Jalaluddin Rumi

in Tokoh

Last updated on November 2nd, 2017 01:28 pm

Jalaluddin Rumi, penyair mistik terbesar Persia, dilahirkan tahun 1207 M di Balkh, sebuah kota di Provinsi Khurasan, Persia Utara. Pada saat itu kota ini berkembang dengan baik di bawah kekuasaan Muhammad, Shah terbesar dari dinasti Khawarizmi yang kekuasaannya, sebagaimana digambarkan oleh E. G Bowe “meliputi pegunungan Ural di sebelah Utara sampai ke teluk Persia disebelah selatan, dan dari sungai Indus di sebelah timur sampai ke sungai Efrat di sebelah Barat.” Keluarga darimana penyair kita ini berasal telah menetap di Balkh selama beberapa generasi; keluarga ini sangat terhormat serta, menurut para penulis biografinya, memperlihatkan rangkaian tokoh yang berhasil dalam bidang hukum dan keagamaan. Sepanjang yang dapat diketahui dengan pasti, sejarahnya dimulai dari kakeknya yang terkenal, yang dinyatakan sebagai keturunan dari Arab, dan berakhir pada Abu Bakr, khalifah pertama dalam masyarakat islam, kakeknya adalah Jalaluddin Husain al-Khatib.

Sekalipun biografi Rumi model timur, sebagaimana halnya dengan kehidupan orang suci Persia lainnya, sebagian besar merupakan legenda, sementara karya-karyanya sendiri tidak menyumbangkan apapun berkenaan dengan fakta-fakta historis. Tetapi kita masih beruntung memiliki beberapa sumber informasi yang tua, yang relative dapat dipercaya kebenarannya.

Pada tahun 1219 M, ketika Jalaluddin Rumi berusia 12 tahun, ayahnya, Bahaudin Walad, secara tiba-tiba bersama keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan ke Barat. Alasan yang dinyatakan orang (secara positif tetapi tanpa bukti) mengenai kepindahan ini, sebagai akibat dari inspirasi Ilahi maupun intrik manusiawi, tentu saja fiktif. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Bahaudin, sperti ribuan orang lainnya, melarikan diri sebelum datangnya gerombolan Mongol yang sangat mengerikan, yang tengah membumihanguskan Khurasan dan sudah mendekati kota asalnya. Berita tentang penjarahan ini sampai di tempat-tempat yang asing dalam perjalanan mereka menuju ke Baghdad atau tempat-tempat lain dari Baghdad ke Makkah, saat mereka menuju ke Damaskus dan akhirnya menetap di Rum (Turki).

Rumah mereka yang pertama adalah di Zarandah, kira-kira 40 mil sebelah tenggara Konya, dan disitu Jalaluddin menikah. Pada tahun 1226 M lahirlah anaknya yang tertua, Sultan Walad. Kemudian Bahauddin beserta keluarganya pindah ke Konya, yang merupakan ibu kota kerajaan Bani Saljuk Barat, dan disanalah ia wafat pada tahun 1230 M. Dikisahkan bahwa dia telah menjadi teolog yang terkenal, seorang guru dan khatib besar, yang dimuliakan oleh para muridnya dan sangat dihormati oleh pihak kerajaan, karena bertindak sebagai penuntun spiritualnya. Sekitar waktu inilah Burhanuddin Muhaqqiq at-Tirmizi, seorang petani murid Bahauddin ketika masih tinggal di Balkh, tiba di Konya. Dibawah pengaruhnya, dikatakan bahwa Jalaluddin, yang sekarang berusia 25 tahun, menjadi sangat bergairah kepada disiplin dan ajaran-ajaran para sufi. Selama 10 tahun berikutnya ia mencurahkan diri untuk meniru Pir-nya dan mengalami seluruh maqam kehidupan tasawuf, sehingga karena  Burhanuddin wafat pada tahun 1240, maka ia memangku jabatan Syeikh, sehingga dengan demikian mulailah, sekalipun mungkin tidak direncanakan terlebih dahulu, langkah untuk menciptakan persaudaraaan antar murid. Pribadi Rumi memang sangat menarik, dan jumlah muridnya terus bertambah.

Sisa hidupnya, sebagaimana yang digambarkan oleh anaknya sendiri, terbagi menjadi tiga masa, yang setiap masanya ditandai oleh kintiman mistis untuk mencapai tingkat “manusia sempurna”, yaitu seorang dari orang-orang suci yang mencerminkan sifat-sifat ilahi, sehingga pencinta itu melihat dirinya sendiri dengan cahaya Tuhan, dirinya dengan Kekasihnya bukanlah dua, melainkan Satu. Pengalaman seperti ini terbentang dalam setiap inti Teosofi Rumi, yang sevara langsung maupun tidak langsung mengilhami seluruh puisinya. Dalam syair naratif anaknya, yang adalah juga seorang sufi, hal itu secara hati-hati digunakan untuk mencapai maksud yang luar karena unsur alegori. Sekalipun demikian, serta merta ia akan menolak seluruh sejarah sebagai fiksi orang alim, mengingat bahwa pada saat ia dituis toh ada juga saksi hidup yang dapat mengatakan apakah itu fakta atau bukan, sebagaimana yang telah mereka saksikan sendiri.

Pada tahun 1244 M seorang sufi pengembara, yang diketahui keturunannya dengan nama Syamsudin at-Tabrizi, datang ke Konya. Dalam diri orang asing inilah Jalaluddin menemukan bayangan sempurna dari Kekasih Tuhan yang telah lama dicari-carinya. Rumi membawanya ke rumah, dan untuk satu atau dua tahun lamanya mereka tinggal bersama, tidak dapat dipisahkan, Sultan Walad menyampakan persahabatan suci yang mengasikkan antara ayah dengan “orang sucu tersembunyi” ini dengan perjalanan Nabi Musa yang terkenal dalam persahabatannya dengan Nabi Khidir, orang bijak yang oleh para sufi dipandang sebagai penerang (hierophant) utama dan penunjuk jalan menuju Tuhan. Sementara itu, para murid Maulawi (Gelar untuk para pengikut Rumi) Rumi dihentikan pengajarannya dan distop dialog mereka dengan sang guru. Mereka marah sekali atas kesetiaan sang guru yang terus berlangung hanya kepada Syamsuddin, yang lalu menyerang “pengacau” itu dengan perlakuan kejam dan ancaman yang keras. Akhirnya Syamsuddin pergi ke Damaskus, namun dibawa kembali atas keberhasilan Sultan Walad yang diutus untuk mencarinya oleh Jalaluddin, yang sangat terganggu oleh hilangnya sahabat yang paling akrab. Karena itu para muridnya “menyatakan penyesalan” dan dimaafkan. Tak lama kemudian, bagaimanapun juga, kecemburuan mereka mulai mengusik lagi, yang menyebabkan Syamsuddin mencari perlindungan ke Damaskus untuk kedua kalinya, dan kembali lagi Sultan Walad mengundang untuk memulihkan keadaan. Akhirnya, mungkin pada tahun 1247 M, orang aneh itu menghilang tanpa jejak.

Sultan Walad menggambarkan secara hidup kegairahan dan meluap-luapnya emosi yang membanjiri ayahnya pada saat itu.

“tidak pernah sejenak pun dia berhenti mendengarkan musik (sama’), dan menari; tidak pernah ia melepaskan lelah baik siang maupun malam.

Telah menjadi seorang mufti; dia menjadi penyair;

telah menjadi seorang pertapa; ia menjadi mabuk oleh cinta.

Bukanlah anggur biasa; jiwa yang terang hanya meneguk anggur cahaya”

Disini Sultan Walad menyinggung Diwan-i Syams-I Tabriz (lirik-lirik Syamsuddin at-Tabrizi), kumpulan ode mistik yang digubah oleh Jalaluddin atas nama Syamsuddin dan dipersembahkan untuk mengenang sahabat karibnya yang telah tiada. Baris pertama tidak menegaskan, kecuali mungkin hanya memberikan kesan mengenai ucapan beberapa ahli yang menyatakan bahwa kesedihan atas hilangnya Syamsuddin at-Tabrizi menyebabkan Jalaluddin melembagakan tarian religius Mevlevi yang khas dengan iringan syahdu seruling bambu.

Masa selanjutnya (sekitar 1252-1261 M) kehidupan ruhani Jalaluddin bagai seorang yang pingsan berkali-kali sampai akhir hayatnya. Untuk beberapa tahun setelah hilangnya Syamsuddin ia mencurahkan semuanya kepada Shalahuddin Farudin Zarkub, yang sebagai pengganti (khalifah)-nya telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk tugas sebagai pelatih bagi para pembantu dalam upacara tarekat Mevlevi.

Atas kematian Shalahuddin (sekitar 1261 M) gairah puitisnya menemukan sumber insiprasi yang baru dan melimpah pada murid lainnya, Husamuddin Hasan ibn Muhammad ibn Hasan ibn Akhi Turk, seorang yang namanya secara mistis dihubungkan dengan karya terbesarnya, Masnawi (syair epic) yang terkenal. Ia menyebut  Masnawi sebagai “buku Husam” dan menyamakan dirinya dengan seperti sebuah seruling di atas kedua bibir Husamuddin, yang terus mengalirkan “musik lengkungan yang ia ciptakan”. Selama sepuluh tahun terakhir dari kehidupan sang penyair, pengikut yang disayanginya ini bertindak sebagai khalifah-nya, sampai Rumi wafat tahun 1273 M, yang kemudian menggantikannya sebagai pimpinan tarekat Mevlevi, sebuah martabat yang dipegangnya hingga 1284. Baru setelah itu Sultan Walad menggantikan kedudukannya.

Dari tangan pertama inilah cerita tentang kehidupan Rumi disampaikan dalam bentuk syair oleh anaknya, dan para penulis biografinya menambah sedikit cerita yang dapat dipertimbangkan, baik bagi perlunya maupun bagi validitasnya. Dari Aflaki serta lainnya kita mendengar bahwa Rumi adalah penunjuk, pemikir dan teman, yang tidak hanya bagi menteri Mu’inuddin, Parwanah (Gubernur) Rum, tetapi juga bagi tuan rajanya sendiri, Sultan Ala’udin. Bagaimanapun hal ini menunjukan bahwa ia beserta kelompok orang-orang sufi memperoleh bantuan serta posisi untuk tetap bertahan menghadapi serangan atas ajaran mereka. Penyair ini mengambil sikap yang tegas sesuai dengan kritik-kritik ortodoksnya. Ia menyebut mereka sebagai “orang-orang tolol” dan “anjing-anjing kampung yang menyalak di tengah malam”.

Tipe Platonis tentang cinta mistis telah diusahakan oleh para sufi jauh sebelum sajak Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa dirinya dan Syamsuddin Tabriz adalah “dua tubuh dengan satu jiwa”. Dalam persatuan jiwa-jiwa yang saling mencintai ini seluruh perbedaan menjadi hilang: tiada yang tinggal kecuali hanya Kesatuan esensial Cinta, dimana “pencinta” dan “kekasih” telah menggabungkan identitas keterpisahannya. Dalam sebutan lirik-lirik Diwan-I Syams-I Tabriz, Rumi tentu saja mempergunakan nama Syams sepertinya Syamsuddin dan dirinya telah menjadi identik dan satu orang. Meskipun bagi kita figure Syamsuddin mungkin tampak tidak substansial, namun kita tidak dapat menerima (menyetujui) pandangan beberapa sarjana modern yang mengatakan bahwa Syamsuddin tidak lebih sebagai personifikasi dari kecakapan puitis dan mistis Jalaluddin, suatu padanan kata bahasa Timur dari “Muse”. Mereka yang menyetujui teori ini secara logis harus memperluasnya sehingga termasuk juga Shalahuddin dan Husamuddin serta hampir tidak dapat terhindari implikasi bahwa Sultan Walad telah menciptakan tiga karakter imajiner untuk memainkan peranan utama dalam kehidupan ayahnya serta dalam membangun tarekat Mevlevi. Orang-orang Barat yang mempelajari Diwan dan Masnawi akan menarik kembali suatu garis paralel batas-batas itu dengan cara lain. (SI)

 

Sumber:

Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi; Ajaran dan Pengalaman Sufi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*