Hikayat Karbala dari Tanah Melayu

in Islam Nusantara

Last updated on October 20th, 2017 02:52 pm

 

Oleh: Irman Abdurrahman

 

Sebuah hikayat dari ranah kesusasteraan Melayu lama berkisah tentang peristiwa Karbala. Warisan budaya yang terlupakan.

Meski tampak lusuh, kitab itu tetap terawat. Beberapa bagian yang robek coba ditautkan dengan sejenis perekat. Tiap-tiap lembarnya menebarkan wangi kapur barus yang menjaganya dari kerusakan. Tersimpan dalam ruangan bersuhu 16°C, seperti juga kisah di dalamnya, Hikayat Muhammad Hanafiah, nama kitab itu, memang tak lekang oleh zaman.

Tak banyak orang tahu bahwa hikayat berusia hampir empat ratus tahun ini menyimpan kisah sedih keluarga Rasulullah saw: kisah pembunuhan Hasan karena racun dan Husain di padang Karbala. Boleh jadi inilah catatan paling awal dalam bahasa melayu tentang peristiwa berdarah tersebut. Liau Yock Fang dari Jurusan Pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura, mencatat bahwa fragmen (sepanjang 60 halaman) hikayat ini sudah tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge, sejak tahun 1604. Dalam salah satu bagian naskah yang dimiliki Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), tertulis tahun tahun 1191 H atau bertepatan dengan 1771 M sebagai waktu penyalinan naskah.

PNRI memiliki sembilan naskah Hikayat Muhammad Hanafiah. Beberapa halaman dari tiga naskah di antaranya telah lapuk dan hampir tidak dapat dibaca. Selebihnya naskah dalam kondisi yang baik dan tulisan di dalamnya jelas terbaca. Kesembilan bagian naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran naskah rata antara 25 X 20 cm sampai 33 X 21 cm dan banyak baris sekitar 15 sampai 21 baris. Jumlah halaman bervariasi dari 170-an halaman sampai ada yang berjumlah 600 halaman. Semuanya ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan dalam bahasa Melayu.

Sebagian besar peneliti meyakini Hikayat Muhammad Hanafiah berasal dari sumber Arab. Tapi, Filolog tenar asal Belanda, Van Ronkel punya cerita lain. Setelah menyelediki fragmen Cambridge, Ronkel berpendapat bahwa hikayat ini merupakan terjemahan dari bahasa Persia. Alasannya, pujian yang melimpah kepada kedua putra Ali, Hasan, dan Husain, pemakaian gelar pengembara untuk Nabi saw yang dalam bahasa Persia adalah nabi, dan kesesuaian isinya dengan dua naskah versia Persia yang tersimpan di British Museum. L.F. Brakel yang pernah menyunting Hikayat Muhammad Hanafiah untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraannya dari Universitas Leiden mengukuhkan pendapat Van Ronkel dengan beberapa bukti baru.

Pertama, bahwa pembagian bab dalam naskah Melayu sama dengan naskah Persia. Kedua, dalam bahasa Persia, hubungan kekerabatan dalam bahasa Arab pada nama Muhammad bin Hanafiah, dinyatakan oleh apa yang dinamakan ezafat:e ‘yang tidak dinyatakan’ sehingga menjadi Muhammad Hanafiah. Karena mengabaikan ezafat:e tadi, penyalin Melayu telah salah menuliskan nama tersebut, yakni Muhammad Hanafiah bukan Muhammad bin Hanafiah. Ketiga, banyak nama orang yang ditulis dalam bentuk Persia, seperti Ummi Kulsum dan Immi Salamah.

Meskipun demikian, Brakel juga tidak memungkiri kemungkinan hikayat ini merujuk kepada sebuah kitab sejarah dalam bahasa Arab, Maqtal al-Husain, karya Abu Mikhnaf. Karya Abu Mikhnaf ini merupakan catatan paling awal karena sebagian besar sejarahwan Muslim merujuknya ketika menulis tentang pembantaian keluarga Nabi saw tersebut.

Tiap-tiap naskah Hikayat Muhammad Hanafiah berkisah tentang hal yang berbeda meskipun masih berkisar seputar terbunuhnya kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut. Naskah pertama paling banyak mengisahkan tentang gugurnya anak-anak Ali, seperti Hasan dan Husain di Karbala pada masa kekuasaan Yazid. Meskipun jelas, beberapa bagian tampak sudah lapuk dan robek. Isi naskah pertama ini sudah pernah ditransliterasi dan diberi penjelasan oleh seorang peneliti Belanda, Prof. Pijnappel pada 1870. Sayangnya PNRI tidak memiliki hasil penelitian itu.

Naskah kedua mengawali cerita dengan kisah nabi-nabi lama, mistik Nur Muhammad, kisah Fatimah dari Siria, masa muda Nabi Muhammad, pernikahan Nabi saw, hingga zaman Khalifah Ali. Naskah ketiga mengisahkan persahabatan Muhammad bin Hanafiah dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam perang tetapi dengan keajaiban lukanya sembuh. Yazid dapat mengalahkan musuh-musuhnya lalu kemenakannya ditunjuk menjadi raja Damaskus dan kawin dengan cucu Abu Bakar. Akhirnya Muhammad Hanafiah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya seorang diri.

Berbeda dengan naskah-naskah yang lain, naskah keempat Hikayat Muhammad Hanafiah yang dimiliki PNRI memiliki cerita yang sangat berbelit-belit. Selain itu, bahasanya pun sukar dipahami. Naskah kelima merupakan bagian terpanjang, yakni mencapai 600 halaman. Tebalnya naskah ini, salah satunya, disebabkan oleh hurufnya yang sangat besar. Satu hal lagi, selain naskah keenam, yang kelima ini merupakan bagian yang memuat waktu penyalinan dengan lengkap, yaitu 11 Rabi’ul Awwal 1288 H.

Naskah yang keenam yang bertanggal 6 Sya’ban 1281 H ini memuat kisah kematian Yazid pada bab III, tetapi di dalamnya, tidak diceritakan kemenangan Muhammad bin Hanafiah yang banyak dibicarakan dalam naskah-naskah lain. Naskah ketujuh merupakan sebuah eksemplar yang baik meski sebagian rusak. Naskah ini mengisahkan tentang perikehidupan Nabi saw secara panjang lebar.

Naskah kedelapan dimulai dengan uraian tentang kewajiban-kewajiban bagi para pengikut Nabi saw, sementara kelahiran Hasan dan Husain baru terdapat pada halaman 88. Naskah terakhir memuat cerita peperangan antara Ali dengan Muawiyah, pembunuhan Hasan dengan racun dan Husain di padang Karbala oleh Yazid. Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan dari Muhammad bin Hanafiah kepada Yazid. Yazid dapat dikalahkan tetapi Muhammad bin Hanafiah malang juga nasibnya. Ia mati bersama musuh-musuhnya dalam sebuah gua.

Dengan kandungan yang sarat nilai, naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiah jelas sangat berharga untuk diteliti. Tetapi penelitian filologi yang menuntut keahlian interdisiplin tampaknya kurang diminati para peneliti dan mahasiswa kita. Justru peneliti asing yang banyak meneliti-meneliti naskah-naskah tersebut. Ibarat peribahasa “kacang lupa akan kulitnya”, kita kerap memandang sebelah mata terhadap warisan budaya nenek moyang. [irman abdurrahman]

Bersambung ke:

Dan Muawiyah pun Menolak Beristri

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*