Secara de facto, Kesultanan Demak berdiri bersamaan dengan diresmikannya Masjid Agung Demak, pada 1401 Saka/1479 Masehi. Pada kesempatan tersebut, Raden Fatah secara resmi memberlakukan hukum Salokantara, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kitab undang-undang pertama di Nusantara yang mengandung di dalamnya syariat Islam.
Bila merujuk pada catatan sejarah, besar kemungkinan Kesultanan Demak berdiri sebagai entitas politik yang merdeka pada tahun 1478 M, atau setelah raja terakhir Majapahit, Prabu Kertabumi mengalami kekalahan akibat serangan yang dilancarkan oleh pesaingnya, bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana. Soal bagaimana nasib Kertabumi selanjutnya, ada yang mengatakan bahwa dia melarikan diri ke Bali (serat kanda); ada yang mengatakan dia tewas dalam serangan tersebut (pararaton); bahkan ada juga mengatakan bahwa wujudnya moksa.
Sebenarnya, sebelum terjadi serangan pada tahun 1478 tersebut, Majapahit sudah perlahan kehilangan legitimasinya di sejumlah wilayah. Ini disebabkan terdapat dua raja yang saling mengklaim legitimasi, yiatu Kertabumi yang berkedudukan di Wilwatikta; kedua, adalah Girindrawardhana yang berkedudukan di Daha.[1]
Selama beberapa waktu, telah terjadi ketegangan antara kedua penguasa ini. Dan selama kurun tersebut, tidak ada satu otoritas tunggal yang diakui secara penuh. Hingga akhirnya pada tahun 1478, Girindrawardhana menyerang Wilwatikta dengan pasukan besar sehingga hancurlah ibu kota Majapahit itu. Dengan hancurnya pusat kekausaan Majapahit, maka sejumlah wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri dan menyatakan merdeka. Salah satunya adalah Demak Bintoro.
Adapun bila merujuk pada bukti arkeologis, Candrasangkala[2] pada Masjid Demak menyatakan bahwa tahun 1403 Saka (1481) sebagai tarikh berdirinya Kerajaan Demak. [3] Itu artinya tiga tahun setelah kekalahan Kertabumi oleh serangan Girindrawardhana. Bisa jadi, disebabkan situasi transisi politik yang tidak menentu, Kesultanan Demak belum secara resmi didirikan.
Setelah berhasil memenangkan perang, Girindrawardhana, langsung mendaulat diri sebagai pewaris sah kekuasaan Majapahit. Dia sempat berusaha menyatukan kembali wilayah-wilayah yang terpecah selama konflik menahun antara dirinya dengan Kertabumi. Tapi agaknya itu sudah sulit dilakukan. Mengingat beberapa wilayah – terutama yang terletak di pantai utara Jawa – sudah memiliki corak ideologi politik yang berbeda dengan Girindrawardhana.[4]
Umumnya daerah-daerah di pantai utara Jawa itu sudah dipimpin oleh orang-orang Islam. Mereka dulu naik ke puncak kekuasaan politik atas dukungan dari prabu Brawijaya V. Sehingga kesetiaan mereka lebih condong pada trah Brawijaya daripada Girindrawardhana. Setelah kekalahan Prabu Kertabumi, satu-satunya trah Brawijaya yang memiliki legitimasi genetis dan politis sebagai pewaris Majaphit, adalah Raden Wijaya, yang ketika itu menjabat sebagai Adipati Demak Bintoro.
Maka bila kita petakan situasi politik yang berkembang pasca kekalahan Kertabumi, terdapat dua kekuatan politik politik besar di Jawa, yaitu; Girindrawardhana yang memiliki legitimasi sebagai pemenang perang dan berkuasa di Daha (Kediri); dan Raden Wijaya, sebagai pemilik legitimasi genetis dari Brawijaya, yang saat itu memiliki pengaruh kultural cukup kuat, khususnya di pesisir utara Jawa.
Dengan demikian, melihat proses politik yang terjadi pasca kejatuhan Majapahit, sangat mungkin bila Kesultanan Demak baru secara resmi (de jure) dideklarasikan berdiri tiga tahun kemudian, yaitu pada 1481 Masehi.
Hanya saja, bila kita melihat secara de facto, sebenarnya Kesultanan Demak sudah berdiri sebagai identitas politik yang mandiri sejak tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi, yang ditandai oleh momentum berdirinya Masjid Agung Demak. Ini berarti hanya setahun setelah kekalahan Kertabumi.
Berdasarkan informasi dari situs Kementerian Agama RI, angka 1401 Saka adalah tahun berdirinya Masjid Agung Demak. Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus[5]. Ini merupakan candrasengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. [6]
Menurut Agus Sunyoto, bersamaan dengan diresmikannya Masjid Agung Demak, Raden Fatah juga secara resmi memberlakukan Kitab Undang-Undang Salokantara.[7] Banyak pihak yang memaklumkan bahwa Salokantara adalah kitab undang-undang pertama di nusantara yang mengandung di dalamnya syariat Islam. Itu juga sebabnya, Kesultanan Demak dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Bukan hanya karena rajanya yang Muslim, tapi karena undang-undang yang berlaku di wilayah tersebut juga menjunjung syariat Islam. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 110
[2] Candrasangkala adalah cara menuliskan angka tahun suatu kejadian dalam bentuk simbol atau kalimat.
[3] Lihat, Sejarah Kerajaan Demak, https://situsbudaya.id/sejarah-kerajaan-demak/
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 111
[5] Bulus, dalam bahasa latin adalah Amyda Cartilaginea. Hewan ini adalah sejenis kura-kura, tapi berpunggung lunak. Tempurungnya terdiri dari tulang lunak yang dilapisi dengan kulit tebal dan licin. Hewan ini banyak ditemukan hampir diseluruh wilayah di Asia Tenggara.
[6] Lihat, Masjid Agung Demak, http://simas.kemenag.go.id/index.php/arsip/c/2/Masjid-Agung-Demak/?category_id=, diakses 6 September 2019
[7] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 385