Dalam Alquran, semua kata a’rab digunakan dalam bentuk jamak (plural). Ini menimbulkan kesan bahwa mereka memiliki keburukan komunal, bukan hanya keburukan individual.
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Marilah kita sekarang membuka Alquran dan bertanya tentang a’rab. Hal yang segera kita temukan bahwa ada 6 ayat yang berbicara tentang a’rab ini dalam surah Taubah. Surah Taubah sendiri isinya banyak menyingkap pengkhianatan kaum musyrik, kelicikan kaum munafik, dan hal-hal sensitif lainnya.
Nama lain surah ini adalah al-baraah (berlepas tangan) dan al-fadhihah (penyingkap keburukan). Berbeda dengan yang lainnya, inilah satu-satunya surah yang tidak dibuka dengan Bismillah.
Allah berfirman dalam surah Taubah ayat 90: “Dan di antara orang-orang a’rab datang (kepada Nabi) mengemukakan alasan agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.”
Jika pada ayat sebelumnya Alquran menggunakan di antara, maka dalam ayat 97 surah yang sama Allah berfirman: “A’rab itu lebih kuat (paling keras) kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Karena sifat-sifat sangat buruk itu, maka para mufasir membatasi makna a’rab ini dengan orang-orang badui yang umumnya kasar, keras, jauh dari peradaban, dan sebagainya. Menariknya, dalam Alquran, semua a’rab digunakan dalam bentuk jamak (plural), bukan dalam bentuk tunggal a’raby. Dan ini menimbulkan kesan bahwa mereka memiliki keburukan komunal, bukan hanya keburukan individual.
Sebagaimana kita sebutkan sebelumnya, kata a’rab sebagian besarnya memang digunakan untuk konotasi buruk. Dan dalam ayat di atas, keburukan watak dan sifat mereka dijelaskan dengan ungkapan kekafiran dan kemunafikan yang paling keras. Bayangkan, jika kekafiran dan kemunafikan ini saja sudah sangat buruk, apalagi jika ditambah kata paling keras. Jadi ini vonis yang luar biasa berat.
Dalam ayat 98, Allah berfirman: “Dan di antara orang-orang Arab Badui (a’rab) itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian; dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Ayat ini mengkonfirmasi sifat kemunafikan dan kekafiran mereka. Kepicikan dan pengingkaran inilah salah satu ciri Jahiliyah, bukan sekadar kebodohan yang polos dan lugu.
Lalu dalam ayat setelahnya, Allah memuji sebagian mereka: “Dan di antara orang-orang Arab Badui (a’rab) itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan kepada Allah dan sebagai jalan untuk (memperoleh) doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat di atas mengajarkan kepada kita salah satu prinsip yang dijunjung Alquran, yakni prinsip keadilan. Alquran mengajarkan untuk tidak bersikap pukul rata atau gebyah uyah. Bersikap adil dengan melihat sesuatu apa adanya, termasuk memberi pengecualian dalam menilai suatu kaum. Bahkan bila kaum itu adalah golongan musuh. Dalam surah Al-Maidah ayat 8, Allah berfirman: “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Sekali lagi di ayat 101 surah Taubah, Allah mencela sebagian a’rab dengan berfirman: “Dan di antara orang-orang A’rab di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.”
Dalam ayat 120 surah yang sama, Allah berfirman: “Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang A’rab yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
Dalam ayat 20 surah al-Ahzab, Allah mempertautkan kata a’rab ini dengan aktivitas menetap di gurun. Allah berfirman: “Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan (yang bersekutu) itu belum pergi, dan jika golongan-golongan (yang bersekutu) itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang A’rab, sambil menanyakan berita tentang kamu. Dan sekiranya mereka berada bersamamu, mereka tidak akan berperang, melainkan sebentar saja.”
Jadi orang a’rab ini punya kebiasaan tinggal di gurun, tidak peduli dengan apa yang di sekitarnya. Mereka enggan membantu, menolong, dan sebagainya kecuali jika ada pamrih tertentu yang menguntungkan mereka.
Dalam ayat 11 surah al-Fath Allah berfirman: “A’rab yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan berkata kepadamu, ‘Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, ‘Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki bencana terhadap kamu atau jika Dia menghendaki keuntungan bagimu? Sungguh, Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan.’.”
Mari kita perhatikan potongan ayat ini “…Mereka mengucapkan sesuatu dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya…”. Jika kita kontraskan ini dengan begitu banyak sifat ‘araby sebagai bahasa yang jelas, lugas, dan terang, maka kita menemukan bahwa a’rab yang penuh kemunafikan dan kepicikan ini malah berbahasa yang tersembunyi.
Mereka mencari-cari ungkapan yang menyembunyikan maksud hati mereka yang sebenarnya, sehingga mereka cenderung berbahasa yang samar, penuh teka-teki sekaligus sinisisme yang tinggi.
Dalam ayat 16 surah yang sama, Allah berfirman: “Katakanlah kepada a’rab yang tertinggal, ‘Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu harus memerangi mereka kecuali mereka menyerah. Jika kamu patuhi (ajakan itu) Allah akan memberimu pahala yang baik, tetapi jika kamu berpaling seperti yang kamu perbuat sebelumnya, Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” Lagi-lagi di sini Allah menerangkan keadaan a’rab yang suka meninggalkan tugas, bermalas-malasan dan tidak mau menjalankan kewajiban.
Ayat terakhir yang membahasa a’rab terdapat dalam surah al-Hujurat ayat 14. Allah berfirman: “Orang-orang A’rab berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Ayat ini mempertegas watak a’rab yang mudah klaim, bangga dengan sesuatu yang tidak benar-benar mereka hayati.
Dalam hampir semua ayat yang memperlihatkan watak dan sikap a’rab tampak sekali bagaimana kaum ini memiliki sifat munafik, ingkar, dan keras kepala di satu sisi, dan di sisi lain suka mengklaim sesuatu yang tidak dimilikinya, berbangga dengan sesuatu yang belum dipahaminya, dan sebagainya.
Contoh yang paling jelas dari watak itu ditunjukkan pada ayat terakhir yang mengingatkan mereka agar tidak terburu-buru merasa sudah beriman padahal mereka belum beriman. Jangan-jangan klaim-klaim itulah yang menyebabkan mereka suka mengira ‘araby yang merupakan bahasa wahyu adalah bahasa mereka, padahal sama sekali tidak demikian.
Sebagaimana yang akan saya sampaikan di bagian lain tulisan ini, ‘araby barangkali adalah bahasa awal manusia. Siapa saja yang dapat menuturkannya dengan tepat dan sahih layak menyandang ‘araby dan yang tidak lebih layak disebut a’rab. Meski memahami bahasa ‘araby ini, tapi klaim bahwa bahasa ini milik mereka adalah tidak benar.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya: