya semua ilmuan sosial sejak masa Yunani hingga saat ini, mencari jawaban atas hal ini.

Dalam khasanah pemikiran Islam, ada nama Al Farabi, yang merupakan pemikir filsafat politik pertama dalam Islam. Dalam jajaran para filosof muslim, nama Al Farabi menduduki posisi paling pertama sebagai pemikir terbesar sepanjang sejarah Islam. Pandangan dan karya-karyanya mengundang decak kagum baik di dunia barat maupun di timur. Ia berjasa memuluskan jalan bagi kemunculan Ibn Sina dan Ibn Rusyd dalam blantika filsafat dan pemikiran. Dalam bidang filsafat, ia adalah filosof pertama yang memperkenalkan gagasan Wajib al Wujud dan mumkin al wujud. Ia pula yang mempersembahkan sebuah metode argumentasi efektual tentang ketuhanan sesuai dengan ayat-ayat suci Al Quran yang menganjurkan perenungan terhadap alam semesta.[1]

Hampir semua topik yang dibahas dalam kitab karya Al Farabi menjadi rujukan para cendikia timur maupun barat. Dalam bidang politik, karyanya yang paling monumental adalah Al Madinah Al Fadhilah (Kota Utama). “Manusia”, tulis Al Farabi, “termasuk dalam spesies-spesies yang tak dapat penyelesaikan urusan-urusan penting mereka, ataupun mencapai keadaan terbaik mereka, kecuali melalui asosiasi (perkumpulan) banyak kelompok dalam satu tempat tinggal yang sama…”

Dalam Al Madinah Al Fadhilah, ia menguraikan ini secara lebih rinci. “ Demi mempertahankan (keberadaan)-nya dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat dipenuhi sendiri. Ia sungguh membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan-kebutuhan tertentunya. Setiap orang mendapatkan dirinya dalam hubungan yang sama dengan orang lain dengan cara seperti ini. Oleh karenanya, manusia tak akan pernah meraih kesempurnaan itu, yang untuk itu sifat bawaannya telah diberikan kepadanya, kecuali (melalui asosiasi)  banyak (kelompok) orang, yang bekerja sama, berkumpul  bersama, masing-masing memasok orang-orang lainnya dengan beberapa kebutuhan tertentu. Sehingga, sebagai hasil sumbangan seluruh komunitas, segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan (dan didistribusikan). Kota Utama adalah Kota yang – melalui perkumpulan yang ada didalamnya – bertujuan untuk bekerja bersama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya”.

Hanya persoalannya, tidak semua orang memiliki keinginan dan kecenderungan mengetahui kebahagiaan yang merupakan tujuannya. Andaipun ia mengetahui, tidak semua dari mereka bersedia mematuhi pengetahuannya, bila tidak ada rangsangan dari luar. Disisi lain, tidak semua memiliki kapasitas dan kemampuan memandu orang lain. Atau kalaupun memiliki, tidak semua orang memiliki kemampuan menasehati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu.

Menurut Al Farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasehati : 1) penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified ruler atau penguasa tanpa kualifikasi), 2) penguasa sub ordinat (penguasa tingkat dua) yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan 3) yang dikuasai sepenuhnya.

Kota Utama adalah kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang “ benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan…, ia mampu memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing dengan baik, sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan, mendefinisikan dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif…, Orang seperti ini adalah pangeran sejati. Menurut para leluhur; dialah orang yang tentangnya dikatakan bahwa dia menerima wahyu. …Pemerintahan seperti ini merupakan pemerintahan tertinggi; pemerintahan yang lainnya berkedudukan di bawahnya dan berasal darinya. “

Segera setelah mengemukakan kualifikasi penguasa utama – yaitu orang yang menerima wahyu – Al Farabi menyebutkan, “ orang-orang yang diperintah oleh pemerintahan penguasa seperti ini adalah orang-orang yang utama, baik dan bahagia”, seakan-akan para warga itu sendiri berpotensi menjadi penguasa-penguasa utama. Namun, “jika terjadi tidak ada orang ( setelah tiadanya penguasa utama) yang memenuhi persyaratan seperti ini, perlu ditetapkan hukum-hukum yang digariskan oleh penguasa-penguasa sebelumnya, menulisnya, melestarikannya, dan memerintah kota berdasarkan hukum-hukumnya, akan menjadi pangeran berdasarkan hukum (sunnah)”.

Terkait opsi kedua ini, dalam “tafsir” Yamani terhadap Filsafat Politik Al Farabi, kota alternatif yang dimaksud lebih dekat dengan ciri-ciri demokrasi.[2] Maski bagi Al Farabi, selain Kota Utama, semua sistem lain adalah “Jahiliyah”. Tapi diantara banyak sistem jahiliyah tersebut Al Farabi menggambarkan kota alternatif tersebut sebagai “Kota yang setiap penduduknya mendapatkan keleluasaan dan dibiarkan melakukan apapun yang dikehendakinya. Penduduknya setara, dan hukum mereka mengatakan bahwa sama sekali tidak ada orang yang lebih baik daripada orang lain. Penduduknya leluasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Dan tidak ada orang, apakah dia itu penduduk atau bukan penduduk, dapat mengklaim wewenang kecuali bila bekerja memperbesar kemerdekaan mereka…, Mereka yang memerintah, berbuat demikian mengikuti kehendak mereka yang diperintah, dan penguasa mengikuti kehendak yang dikuasai”.

Dalam padangan Al Farabi, sistem yang berlangsung di kota demokrasi lebih memungkinkan orang-orang bajik untuk muncul, meski disisi lain, kemungkinan kejahatan untuk muncul juga tak kalah besar. Hanya persoalannya, ketika masyarakat dibiarkan untuk mengejar keinginannya sekehendak hati, maka kemungkinan untuk orang bajik memimpin akan semakin kecil. Sebab orang-orang bajik ini tentu akan mengarahkan masyarakat pada kebahagiaan sejatinya. Sedang masyarakat yang memilih sistem demokrasi lebih menginginkan penguasa yang mempermudah penduduk mencapai keinginannya, dan melicinkan jalan bagi penduduk untuk mendapatkan dan sekaligus melestarikan apa yang diinginkannya.

 

Sumber Rujukan :

[1] Lihat, Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, Jakarta, Al Huda, 2005, Hal. 91

[2] Yamani, “Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam”, Bandung, Mizan, 2002, Hal. 75

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*