Istilah-istilah ‘Irfan (3)

in Studi Islam

Last updated on October 20th, 2017 04:03 pm

Selanjutnya, dalam wacana ‘Irfan, kerap kita mendengar satu fase atau tahap krusial dan penting dalam memulai sebuah perjalanan ruhani, tahap itu adalah Iradah dan riyadhah.

Riyadhah atau olah ruhani; merupakan tahap selanjutnya yang akan ditempuh oleh pelancong ruhani, setelah sebelumnya mampu membangkitkan iradah-nya. Menurut Abd Al Razzaq Kasyani, “Iradah ialah gejolak api cinta yang jatuh ke dalam hati yang menyebabkannya bangkit untuk menjawab suara-suara Ilahi”. Adapun riyadhah ditujukan untuk mencapai tiga sasaran; pertama, membersihkan jalan dari segala sesuatu selain Allah; kedua, menundukkan nafs ammarah (jiwa yang memerintahkan kejahatan) kepada nafs muthma’innah (jiwa yang menentramkan); dan ketiga, melembutkan relung terdalam hati (sirr) untuk kesadaran penuh.

Masih terkait dengan riyadhah, Ibn Sina menjelaskan bahwa pelatihan ruhani ini ditujukan untuk tiga tujuan;

Tujuan pertama, berkaitan dengan urusan-urusan eksternal, dimana ini bisa dibantu dengan zuhud dalam arti sebenarnya, yaitu melenyapkan segala kesibukan dan rintangan yang menyebabkan kelalaian dari jalan ruhani;

Tujuan kedua, berhubungan dengan penyingkapan kekuatan-kekuatan internal serta menghilangkan kekacauan-kekacauan ruh, yang diistilahkan dengan “penundukan nafs ammarah dan nafs muthma’innah. Hal ini bisa dibantu oleh beberapa hal, antara lain pertama, ibadah yang dinafasi tafakur mendalam; kedua, suara-suara merdu yang menyentuh kalbu (seperti bacaan Al-Quran, doa, munajat, syair-syair sufi dan sebagainya); ketiga, nasihat dari orang yang bersih hatinya, yang lidahnya fasih dan lembut menuntut jiwa.

Tujuan ketiga, berkaitan dengan perubahan-perubahan kualitatif di dalam ruh, yang diistilahkan dengan “pelembutan relung terdalam hati”. Hal ini, menurut Ibn Sina, bisa dibantu oleh pemikiran yang mendalam (pemikiran jernih tentang makna-makna batin yang menyebabkan pembersihan ruhani) dan juga oleh cinta suci; yakni cinta spiritual yang sepenuhnya tertuju kepada-Nya, bukan cinta biologis pengumbar nafsu.

Kemudian, menurut Ibn Sina, pada saat iradah dan riyadhah telah mencapai batas-batas tertentu, seorang salik (penempuh jalan ruhani) akan mengalami semacam ekstase. Suatu ekstase dalam bentuk kilatan-kilatan cahaya Allah yang terasa begitu nikmat dan cepat berlalu bagaikan kilat. Keadaan-keadaan seperti ini oleh kaum ‘arif disebut dengan awqat (momen-momen). Kemudian, jika ia terus menerus mendalami riyadhah sedalam-dalamnya, maka ia pun akan lebih sering mengalami ekstase-ekstase seperti ini. kemudian iradah dan riyadhah ini akan sampai pada suatu tingkatan dimana keadaan ekstase yang sebelumnya hanya datang sesekali dan mengacau batin (waqt), secara berangsur-angsur akan berubah menjadi sakinah, yakni ketenangan diri karena lama-kelamaan ia akan terbiasa dengan ektase tersebut. Menurut Ibn Sina, pada fase ini, sambaran kilat akan berubah menjadi pelita terang benderang, dan ia akan merasa tentram. Akan tercapai satu pengenalan sejati (tentang Allah) yang tetap, seakan-akan ia akan terus-menerus menikmati pengenalasan sejati itu. Sehingga jika keadaan ekstase (yang menetramkan) itu menghilang, maka ia pun akan sedih, bingung dan menyesal.

Apa yang diungkap oleh Ibn Sina di atas hanyalah tahap pertama dari empat perjalanan yang dilalui kaum ‘arif. Keempat perjalanan (sayr) tersebut antara lain: 1) perjalanan dari mahluk menuju Allah (min al-khalq ila al-khaliq); 2) perjalanan di dalam Allah bersama Allah (bi al-Haqq fi al-Haqq), yang berarti bahwa dalam tahapan ini sang ‘arif akan mengenal sifat-sifat dan nama-nama Ilahi, dan ia sendiri akan disifati oleh sifat-sifat dan nama-nama itu; 3) perjalanan dari Allah kembali ke mahluk bersama Allah (min al-Haqq ila al-khalq bi al-Haqq), pada fase ini sang ‘arif akan kembali lagi kepada mahluk, tanpa terpisah dari Allah, untuk memberi petunjuk kepada mereka; 4) Ia berada di tengah-tengah mahluk dengan tetap bersama Allah (fi al-Haqq bi al-Haqq). Dalam tahap terakhir ini, sang ‘arif akan berada dan terlibat aktif di tengah-tengah masyarakat untuk membawa mereka ke jalan Allah.

Terakhir, marilah kita simak perkataan manusia yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai “Gerbang ilmu kenabian” (babul ‘ilmi), Ali Bin Abi Thalib. Ini adalah percakapan beliau dengan muridnya Kumayl Ibnu Ziyad tentang Awliya’ Allah, yang selalu ada pada setiap zaman :

“Pengetahuan sejati datang menyerbu para wali Allah dari lubuk hati yang paling dalam (bashira). Mereka telah menyentuh ruh al-yaqin. Segala sesuatu yang sukar bagi mereka yang suka bermewah-mewahan (mutraf), terasa sangat ringan bagi para wali Allah. Apa yang ditakuti oleh para jahil, mereka hadapi dengan mesra. Mereka hidup bersama orang-orang biasa, tapi ruh-ruh mereka berada jauh di tempat tinggi”.

Sampai pada tingkatan ini datang ekstase (yang disertai pengetahuan sejati tentang Allah) itu sesekali saja. Tetapi secara berangsur-angsur ia akan sampai pada suatu tingkatan dimana ia bisa memperoleh ekstase sekehendaknya.

Dari tingkatan ini ia masih akan melangkah lebih jauh lagi pada satu tingkatan dimana ekstase tidak bisa lagi dikendalikan sekehendaknya, setiap kali ia melihat sesuatu, ia pasti melihat Allah di baliknya. Bahkan sekalipun ia tidak melihat sesuatu untuk I’tibbar (menarik pelajaran di balik segala sesuatu), maka hatinya akan tetap saja naik dari alam kepalsuan ini menuju alam Allah. Ia akan terus begitu tanpa diketahui oleh orang-orang sekitarnnya.

Jika riyadhah sudah mencapai tujuannya, maka sang ‘arif akan melihat hatinya seperti cermin yang bersih dan mengkilat dimana Allah dengan jelas dapat terpantul darinya. Ia akan dihujani oleh kelezatan-kelezatan maknawi yang tak terperikan. Dirinya begitu bahagia karena sapaan Allah dan dirinya. (sama halnya dengan orang yang berhadapan dengan cermin, kadang-kadang ia memusatkan perhatiannya pada gambar yang tercermin darinya, dan terkadang memusatkan perhatiannya pada cermin yang memantulkan gambaran dirinya)

Pada tahapan berikutnya, seorang ‘arif akan lupa akan dirinya dan ia hanya melihat Allah. Atau sekalipun ia melihat dirinya, maka ia melihat dirinya semata-mata karena memang dirinya telah menjadi cermin – yang memantulkan – Allah, sama sekali bukan karena merasa dirinya indah (sama halnya dengan seseorang yang melihat bayangannya saja; sekalipun ia melihat cermin, ia akan melihat bayangannya saja; sekalipun ia tidak memperhatikan cerminnya, tapi cermin itu akan kelihatan ketika melihat bayangan dirinya – meski cermin tidak dilihat karena keindahannya). Pada titik inilah ruhnya mencapai kesatuan dengan-Nya (dan dengan demikian sempurnalah perjalannan ruhaninya dari mahluk kepada Allah).  (AL)

Selesai.

Sebelumnya:

Istilah-istilah ‘Irfan (2)

Sumber Rujukan :

Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf; Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2017

Murthadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan; Meniti Maqam-Maqam Kearifan, Jakarta, IIman, 2002

Toshihiko Izutsu, Sufisme; Samudera Ma’rifat Ibn Arabi, Bandung, Mizan, 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*