Hubungan Masyarakat Arab Dan Otentitas Al Quran

in Studi Islam

Last updated on September 27th, 2017 10:59 am

Al-Quran memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Akan tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain selain penjelasan yang dikemukakan oleh Al-Quran itu sendiri? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah dalam Al-Quran? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti apa yang ditulis oleh Abdul Halim Mahmud : “para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya”, hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.

Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup mejadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi SAW tanpa pergantian dan perubahan adalah berkaitan dengan sifat dan cirri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.[1]

Seperti dikatakan di atas, bahwa perlu kiranya untuk menunjukan bukti-bukti kesejarahan lain, terutama kondisi-kondisi sosio-historis pada waktu itu yang akan menguatkan bahwa Al-Quran merupakan kitab otentik.

Al-Quran turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, 20 tahun 2 bulan dan 20 hari. Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang arab dikenal sangat kuat. Kesederhanaan masyarakat Arab, menjadikan mereka memiliki waktu luang untuk menambah ketajaman fikiran dan hafalan. Ditambah dengan kecintaan mereka terhadap kesusastraan, menambah tajam kemampuan hafalan dan sensitifitas terhadap bahasa-bahasa yang indah.

Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum muslim. Kaum muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka,[2]

Al-Quran memiliki keterkaitan yang erat dengan lingkungan perniagaan masyarakat perkotaan Arab ketika itu. Tanah air pertama Islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air keduanya Yatsrib atau kemudian yang berganti nama dan lebih popular dengan Madinah adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal kenabian Rasul SAW, namun lingkungan komersial Makkahlah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan Al-Quran.

Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan ternyata memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku arab. Suku-suku ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang kesucian Makkah. Lebih jauh mereka juga merupakan tempat suci yang diziarahi orang dari berbagai penjuru Arabia Barat. Jadi ka’bah jelas merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral bagi suku-suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi aktivitas niaga yang dijalankan orang-orang Makkah.

Perniagaan merupakan tema sentral dalam kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaaan kata yang digunakan kitab suci tersebut. Seorang sarjana Amerika beragama Yahudi, C.C Torrey, yang melakukan penelitian tentang hal ini, sampai pada kesimpulan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang mendasar, bukan sekedar kiasan-kiasan ilustratif. Ia menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori-kategori berikut : terma-terma matematik (hisab, al-hasib, ahsha), takaran dan ukuran (wazana, mizan, tsaqula, mitsqal), pembayaran dan upah (jaza, tsawwaba, tsawab, waffa, ajr, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqahsa), jual-beli (syara, isytara, ba’a, tijarah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardli, aslafa, rahin). Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan memang menghiasai lembaran-lembaran Al-Quran dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran-ajarannya yang asasi.[3]

Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Makkah, seperti “menjual”, “membeli” atau “barter” dan transaksi pada umumnya, juga digunakan Al-Quran untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Di dalam Al-Quran disebutkan : “sesungguhnya Tuhan telah membarter (isytara) dari orang-orang diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka …. maka bergembiralah dengan transaksi (bay’) yang telah dilakukan, dan itulah kemenangan yang besar” (QS. 9:111). Orang-orang beriman dinyatakan sebagai “orang-orang yang menjual (yasyruna) kehidupan dunia ini dengan kehidupan akhirat” (QS 4:74). Sementara orang-orang tidak beriman dikatakan “telah membarter (isytarawu) kesesatan dengan petunjuk” (QS 2:16), atau “kekafiran dengan keimanan” (QS 2:177). Lebih jauh, kata bay’ dibeberapa tempat dalam Al-Quran juga dihubungkan dengan Pengadilan Akhirat. Dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (QS 2:254 ; 14:31)[4]

Beberapa ilustrasi istilah perniagaan-teologis yang dikemukakan di atas hanya merupakan sebagian kecil dari ungkapan-ungkapan Al-Quran yang memiliki sentuhan erat dengan dunia bisnis Makkah. Terdapat berbagai konteks lainnya di dalam Al-Quran, dimana istilah-istilah perniagaan lain telah digunakan untuk mengekspresikan ajaran-ajaran mendasar kitab suci tersebut.

Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya. Dalam Al-Quran, demikian pula hadits-hadits nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita terlebih bila berita tersebut merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya. Dari alasan-alasan tersebut anjuran untuk membaca dan mempelajari Al-Quran mendapat sambutan hangat dari sahabat-sahabat.

Beberapa faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi SAW yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasul SAW, telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Quran.

Walaupun Nabi SAW dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga lisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi SAW lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk “kitab” pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar.[5] (SI)

 

Catatan : 

[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung

[2] Ibid

[3] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Yayasan Abad Demokrasi, Jakarta, 2011, hlm 16

[4] Ibid

[5] Op.Cit. Quraish Shihab

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*