Islam dan Arsitektur (1)

in Studi Islam

 

 

Oleh: Khairul Imam

 

Arsitektur adalah kristalisasi dari pandangan hidup. Ia adalah hasil-olah akumulasi pengalaman, permenungan, imajinasi, serta pembacaan atas literasi maupun oralitas, yang kemudian tertuang dalam setiap detail tata ruang, sudut, garis, lengkung, ornamen, dan pewarnaannya. Sehingga menghasilkan karya inovatif yang mengandung nuansa estetis yang bernilai tinggi.”

—Ο—

 

Setelah mangkatnya Rasulullah saw., Islam mengalami persebaran yang semakin pesat. Di motori oleh keempat khalifah yang dikenal sebagai khulafaur Rasyidun, Islam mulai diterima di Semenanjung Arab, mulai dari Samudera Hindia yang membentang ke sebelah selatan, yang meliputi Laut Tengah dan Laut Merah di sebelah barat. Dari sebelah timur menjangkau Teluk Persia, Tigris, dan Eufrat, termasuk Irak dan Syiria, sampai Hijaz, Yaman, Najd, dan Uman atau Oman. Penyebaran ini sedikit banyak telah mewarnai dan mengalami akulturasi serta transvaluasi nilai-nilai kebudayaan dan tradisi Islam dari berbagai wilayah baru. Salah satu hal yang mungkin jarang menjadi perhatian para sejarawan adalah proses pembauran budaya dan tradisi dalam seni rancang bangun atau arsitektur.

Mendiskusikan kembali arsitektur maka kita akan menemukan suatu pengertian bahwa arsitektur adalah kristalisasi dari pandangan hidup. Ia bukan semata-mata teknik dan estetika bangunan, atau terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok seperti ranah keteknikan, ranah seni, atau ranah sosial. Arsitektur tidak hanya membicarakan sebuah produk, melainkan juga proses. Tidak seperti bidang lain yang lahir dalam realitas sehari-hari, arsitektur merupakan ruang fisik untuk manusia, yang memungkinkan pergerakan manusia dari satu ruang ke ruang lainnya, yang menciptakan tekanan antara ruang dalam bangunan dan ruang luar. Sedangkan bentuk arsitektur merupakan hasil persepsi dan imajinasi manusia. Selain itu, dalam arsitektur hal yang tidak kasat mata menjadi sesuatu yang memberi nafas dan menjiwai karya arsitektur itu sendiri, the fine spirit, yang memberi arti bahwa arsitektur bukanlah sekadar benda statis atau sekumpulan objek fisik yang kelak akan lapuk.[1]

Karena itulah, seni arsitektur menjadi fondasi sekaligus yang memungkasi sebuah bangunan. Karya seni rancang bangun menempatkan ikon sebagai penanda dalam setiap perjalanan kebudayaan setempat. Sehingga masing-masing kawasan memiliki simbolisasi-simbolisasi yang sarat makna dan identik dengan kearifan lokal di mana sebuah karya seni tata ruang itu lahir. Ia bukanlah ruang statis, tidak serta merta lahir dari kekosongan historis, melainkan hasil-olah akumulasi pengalaman, permenungan, imajinasi, serta pembacaan atas literasi maupun oralitas, yang kemudian tertuang dalam setiap detail tata ruang, sudut, garis, lengkung, ornamen, dan pewarnaannya. Sehingga menghasilkan karya inovatif yang mengandung nuansa estetis yang bernilai tinggi.

Ungkapan di atas mengingatkan kita pada pertanyaan skeptis Grabar berkaitan dengan arsitektur islami, sebagaimana dikutip oleh Oliver Leaman, “Apakah ada sesuatu pada bentuk monumen-monumen ini—dibedakan dengan penggunaannya—yang membuat monumen ini islami?”. Grabar lalu melanjutkan dengan menyebut dua pendekatan. Pendekatan pertama, ia menyebutnya sebagai simbolik; asumsinya adalah bahwa terdapat ciri-ciri yang dapat dilihat secara visual, apa pun asal usulnya, yang memiliki atau telah memiliki asosiasi budaya yang langsung di terima. Pendekatan kedua adalah ikonografi, yang berarti bahwa dalam bentuk-bentuk tertentu arsitektur Islam menunjukkan atau menggambarkan konsep atau gagasan seorang muslim.[2]

Menanggapi pertanyaan di atas, Leaman menegaskan bahwa eksistensi suatu tatanan makna dalam evolusi arsitektur Islam, yang tidak melekat baik pada bentuk maupun fungsinya, juga tidak pada kosa kata yang digunakan untuk bentuk atau fungsinya, tetapi lebih pada hubungan antara ketiga hal tersebut.[3] Dalam arti, terdapat hubungan yang harus hadir antara arsitektur Islami dan makna spesifik yang ditarik dari bentuknya. Simbol-simbol yang tak terpisahkan dalam tata ruang dan artistik, dari bentuk bangunan luar (eksterior) maupun keindahan estetis bagian dalam (interior) menyimpan ragam makna yang tersembunyi. Ibarat sisi lahir dan batin. Keduannya merupakan dua hal yang saling menyempurnakan. Bahwa makna ekstrinsik merupakan cerminan dari kedalaman makna intrinsik. Meskipun dalam beberapa diskusi tentang tata ruang Islami tidak selalu identik bahwa keindahan dan kemewahan estetis interior tercermin pada sisi eksterior sebuah bangunan.

Muqarna atau kombinasi bentuk-bentuk tiga dimensi atau bentuk-bentuk melengkung yang dapat digunakan pada dinding rata yang membentuk sebuah bingkai atau bahkan dalam sebuah kubah, terkadang disebut sebagai sebuah metafora visual bagi pandangan seorang muslim terhadap realitas, yang menganggap ciptaan manusia sebagai tidak nyata, dan yang nyata hanyalah tindakan Tuhan semata. Hal ini dikarenakan muqarna menghasilkan ilusi, dengan menciptakan ilusi bahwa bentuk arsitektur tersebut terdiri dari ukuran yang berbeda-beda, biasanya lebih besar daripada yang seharusnya.[4] Hal ini menyadarkan kita untuk senantiasa melihat pada realitas arsitektur Dunia Islam, di mana tidak semua yang sisi eksternal itu berbanding sejajar dengan sisi internal.

Maka dari itu, tak mengherankan banyak kita temukan, misalnya, masjid-masjid yang dari luar tampak sederhana tanpa kedetailan ornamen dan seni dekoratif yang rumit, tetapi sisi dalamnya memperlihatkan kemewahan yang tak terkira, atau sebaliknya. Hal ini juga tampak pada rumah-rumah dan masjid-masjid di sebuah kawasan dengan muslim sebagai minoritas. Bangunan-bangunan itu bahkan tidak tampak sebagai sesuatu yang menarik, namun mengandalkan sisi interior yang indah. Seperti di negara-negara Eropa, alih fungsi sebuah bangunan merupakan hal yang biasa terjadi. Bangunan gereja, kuil, disulap menjadi masjid. Dan keindahan interior dengan mengabaikan aspek eksterior yang paling dekat adalah seperti bangunan Ka’bah. Merujuk pada terminologi batiniah dan lahiriah dalam perspektif sufi, bahwa sisi lahiriah tidak terlalu penting, namun yang terpenting adalah sisi batiniah.

Bersambung…

 

Catatan kaki:

[1] Joyce Marcella Laurens, Arsitektur dan Perilaku Manusia (Jakarta: Grasindo, 2005), Hlm. 26.

[2] Lihat Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abu Bakar (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 205-206

[3] Ibid

[4] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*