Islam dan Anasir-Anasir Sosialisme (1)

in Studi Islam

Dalam faham sosialisme ada tiga anasir, yaitu: kemerdekaan (Vrijheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Ketiga anasir ini banyak dimasukkan di dalam aturan Islam dan di dalam persatuan hidup bersama yang telah dijadikan oleh Nabi yang suci, Muhammad Saw.

 

Kemerdekaan

Tiap-tiap orang Islam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga, melainkan diwajibkan takut kepada Allah saja. La haula wala kuwata illa billah (tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). Iyaka na’budu wa iyaka nasta’in (Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan).

Beberapa orang Arab, yang tidak biasa tinggal dalam rumah yang tetap, belum pernah melihat rumah batu, dengan pakaiannya yang buruk mereka dikirimkan untuk menghadap raja-raja Persia dan Roma yang berkuasa, meskipun raja-raja ini menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya, orang-orang Arab tadi tidak menundukkan badannya dan kelihatan takut sedikitpun di muka raja-raja tadi. Sesungguhnya di dunia ini tidak ada sesuatu yang menakutkan mereka. Mereka merasa tidak bertanggungjawab kepada apapun juga, melainkan kepada Allah yang Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Tinggi. Mereka itu merdeka seperti udara dan merasakan seluas-luasnya kemerdekaan yang orang dapat memikirkannya. Al-Quran menyatakan:

“Kemurahan, yang Tuhan akan mengaruniakan sebanyak-banyaknya kepada manusia, tiadalah dapat ditegahkan oleh siapapun juga, barang apa yang Tuhan memperteguhkan, tiadalah dapat dikaruniakan kepada manusia kalau tidak dengan perantaraan Tuhan, dan Dialah yang kuasa dan berpengetahuan”

 

Persamaan

Tentang persamaan, kaum Muslimin pada zaman dulu bukan saja semua menganggap diri mereka sama, tetapi mereka menganggap semua merupakan satu kesatuan. Di antara orang-orang Muslimin tidak ada satu perbedaan apa pun macamnya. Dalam pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab yang memungkinkan dapat menimbulkan perbedaan kelas.

Gibbon, seorang pengarang berkebangsaan Inggris (meninggal pada tahun 1974) pernah berkata:

“Tetapi berjuta orang Afrika dan Asia yang sama berganti agama (memeluk agama Islam) dan sama menguatkan tali-ikatannya orang-orang Arab yang percaya (beragama Islam), mereka telah menyatakan kepercayaannya kepada satu Allah dan kepada utusan Allah, itulah niscaya dari sebab tertarik oleh barang yang indah, tetapi tidak disebabkan oleh paksaan. Dengan lantaran mengulangi ucapan satu kalimah dan kehilangan sepotong daging, maka orang hamba-rakyat atau budak belian, orang hukuman atau penjahat, dalam sejekap mata berdirilah menjadi sahabat yang merdeka dan bersamaan derajatnya sama orang Islam yang memperoleh kemenangan itu. Tiap-tiap kejahatan diperbaikinya, tiap-tiap perjanjian yang mengikat dipecahkan, sumpah tidak berkawin dihapuskan oleh pelajaran yang sesuai dengan alam, kekuatan-kekuatan batin yang tidur di dalam gedung terungku menjadi bangkit karena mendengar dompetnya terompetnya orang-orang Arab dan di dalam mengumpulkan dunia menjadi satu, tiap-tiap anggotanya jadi satu pergaulan hidup bersama yang baru itu naiklah sampai kepada muka yang dijadikan oleh alam menurut dia punya kekuatan dan keberanian. (tidak dirintangi oleh aturan-aturan yang memperdayakan bangsa, kelas, atau warna kulit, seperti yang lumrahnya ada di dalam pergaulan hidup bersama yang bersifat kapitalistik)”.

Persamaan yang adil itu telah menyebabkan segenap umat Islam menjadi satu badan, satu nyawa. Cita-cita persamaan yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. adalah seperti berikut:

“segala orang Islam adalah sebagai satu orang. Apabila seseorang merasa sakit di kepalanya, seluruh badannya merasa sakit juga, dan kalau matanya sakit, segenap badannya merasa sakit juga.”

“segala orang Islam adalah sebagai satu bina-bina, beberapa bagian menguatkan bagian yang lain-lainnya, dengan laku yang demikian itu juga yang satu menguatkan yang lainnya”.

Orang Islam tidak memperkenankan orang-orang yang bukan Islam membuat perbedaan antara orang dengan orang. Apalagi mereka menerima utusannya raja Kristen, dan ketika utusan itu menurut adat kebiasaannya sendiri berjongkok di muka para pemimpin kaum Muslimin, maka para pemimpin ini tidak memperbolehkan utusan tadi berjongkok, sebab mereka itu sama-sama makhluk Tuhan. (SI)

Bersambung….

Sumber:

HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Sega Arsy, Bandung, 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*