Istilah-Istilah ‘Irfan (1)

in Studi Islam

Last updated on October 20th, 2017 03:59 pm

Tasawuf, atau Irfan (Gnostisisme) adalah pengungkapan pengalaman-pengalaman mistik (sufistik) ke dalam bahasa, yang antara lain dicirikan dengan penggunaan bahasa-bahasa analogis dan simbolik. Kadang ‘irfan disebut juga tasawuf teoritis. Mistisisme itu sendiri dipahami sebagai kepercayaan sampai batas tertentu bersifat “tersembunyi” (dari persepsi umum), hanya dapat diperoleh melalui pengalaman intuitif suprarasional, bahkan spiritual, dan bukan melalui nalar (rasio atau reason) logis belaka.

Intuisi adalah daya (kemampuan) untuk mencapai pengetahuan secara segera dan langsung tentang sesuatu, atau (meraih silogisme) tanpa melewati prosedur logis biasa (yakni, tanpa harus menyusun premis-premis). Kadang dikaitkan juga dengan daya mengungkapkan pengetahuan secara khayal (imajinal) atau dzauqi (eksperensial). Seorang tokoh Iluminasi, Suhrawardi menyatakan : “saya tidak, pada awalnya, mendapatkan (gagasan-gagasan) lewat proses berpikir (kognisi), melainkan lewat sesuatu yang lain. Hanya setelah itu, saya mencari bukti-bukti tentangnya”.

Petualangan atau perjalanan ruhani memang sesuatu yang asing bagi kebanyakan orang. Bahkan tak jarang bagi sebagian fuqaha para pelaku perjalanan ruhani ini dianggap menyimpang dari agama. Tapi itu lebih disebabkan oleh kesalahpahaman teknis keduanya. Pengalaman ruhani, sebagaimana iman, memang bersifat subjektif. Gagasan-gagasan mereka akan terlihat paradox pada saat masuk ke wilayah bahasa dan pengetahuan objektif. tapi siapa yang bisa menyangkal alam ruhani? setiap orang pasti memiliki dan pernah bersentuhan dengan alam ruhani, baik disadari atau tidak, disukai atau tidak. Sehingga pada titik tertentu, terdapat keumuman-keumuman yang bisa disimpulkan dari pengalaman ruhani tersebut. Sehingga bagi sebagian orang yang mendengar atau membacanya, bisa memahami atau setidaknya mengindentifikasi maksud dari para pejalan ruhani tersebut.

Untuk mereduksi kesalahpahaman tersebut di atas, berikut ini akan disampaikan beberapa istilah tematis yang mungkin bisa menjadi jembatan kecil untuk memahami istilah-istilah tasawuf tersebut.

Kosmologi; adalah ilmu tentang asal muasal dan struktur keteraturan alam semesta (kosmos). Menurut filsafat Islam Neoplatonik, yang juga diadopsi oleh mistisisme Islam dengan atau tanpa modifikasi, alam semesta tercipta lewat suatu proses yang disebut emanasi.

Neo-platonik; merupakan suatu aliran filsafat yang bertolak dari gagasan Plato, dan kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokohnya, terutama Plotinus, mengaitkan segala sesuatu dengan suatu Zat Transenden semacam Tuhan (Yang Satu atau The One) – disebut Nous – sebagai prinsip kesatuan melalui deretan perantara-perantara yang turun daru Yang Satu itu lewat Emanasi.

Emanasi; (dalam filsafat Islam disebut al-faidh al-ilahi, peluberan Ilahi) adalah suatu doktrin penciptaan menurut kaum filosof Neo-platonis, yang di dalamnya Dzat Tuhan memancar secara niscaya dan begitu saja, melahirkan terwujud ciptaan-ciptaannya secara bertingkat-tingkat, bermula dari Akal Pertama hingga Akal Kesepuluh, yang bersifat ruhani yang, pada gilirannya, melahirkan langit-langit dan planet-planet bumi, berjumlah sepuluh (sesuai astronomi Ptolomeus, yang diyakini pada saat paham ini dikembangkan), yang bersifat sepenuhnya material.

Nous: dalam filsafat Neo-platonisme adalah suatu akal (intelek) kosmik, sebagai prinsip mengatur alam semesta. Terkadang Nous dalam makna ini diidentikkan dengan Tuhan. Nous juga dimaknai sebagai tingkat tertinggi akal manusia. Dalam Irfan, sifat emanasi ini didasarkan pada paham wahda al-wujud.  Yakni bahwa wujud di alam bersifat tunggal, tidak terbagi (basith, simple). Wujud tak terbagi ini, sebagai suatu ketunggalan identik dengan Tuhan. Tuhan memiliki bebagai martabat, dan yang tertinggi adalah Dzat-Nya (yang sepenuhnya adalah Misteri, disebut juga Ghaib al-Ghuyub). Dari Dzat ini, sejalan dengan prinsip emanasi Neo-Platonistik, memancarlah martabat-martabat yang lebih rendah, dari mulai yang bersifat ruh murni hingga kea lam empiris yang sepenuhnya material. Pancaran ketuhanan ini, dalam Irafan disebut dengan tajalliy (theophany). Tuhan dalam Dzat-Nya bersifat transenden (munazzah), namun dalam tajjaliy-Nya bersifat imanen (musyabbah). Dengan kata lain, alam semesta adalah pancaran, manifestasi, atau pengejawantahan Ketuhanan dan sepenuhnya mengambil bagian dalam Wujud Tuhan Yang (pada puncaknya) bersifat Tunggal itu. maka, Tuhan bisa disebut sebagai bersifat transendnen, (terpisah dan berbeda total dari mahluk-Nya), namun sekaligus juga bisa ditunjuk sebagai bersifat imanen, yakni berada atau terdapat di dalam/bersama segala sesuatu, yakni ciptaan/pancaran-Nya.

Ontologi; adalah ilmu (logos) tentang hakikat ada (ontos, wujud dan maujud). Selanjutnya, segala sesuatu yang ada di alam ini disebut sebagai maujud. Maujud tersusun oleh wujud dan mahiyah.

Wujud (being) atau eksistensi; menunjukkan apda ada-nya sesuatu, sebagai jawaban terhadap pertanyaan “adakah (sesuatu) itu?; berlawanan dengan esensi (dalam makna kuiditas), yang menekankan apa-nya sesuatu itu (apakah sejatinya), sebagai jawaban atas pertanyaan “apakah itu?”. menurut penganut prinsipialitas eksistensi (ashalah al-wujud, eksistensialisme), yang sesungguhnya ada secara real (hakiki) hanyalah eksistensi. Esensi, dalam makna kuiditas, hanya bersifat artifisial, semu/tidak real (I’tibari). Dengan kata lain, tidak seperti eksistensi, esensi tak memiliki realitas atau tak real. Maka, yang eksistensial adalah yang berhubungan dengan hakikat ada (real), dan bukan sekedar dengan atribut-atribut (esensi, dalam makna kuiditas), yang sesungguhnya “hanya merupakan bayangan (tidak real)”ada itu.

Secara lebih terperinci, maujud atau eksisten bermakna segala sesuatu yang mengada di alam, yang merupakan gabungan antara eksistensi (wujud) dan kuiditas, eksisten = wujud +kuiditas.

Kuiditas (mahiyah), yang secara tak tepat kadang disebut esensi, adalah apa yang menjadikan sesuatu menjadi sesuautu itu dengan sifat-sifat yang khas, baik terkait substansi maupun aksiden sesuatu itu. Dibedakan dari aksiden, esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu, yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal. Kuiditas (mahiyah) berasal dari bahasa Latin quid est (atau bahasa Arab, ma huwa, yang berarti “apa itu”), adalah batas-batas yang diterapkan atas eksistensi oleh keterbatasan persepsi manusia dan, karena itu, tidak real. Kadang-kadang kuiditas disebut sebagai ke-”apa”-an (whatish).

Bersambung ke:

Istilah-istilah ‘Irfan (2)

Sumber Rujukan :

Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf; Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2017

Murthadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan; Meniti Maqam-Maqam Kearifan, Jakarta, IIman, 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*