Imam Malik bin Anas

in Tokoh

Last updated on January 16th, 2019 04:04 am

 

Dia bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, atau populer di kalangan umat Islam sebagai Imam Malik. Beliau lahir di Madinah pada 93 H. Latar belakang keluarganya sangat terhormat dan memiliki status sosial tinggi, baik pada masa Islam maupun sebelumnya. Keluarga Imam Malik berasal dari Yaman. Tapi pada saat anggota keluarganya masuk Islam, mereka memutuskan untuk pindah ke Madinah, mendekati sumber ilmu agama pada masa itu.

Kakek beliau yang juga bernama Malik adalah salah satu tabi’in besar dan seorang fuqaha kenamaan pada masanya, yang bergelar Imam Darul Hijrah.[1] Tidak berbeda dari Kakeknya, Ayah beliaupun, yaitu Anas bin Malik adalah seorang Fuqaha yang dihormati. Dari Kakek dan ayahnya Imam Malik mendapat pondasi pengetahuan yang kuat untuk mengusai bidang ilmu hadist di kemudian hari.

Setelah belajar di dalam keluarga, ibunya mengirim beliau untuk belajar pada ulama lainnya. Beberapa di antaranya, beliau belajar kepada Rabi’ah ar-Ra’yi, seorang fuqaha dan ahli hadist. Kemudian untuk memperdalam ilmunya, beliau juga berguru pada Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq yang diakui luas kedalaman ilmunya pada masa itu.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Dalam mencari ilmu, Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Kegigihannya dalam menuntut ilmu menjadikannya berpengatahuan luas dan mendalam tentang berbagai bidang dalam ilmu agama, serta menjadi rujukan banyak para pecinta ilmu lainnya. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi, Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan dia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”

Dalam keahlian ilmu hadist, beliau terkenal sangat ketat dalam menyeleksi sebuah riwayat dan sangat teliti dalam memutuskan suatu perkara hukum. Terkait hal ini, Ad-Dahlami berkata “ Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadist di Madinah, yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan Umar Bin Khattab ra, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin Umar ra, Aisyah ra, dan sahabat-sahabat lainnya. Atas dasar itulah Malik memberi Fatwa. Apabila diajukan satu masalah padanya, dia menjelaskan dan memberi fatwa”.[2]

Sebagai sosok yang begitu teliti dalam mengambil keputusan, beliau memiliki ketegasan sikap atas apa yang sudah diputuskannya. Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, bahkan manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far bin Sulaiman, gubernur Madinah.

Suatu ketika, gubernur yang juga masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai. Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Dia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Al Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, dia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Dalam perjalanan hidupnya, Imam Malik memiliki cukup banyak karya. Magnum opus-nya yang terkenal adalah Al Muwatta’. Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Al Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Hampir setiap pelajar dan ulama di dunia Islam mengenal kitab ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimwaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.

Hingga hari ini, dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik wafat pada sekitar usia 85 atau di tahun 179 H. Beliau tidak hanya meninggalkan warisan buku. Dia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hambali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Maroko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

 

Sumber Rujukan :

[1] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik : Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Pengusung Kebebasan Berpikir, Jakarta, Zaman, 2012, Hal. 36

[2] Yanuar Arifin. SPd, Hikmah, Karomah & Spiritual Tokoh-Tokoh Sufi Dunia, Yogyakarta, Araska, 2016, 71

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*