Ilmuwan Islam abad pertengahan umumnya membangun sistem pengetahuan mereka dari landasan filosofis yang kokoh, menjulang hingga pada pembuktian empiris yang meyakinkan. Sangat mungkin, ini yang menyebabkan mereka umumnya adalah seorang polymath, atau orang-orang yang mampu menguasai multiplikasi disiplin ilmu dalam waktu bersamaan. Agaknya, inilah salah satu tradisi intelektual Islam yang hilang saat ini.
Ibnu haitham adalah ilmuwan yang terkenal dengan ungkapannya, “Bila mempelajari kebenaran adalah tujuan utama dari ilmuwan…, maka dia harus menjadikan dirinya sendiri sebagai musuh dari semua yang dia baca.”[1] Maksudnya, penting bagi setiap pelajar melakukan eksperimen untuk menguji apa yang tertulis atau yang dia baca daripada menerimanya secara membabi buta. Dan inilah yang dilakukan oleh Ibnu Haitham.
Dia tidak terindimidasi oleh nama-nama besar ilmuwan Yunani seperti Ptolemeus, Euclid, dan lain-lain. Tanpa takut dia menguji semua “dogma ilmiah” yang dibuat para ilmuwan tersebut, melalui serangkaian eksperimen ilmiah hingga terbukti meyakinkan. Bila tidak terbukti, dia akan mengoreksinya dan memperbaikinya secara meyakinkan dan objektif. Hal inilah yang dilakukannnya terhadap teori pengelihatan dan cahaya.[2]
Dari eksperimen yang dilakukannya selama dikurung dalam ruangan gelap, dia berhasil memperbaiki pendapat para ilmuwan terdahulu. Ibnu Haitham sendiri menyebut “ruangan gelap” tersebut dengan istilah Albait Almuzlim. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai Camera Obscura, yang berarti “kamar gelap”. Inilah perangkat awal yang membentuk dasar ilmu fotografi.[3]
Dalam percobaan yang dilakukannya, Ibnu Haitham menggunakan alat khusus seperti lensa dan cermin yang dia buat sesuai keinginannya. Dia juga menggabungkan eksperimen dan penalaran matematis untuk memvalidasi asumsinya.[4] Cara kerjanya, kamar gelap atau Camera Obscura tersebut diberikan sedikit celah di satu sisinya. Nantinya, ketika cahaya melewati celah tersebut ia akan memproyeksikan gambar terbalik dari apa yang ada di luar dinding yang berlawanan. Dalam hal ini cermin digunakan untuk memproyeksikan gambar dalam bentuk yang benar. Sedangkan lensa digunakan untuk membuat gambar yang ditampilkan menjadi lebih tajam.[5]
Dari penemuan teori penting ini, Ibnu Haitham terus mengembangkan penelitiannya ke berbagai aspek lainnya. Mulai dari sifat cahaya, prilaku cahaya, serta interaksi cahaya dengan berbagai jenis materi dan dampaknya pada pengelihatan manusia.
Dari serangkaian eksperimen ini, lahirlah mahakarya yang terdiri dari tujuh volume kitab yang diberi judul Kitab al Manasir, atau sekarang dikenal sebagai Book of Optics. Karya ini diselesaikannya pada sekitar tahun 1027, atau sekitar 5 tahun setelah dia dibebaskan dari kamar gelapnya.[6]
Pada sekitar awal abad ke-12, gairah keilmuwan mulai merambati benua Eropa. Di satu daerah yang bernama Toledo di Spanyol, terjadi sebuah upaya besar-besaran untuk menerjemahkan buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin. Seperti dulu terjadi di Baitul Hikmah pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah, semua sarjana mulai dari Kristen, Yahudi dan Muslim berbondong-bondong ke kota itu. Mereka bekerjasama menerjemahkan karya-karya dari dunia Islam ke dalam bahasa Latin dan kemudian ke bahasa Eropa lainnya. Di sinilah Kitab al Manasir ditemukan oleh sejarah.[7]
Kitab al Manasir diterjemahkan dalam Bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona, kemudian diberi judul “Optica Thesaurus”. Kitab tersebut baru diterbitkan pada tahun 1572 M. Kitab al Manasir kemudian dipelajari dan menjadi acuan banyak ilmuwan Eropa di akhir abad pertengahan. Menurut Philip K. Hitti, sosok-sosok seperti Roger Bacon, Leonardo Da Vinci dan Johann Kepler adalah beberapa ilmuwan terkemuka yang sangat terpengaruh oleh karya tersebut.[8]
Selain Kitab al Manasir, karya optik lain yang dihasilkan oleh Ibnu Haitham adalah Ḍaw al-qamar (“Cahaya Bulan”), al-Hala wa-qaw quzaḥ (“Halo dan Pelangi”), raturat al-kusuf (“Bentuk Gerhana”), dan al-Ḍawʾ (“dikursus cahaya”);[9] termasuk juga sejumlah kitab lain yang membahas mengenai cermin, refleksi cahaya, dan formasi bayangan. Semua karya-karyanya ini menjadi dasar teoritis bagi para ilmuwan di era selanjutnya untuk menyingkap misteri alam semesta. [10]
Selain di bidang optik, karya-karya Ibnu Haitham juga sangat berpengaruh dalam bidang matematika, geometri, astronomi, hingga sastra. Di antara buku hasil karyanya: Al’Jami’ fi Usul al’Hisab tentang teori-teori ilmu metametika dan penganalisaannya; Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib tentang ilmu geometri; Kitab Tahlil ai’masa’il al ‘Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syar’i dan Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi.[11]
Salah satu catatan sejarah paling awal tentang Ibnu Haitham ditulis oleh Ibn Abi Uṣaybi’ah dalam karyanya berjudul Uyun al-Anba’ Fi Tabaqat al-Atibba’ yang dibuat tahun 1250 M. Buku ini memuat tentang karya-karya Ibnu Haitham dan catatan pendek tentang biografinya. Dalam karya tersebut, Ibn Abi Usaybi’ah mencatat setidaknya 182 karya Ibnu Haitham. Sekitar 41% dari karya tersebut memuat topik tentang ilmu matematika dan aplikasinya; 21% tentang metafisika, 18% tentang Kalam, dan tentang logika, ilmu alam, akuntansi, ilmu pengobatan (medical sciences), ilmu politik, sekitar 16%. Akan tetapi, hanya sekitar 61 saja di antara karya-karya tersebut yang berhasil selamat. Dimana hampir semuanya mengenai ilmu alam dan ilmu matermatika.[12]
Belakangan, ditemukan juga sebuah naskah filsafat yang diyakini oleh para kurator sebagai hasil karya dari Ibnu Haitham. Kitab ini berjudul Kitab Thamarah al-Hikmah, yang ditemukan pertama kali dalam perpustakaan Koprulu, Turki.[13]
Dalam kitab tersebut, Ibnu Haitham mendiskusikan banyak topik filsafat yang bisa diklasifikasinya sebagai berikut: definisi hikmah, filsafat Islam atau konsep pengetahuan secara umum, klasifikasi pengetahuan, psikologi jiwa manusia, konsep kebahagiaan, konsep tentang “manusia sempurna” (al-insan al-tamm), sebuah pengantar untuk geometri, metode pembuktian dalam matematika, dan tujuan mempelajari filsafat alam secara umum.[14]
Menariknya, meskipun topik yang dibahas dalam karya-karya Ibnu Haitham mencakup banyak bidang studi, tapi hampir semua pemaparannya berangkat dari kerangka filosofis yang utuh. Dimana ini sebenarnya sebuah metode yang khas digunakan oleh filosof Muslim zaman itu.
Umumnya para ilmuwan Muslim abad pertengahan memilih memadukan metode rasional-empiris untuk membuktikan sebuah kebenaran. Bukan dengan dengan cara merakit teks-teks agama sebagaimana banyak digunakan oleh para filosof yang datang di kemudian hari. Bukan juga seperti umumnya para ilmuwan modern yang langsung melompat menggunakan metode empiris tanpa pijaran filosofis yang kokoh. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abi Usaybi’ah, bahwa di dalam karya-karya Ibnu Haitham yang paling empiris sekalipun – seperti matematika dan fisika – selalu terkandung nuansa filosofis rasional yang utuh.[15]
Mungkin inilah yang menjelaskan mengapa ilmuwan Islam abad pertangahan umumnya adalah seorang polymath, atau orang-orang yang mampu menguasai multiplikasi disiplin ilmu dalam waktu bersamaan. Karena pamahaman mereka berangkat dari landasan filosofis yang kokoh, menjulang hingga pada pembuktikan empiris yang meyakinkan.[16] Sangat mungkin, inilah salah satu traidisi intelektual Islam yang hilang saat ini.
Ibn al-Haytham wafat pada 1040 M diusia 74 tahun. Saat ini, masyarakat barat mengenal Ibnu Haitham dengan nama Alhazen. Untuk menghormatinya para ilmuwan menamai salah satu kawah dibulan dengan namanya, seperti juga asteroid 59239 yang diberi nama Alhazen.[17] (AL)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] “If learning the truth is the scientist’s goal… then he must make himself the enemy of all that he reads.” Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, http://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/, diakses 7 April 2019
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Lihat, Ibn al-Haytham, https://www.britannica.com/biography/Ibn-al-Haytham, diakses 7 April 2019
[5] Lihat, Analogue Photography: Point, Shoot, Develop – A Brief History, https://www.fredaldous.co.uk/blogs/news/analogue-photography-point-shoot-develop, Diakses 15 April 2019
[6] Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, http://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/, Op Cit
[7] Ibid
[8] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, (London, Macmillan, 1970), Hal. 629
[9] Lihat, Ibn al-Haytham, https://www.britannica.com/biography/Ibn-al-Haytham, Op Cit
[10] Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, http://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/, Op Cit
[11] Lihat, Ibnu Haitham: Ilmuwan Muslim Berpengaruh di Dunia, https://islamindonesia.id/siapa-dia/ibnu-haitham-ilmuwan-muslim-berpengaruh-di-dunia.htm, diakses 9 April 2019
[12] Usep Mohamad Ishaq, Ibn Al-Haytham’s Classification of Knowledge, Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies – Vol. 55, no. 1 (2017), hal. 191
[13] Ibid
[14] Ibid, hal. 193-194
[15] Lihat, Ibn Al-Haytham, Abū, https://www.encyclopedia.com/science/dictionaries-thesauruses-pictures-and-press-releases/ibn-al-haytham-abu, diakses 9 April 2019
[16] Lihat, Amira K. Bennison, The Great Caliphs: The Golden Age of The Abbasid Empire, (Yale University Press New Haven & London, 2009), hal. 159
[17] Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, http://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/, Op Cit