Kongres SDI di Surabaya pada tahun 1912 adalah merupakan salah satu keputusan yang sangat bersejarah, karena dalam kongres itu nama Sarekat Dagang Islam (SDI) berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Dan mengubah konsep pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan yang beroritentasi pada sosial-politik. Lewat kongres itu pula H. Samanhudi menyerahkan kursi kepemimpinan SI kepada Tjokroaminoto.
Di bawah kepemimpinannya, organisasi pergerakan ini kemudian dapat tampil menjadi gerakan nasional secara total. Ia mampu mengembangkan missi gerakan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika pada awal-awal kelahiran organisasi pergerakan ini menggunakan istilah “kongres” dalam musyawarah kerjanya, maka pada periode-periode berikutnya organisasi ini menggunakan istilah “kongres nasional” yang sekaligus mencerminkan organisasi ini sebagai pergerakan nasional secara menyeluruh. Gerakan SI yang menyebar ke segenap penjuru Nusantara itu bukan saja mencerminkan bahwa organisasi tersebut telah tersebar ke seluruh daerah di Nusantara, tetapi juga mencerminkan suatu usaha yang sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme.
Bagi Tjokroaminoto istilah “nasionalisme” itu merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa), untuk berjuang menentukan pemerintahannya sendiri, atau setidak-tidaknya agar rakyat Indonesia diberikan hak untuk mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah politik. Dalam kongres nasional di Bandung pada tahun 1916 itu ia berkata”
“tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat dimana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri…….Tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa pastisipasi kita”
Tjokroaminoto mengambil sikap yang pasti dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin terbuka. Di bidang kebudayaan, ia sangat ketat menjaga kelestarian adat istiadat yang ada sebagai milik bangsa Indonesia, dan karena itu ia sangat selektif terhadap kebudayaan Barat yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Dengan bangga ia mempertahankan bentuk-bentuk kesenian Jawa dan berbagai tradisi lainnya. Akan tetapi, ia menentang simbol-simbol pemujaan yang masih dilaksanakan sebagian besar rakyat Indonesia, seperti gelar keningratan, sembah sujud, dan sesajen-sesajen. Oleh karena itu, ia mengikuti gerakan “Jawa Dwipa” yang bertujuan mengubur sikap mental dan lambang-lambang feodalisme. Ia menerapkan metode dan sistem Barat dalam menjalankan roda organisasi, dalam bekerja, berdiskusi, dan berfikir, tapi menentang sikap dan gaya hidup kebarat-baratan yang menimbulkan akbiat-akibat negatif dalam masyarakat.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto terus dikembangkan lewat Sarekat Islam ini. Titik tolak pemikiran dan cita-cita perjuangannya didasarkan atas tiga dimensi, yakni situasi dan kondisi kemasyarakatan yang menjadi tantangan dan harus dihadapinya; aktifitas-aktifitas yang dilakukannya dalam dunia pergerakan nasional sebagai jawaban terhadap tantangan yang dihadapinya; dan gagasan-gagasan yang ditawarkan, baik secara langsung melalui ceramah-ceramahnya maupun berupa tulisan dalam berbagai media massa.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto dituangkan dalam berbagai tulisan karangan di media massa maupun dalam bentuk buku. Beberapa buku hasil tulisan karangannya sangat dikenal dan menjadi bagian terpenting dalam sejarah pergerakan Indonesia. Ia menulis sejarah Nabi Muhammad Saw, agar masyarakat mau meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menjalankan ajaran Islam sesuai dengan ajaran nabi. Ia juga menulis buku berjudul Reglement Umum Umat Islam, sebagai pedoman hidup umat Islam dalam bidang akhlak, akidah, ibadah, perkawinan dan amar makruf nahi munkar. Tentang pendidikan ia menulis buku berjudul Muslim National Onderwijs, yaitu membentuk manusia berpribadi Muslim, melalui pelatihan otak, menanamkan semangat kemerdekaan dan keberanian yang patriotik, membiasakan berbuat baik, dan hidup sederhana. Sedangkan untuk menanggulangi faham sosialisme yang disusung oleh kaum atheis dan komunis di Indonesia ia menulis buku Islam dan Sosialisme. Buku ini sangat terkenal dan monumental, bahkan menjadi salah satu karya terbesar Tjokroaminoto. Di dalamnya memuat sistem kemasyarakatan yang social-religius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi, dan musyawarah untuk mufakat.
Salah satu wasiat Tjokroaminoto yang sangat terkenal adalah ungkapan “lerena mangan sadurunge wareg” yang berarti “berhentilah makan sebelum kenyang”. Pesan ini memang bersumber dari hadis Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi dengan mewariskannya secara turun menurun, menunjukan bahwa Tjokroaminoto ingin menyampaikan kepada generasi bangsa, agar menghindari sikap rakus dan serakah serta menggunakan aji mumpung, dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.
Pada tahun 1926, dalam perjalanan ibadah haji, Tjokroaminoto melakukan kunjungan ke Muktamar Alam Islami di Makkah. Saat-saat yang berharga itu tidak disia-siakannya untuk menggalang kerjasama umat islam internasional dan mewujudkannya di Indonesia dengan mengadakan kongres-kongres Al-Islami yang dihadiri oleh organisasi-organisasi nasional berasaskan Islam.
Pada kongres PSII ke-20 di Banjar Negara, 20-26 Maret 1934, Tjokroaminoto menyodorkan sebuah wasiat tertulis yang disahkan oleh forum sebagai “Pedoman Umat Islam”. Isinya memberikan wasiat dan pesan kepada umat Islam supaya menjadi pelopor dalam upaya membawa masyarakat menuju tatanan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Ia merasa bahwa kondisi kesehatannya semakin memburuk. Beberapa kali ia jatuh sakit dan harus menjalani perawatan.
Masa-masa berakhirnya perjuangan tokoh ini mulai terlihat tanda-tandanya. Di bulan Ramadhan 1553 H, Tjokroaminoto menderita sakit yang cukup parah di Yogyakarta. Konon di saat-saat terakhir itu, sekonyong-konyong Tjokroaminoto bangkit dan duduk, kemudian ia mengatakan bahwa ia sedang bertemu Rasulullah. Kemudian ia tidur kembali. Peristiwa itu berulang-ulang hingga Tjokroaminoto berpulang ke rahmatullah pada hari Senin Keliwon, 17 Desember 1934, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1553 H. (SI)
Selesai.
Sebelumnya:
Sumber:
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Sega Arsy, Bandung, 2008.
Masyhur Amin, HOS Tjokroaminoto; Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, Cokroamioto University Press, Yogyakarta.