Meski dianggap sebagai kerajan Islam pertama di Pulau Jawa, tapi konsep hirarki Kesultanan Demak dan sistem hukum yang diberlakukan di dalamnya, sebenarnya men-copy paste dari apa yang sebelumnya ada di era Majapahit
Sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, konsep pemerintahan Kesultanan Demak terkesan baru bila dibanding dengan Majapahit dan Singasari yang becorak Hindu-Buddha. Akan tetapi, bila merujuk pada pendapat Agus Sunyoto, konsep hirarki Kesultanan Demak tidaklah baru, apalagi revolusioner. Sebaliknya, konsep hirarki tersebut sebenarnya men-copy paste apa yang sebelumnya sudah ada di era Majapahit.[1]
Dengan kata lain, meskipun masyarakat pesisir utara Jawa – termasuk Demak – umumnya sudah memeluk agama Islam, namun struktur masyarakat yang bercorak Hindu-Budha yang terstratifikasi dalam catur warna dan kasta, ternyata tidak mengalami perubahan revolusioner menjadi menjadi masyarakat Muslim yang lazimnya egaliter.
Terkait hal ini, Agus Sunyoto mencontohkan, kedudukan sosial tertinggi masyarakat Majapahit ditempati golongan Brahmana, atau golongan ruhaniawan keagamaan yang ditandai penggunaan gelar-gelar khusus seperti Acarya, brahmana, rishi, pandhita, ajar, kyayi. Kemudian di bawah Brahmana terdapat golongan Ksatria, atau golongan menak penguasa negara yang ditandai dengan penggunaan gelar khusus, seperti bhre, arya, rakryan, rakean, raden, gusti, tuan. Lalu berturut-turut di bawah golongan ini terdapat golongan waisya, sudra, candala, mleccha, dan tuccha.[2]
Struktur sosial masyarakat di atas, nyaris tidak mengalami perubahan ketika Kesultanan Demak Bintara berdiri. Dimana lapisan sosial tertinggi masyarakat Muslim tetap diduduki oleh kelompok ruhaniawan-keagamaan yang dalam terminologi Islam di sebut “ulama”. Golongan ini dikenal dengan beragam gelar, seperti susuhunan, raja pandhita, pandhita, panembahan, kyayi ageng, kyayi anom, kyayi, dan ki ageng. Meski istilahnya sedikit berbeda, tapi secara substansi, semua menunjukan satu golongan atau kelas sosial yang sama, yaitu kelompok ruhaniawan-keagamaan.[3]
Menariknya, menurut Agus Sunyoto, sekalipun kata “ulama” dalam konsep sosial masyarakat Islam dimaknai sebagai “orang-orang yang berilmu” atau orang-orang yang berpengetahuan luas, khususnya dalam bidang keagamaan. Namun dalam konteks sosial masyarakat Jawa dan juga masyarakat nusantara secara umum, kata tersebut cendrung diasosiasikan secara spesifik dengan kekuatan gaib yang disebut “daya sakti”.[4]
Pada era sebelum Demak, istilah “daya sakti” tersebut terkait dengan sisa-sisa ajaran Kapitayan yang disebut “Tu-ah” dan “Tu-lah”. Daya sakti ini hanya dimiliki oleh para “dha-tu” dan “ra-Tu”, yang di era Hindu-Budha menjadi prasyarat bagi setiap kaum brahmana, rishi, wiku, acarya, pandhita, dan ajar. Kepada para ulama Islam, seperti Wali Songo misalnya, kualifikasi ini juga disematkan.[5]
Dalam cerita, mitos dan legenda tentang para ulama Islam, tidak sedikit muatan yang mengandung legenda tentang daya sakti yang mereka miliki. Meski untuk para ulama Islam, kemampuan ini dikenal dengan sebutan berbeda, seperti “karomah” dan maunah. Tapi pada prinsipnya, masyarakat tidak hanya melihat kedudukan para ulama dan wali tersebut sebatas orang-orang yang menguasai ilmu agama, tapi juga sosok yang memiliki kemampuan adi-duniawi yang menjadi syarat legitimasi kemuliaannya.[6]
Di bawah golongan para ulama ini, dalam stratifikasi masyarakat Islam di Demak juga terdapat golongan “satria” yang posisinya juga sebagai penguasa negara, seperti sultan, sunan, adipati, pangeran, arya, tumenggung, raden, mas, ki mas, dan lain-lain. Selanjutnya barulah golongan masyarakat biasa yang tersusun berdasarkan stratifikasi, seperti nelayan, petani, pengerajin, pedagang, dan tukang, berada di kelas menengah. Disusul kemudian oleh golongan buruh, dan yang terendah adalah budak belian.[7]
Bahkan, hingga akhir era Kesultanan Demak, historiografi Jawa masih menyebutkan keberadaan golongan-golongan sosial masyarakat rendahan yang sudah terbentuk sejak era Majapahit, seperti golongan domba, kewel, dapur, kilalan, dan potet. Artinya, golongan tersebut belum naik status sosialnya sebagai golongan rendahan, meskipun sudah dikenal beberapa di antara mereka yang cukup dihormati seperti Syeikh Domba, Syeikh Kewel, dan sebagainya.[8]
Selain stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang nyaris tidak berubah setelah lahirnya Kesultanan Demak, ternyata sistem hukum dan norma-norma sosial yang diberlakukan pada masa pemerintahan Demak, juga tidak banyak berubah.
Misalnya, kitab undang-undang Salokantara yang diberlakukan oleh Raden Fatah bersamaan dengan waktu persemian Masjid Agung Demak, dan dianggap oleh sebagian pihak sebagai hukum yang mencerminkan syariat Islam, tidak lain merupakan salah satu bagian dari kompedium hukum pra-Majapahit selain Kitab Undang-Undang Kuta Manawa Dharma-shastra.[9]
Bahkan ketika selanjutnya Raden Fatah memaklumkan kitab undang-undang yang bernama Angger Surya Ngalam, ternyata – menurut Agus Sunyoto – pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut sejatinya berasal dari Kitab Undang-Undang Kuta Manawa Dharma-shastra yang berlaku di era Majapahit.[10]
Dengan demikian, menarik untuk mencermati lebih jauh, bagaimana konsep dakwah Islam yang dilakukan oleh para ulama terdahulu di nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Sehingga Islam bisa diterima secara sukarela oleh masyarakat, tanpa merusak sedikitpun konstruksi sosial dan politik yang sudah ada dan dikenal sebelumnya? (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 408
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 409
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 408
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 387
[10] Ibid, hal. 388-389