Kartini dan Tafsir Al Quran Pertama Berbahasa Jawa

in Islam Nusantara

Last updated on April 21st, 2018 08:30 am

“Kartini berkomentar, “Selama ini surat Al Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai pada makna tersiratnya. Sebab Romo Kiai (Sholeh Darat) telah menerangkannya dalam Bahasa yang saya pahami.”

—Ο—

 

Sejauh ini, kita baru mengenal tafsir Al Quran tertua yang memuat lengkap 30 Juz, adalah Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd ar-Ra’uf bin ‘Ali al-Jawiyy al-Fansuriyy as-Sinkiliyy, atau dikenal dengan Syeik Abdurrauf al-Sinkily yang diperkirakan hidup antara tahun 1615-1693 M.[1] Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu, yang merupakan terjemahan, atau adaptasi dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil” atau yang dikenal dengan “Tafsir al-Baidhawi” karangan al-Qadhi al-Baidhawi (685 H/ 1286 M), sebuah kitab tafsir legendaris yang banyak tersebar dan dijadikan rujukan utama di dunia Sunni.[2]

Adapun kitab tafsir Al Quran pertama yang ditulis dalam Bahasa Jawa adalah kitab tafsir karya KH Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani, atau lebih dikenal dengan nama Kiai Sholeh Darat.  Kitab tafsir tersebut bernama Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan, atau biasa disebut Faidlur Rahman. Jilid pertama kitab ini ditulis selama sebelas bulan oleh Kiai Sholeh Darat (20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892 sampai 19 Jumadal Ula 1310 H/9 Desember 1892 M). Jilid pertama ini berjumlah 503 halaman dengan bahasan surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Kemudian kitab tafsir itu dicetak oleh percetakan HM Amin Singapura pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November 1893.[3]

Dan yang lebih menariknya, ternyata terdapat peran besar Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi kaum perempuan Indonesia, dibalik penulisan kitab tafsir ini. Dalam artikel M. Rikza Chamami, yang berjudul “Fakta Jawaban KH Sholeh Darat atas Kegelisahan Kartini”, menyebutkan bahwa salah satu yang meminta Mbah Sholeh Darat membuat tafsir berbahasa Jawa adalah Kartini. Disamping memang terdapat dorongan objektif pada waktu itu bahwa umat sudah sangat membutuhkan. Sedangkan sebagian besar orang Jawa tidak bisa berbahasa Arab. [4]

KH Dr Imam Taufiq MAg, ahli tafsir UIN Walisongo yang juga Pengasuh Pondok Pesatren Darul Falah Besongo Semarang menyebutkan bahwa: “Percepatan penerbitan kitab tafsir ini karena tingginya permintaan dan kebutuhan tafsir al-Qur’an dengan bahasa lokal. Menurutnya, Mbah Sholeh Darat akhirnya menerbitkan tafsir Al-Qur’an bernuansa lokal setelah mendapat desakan RA Kartini dalam pengajian di rumah Bupati Demak Ario Hadiningrat.”.[5]

Terkait dengan latar belakang ditulisnya kitab tafsir Faidlur Rahman tersebut, Encyclopedia Islam International mengisahkan; “Pada suatu hari, pengajian Kiai Sholeh darat yang digelar di Pendopo kesultanan Demak dihadiri oleh seorang perempuan keturunan Jepara. Ia adalah Raden Ajeng Kartini yang ketika itu tengah berkunjung ke kediaman pamannya. Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Kala itu sang Kiai sedang mengupas makna surat Al Fatihah. Kartini yang tertarik dengan cara sang Kiai menguraikan isi surat tersebut meminta agar Al Quran diterjemahkan dalam Bahasa Jawa.[6] Menurutnya “tidak ada gunanya membaca kitab yang tidak diketahui artinya”.[7]

Ide Kartini kemudian disambut gembira oleh Kiai Sholeh Darat, meski ia tau bahwa pekerjaan tersebut tentu akan sangat beresiko di masa penjajahan Belanda. Maklum, pada saat itu penerjemahan kitab suci sangat dilarang oleh pemerintah Belanda. Namun Kiai Sholeh Darat tidak hanya membuat terjemahan, lebih dari itu, beliau membuat sebuah tafsir Al Quran dalam Bahasa jawa yang ditulis dengan aksara Arab gundul (Arab Pegon). Tulisan dengan menggunakan Arab Pegon ini ditujukan untuk mengelabui penjajah atas penerbitan kitab ini.

Adapun terkait corak dari tafsir ini, Kiai Sholeh Darat menggunakan metode penafsiran isyari. Corak ini mampu memberikan sentuhan isyarat-isyarat yang kuat kepada masyarakat dan sekaligus dalam waktu bersamaan mengkritik penjajah. Corak tafsir isyari terlihat, misalnya, saat beliau menerjemahkan Surat al-Baqarah ayat 173 yang menerangkan tentang keharaman (mengonsumsi) bangkai, darah, daging babi, dan sesembelihan bukan atas nama Allah. Menurut Kiai Sholeh Darat, bangkai bermakna harta, babi berarti hawa nafsu, darah yakni syahwat, dan sesembelihan selain atas nama Allah memiliki maksud amalan tidak ikhlas karena Allah.[8]

Sejauh ini, Kitab Faidlur Rahman tercatat sebagai kitab tafsir pertama yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Setelah dicetak, Kiai Sholeh Darat kemudian menghadiahkan Kartini satu salinan dari kitab karangannya sebagai hadiah pernikahannya dengan Bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat.[9]

Mendapatkan hadiah yang begitu istimewa tersebut, Kartini berkomentar, “Selama ini surat Al Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai pada makna tersiratnya. Sebab Romo Kiai (Sholeh Darat) telah menerangkannya dalam Bahasa yang saya pahami.”[10]

Terbantu lebih banyak memahami isi Al Quran, Kartini terpikat pada satu ayat yang menjadi favoritnya, yakni: “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya”. (QS. 2:257)

Armin Pane seorang sastrawan Islam dari tanah Batak kemudian menyusun surat-surat Kartini yang akhirnya diberi judul “Door Duisternis Tot Licht”, yang terjemahannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, mengacu pada ayat favoritnya.

Namun sayang, pada akhirnya, kitab tafsir tersebut hanya memuat dari Surat Al Fatihah hingga Surat Ibrahim. Penulisannya tidak dilanjutkan karena Kiai Sholeh Darat keburu meninggal dunia. Beliau wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M. Tapi menurut KH Dr Imam Taufiq. MAg, bukan tidak mungkin masih ada lanjutan dari Faidlur Rahman, mengingat Kiai Sholeh Darat merupakan salah satu ulama yang paling produktif pada masanya. Saat ini saja, karya-karya beliau yang baru ditemukan sebanyak 13 kitab, yang sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura.[11] Alasan lainnya, banyak naskah-naskah para ulama Nusantara yang dibawa ke Belanda dan hingga saat ini masih belum diketahui keberadaannya.[12] (AL)

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, Prof. DR. Hamka, “Aceh Serambi Mekah”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 221

[2] Terkiat dengan dugaan bahwa Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan, atau adaptasi dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil”, kenyataan ini terlihat pada kalimat pembuka “basmalah” pada halaman naskah kitab tersebut, yaitu: إنيله تفسير البيضاوي “inilah tafsir al-baidhawi”. Sementara itu, di sampul naskah kitab edisi tersebut, juga terdapat tulisan sebagai berikut: (Turjuman al-Mustafid fi Tafsir al-Quran al-Majid yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu yang diambil setengah ma’nanya daripada Tafsir al-Baidhawi). Selengkapnya terkait kitab Tarjuman al-Mustafid, Lihat, https://ganaislamika.com/syeik-abdurrauf-dan-tafsir-al-quran-pertama-di-nusantara/

[3] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67554/fakta-jawaban-kh-sholeh-darat-atas-kegelisahan-kartini, diakses 4 Januari 2018

[4] Ibid

[5] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67385/bagaimana-corak-tafsir-mbah-sholeh-darat, diakses 4 Januari 2018

[6] Lihat, Encyclopedia Islam International, Iwan Gayo Glaxo (Edt), Jakarta, Pustaka Warga Negara, 2013, Hal. 1000

[7] Kata-kata Kartini seperti yang dikutip dari sebuah catatan kaki buku “Sang Pencerah” karya Akmal Masery Basral (2001). Dalam dalam suratnya kepada Stella EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899, Kartini menyatakan: “Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Disini orang diajari membaca al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.

[8] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67385/bagaimana-corak-tafsir-mbah-sholeh-darat, Op Cit

[9] Lihat, Encyclopedia Islam International, Op Cit

[10] Ibid

[11] Lihat, http://www.sarkub.com/biografi-kiai-shaleh-darat-semarang/, diakses 4 Januari 2018

[12] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67385/bagaimana-corak-tafsir-mbah-sholeh-darat, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*