Kesultanan Demak (14): Raden Fatah (9)

in Islam Nusantara

Last updated on October 3rd, 2019 06:32 am

Meski berdirinya Kesultanan Demak nyaris tidak mengubah struktur sosial, sistem hukum dan politik di Pulau Jawa, tapi ada cara lain yang digunakan oleh Raden Fatah dan para ulama (Wali Songo) untuk menyiarkan Islam ke tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan kesenian.

Menurut Agus Sunyoto, salah satu aspek yang membuat Kesultanan Demak langsung mendapat legitimasi sebagai pewaris kekuasaan Majapahit di tanah Jawa, karena sistem politik dan hukum yang ditegakkan di negara tersebut, tetap menganut asas kebiasaan yang dikenal di Majapahit. Sehingga rakyat – khususnya yang bermukim jauh dari ibu kota Majapahit dan dekat dengan Demak – lebih memilih tunduk pada kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa ini. Kerena mereka jauh lebih mudah beradaptasi, meskipun Kesultanan Demak secara prinsip adalah identitas politik Islam pertama di tanah Jawa.  

Meski berdirinya Kesultanan Demak nyaris tidak mengubah struktur sosial, sistem hukum dan politik di Pulau Jawa, tapi nilai-nilai Islam justru berkembang lebih progresif pada era ini.  Ada cara lain yang digunakan oleh Raden Fatah dan para ulama (Wali Songo) untuk menyiarkan Islam ke tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan kesenian.

Berikut ini adalah penggambaran Agus Sunyoto tentang bagaimana Raden Fatah dan Wali Songo menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam melalui kesenian.[1]

Menurut R. Poedjosoebroto, Sultan Demak pertama, Raden Fatah, sangat gemar pada kesenian wayang, yang juga sangat digemari oleh penduduknya. Tapi, meskipun Raden Fatah adalah seorang penguasa, negarawan, seniman, ahli hukum, ahli ilmu kemasyarakatan, dan juga ulama yang memiliki kemampuan membaca fenomena sosial, dia tetap memohon pertimbangan dari para ulama untuk mengembangkan kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. Hasil pertimbangan tersebut, rencananya akan diimplementasikannya sebagai kebijakan dalam membangun masyarakatnya

Demikianlah, setelah meminta pertimbangan kepada beberapa orang anggota Wali Songo, diperoleh pendapat sebagai berikut:

  1. Seni wayang perlu dan dapat diteruskan, asal diadakan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman yang sedang berlaku;
  2. Kesenian wayang dapat dijadikan alat media dakwah Islam yang baik;
  3. Bentuk wayang diubah, bagaimana dan dibuat dari apa, terserah, asal tidak lagi berwujud seperti arca-arca yang mirip manusia;
  4. Cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung jiwa Islam untuk membuang kemusyrikan;
  5. Cerita wayang harus diisi dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan-santun;
  6. Cerita-cerita wayang terpisah menurut karangan Walmiki dan Wiyasa harus diubah lagi menjadi dua cerita yang bersambung dan mengandung jiwa Islam;
  7. Menerima tokoh-tokoh cerita wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai perkembangan sejarah, dimana tafsiran-tafsiran harus sesuai dengan ajaran Islam;
  8. Pergelaran seni wayang harus mengikuti aturan Susila dan jauh dari maksiat;
  9. Memberikan makna yang sesuai dakwah Islam pada seluruh unsur seni wayang, termasuk gamelan, tembang-tembang, tokoh-tokoh, dan lakon-lakon.

Menurut Sri Mulyono, Raden Fatah dan para wali di Pulau Jawa sangat gemar pada kesenian daerah, sehingga secara aktif mereka mengadakan penyempurnaan dan perubahan bentuk wayang, wujud, cara pertunjukan, dan alat perlengkapan atau sarana pertunjukan wayang kulit purwa yang berasal dari Majapahit, sehingga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam.[2]

Dimasa pemerintahan Raden Fatah, wayang dibuah pipih menjadi dua dimensional dan digambar miring sehingga tidak menyerupai relief candi, tetapi lebih diperindah dan perbagus untuk menghilangkan kesan-kesan meniru wayang di candi; wayang dibuat dari kulit kerbau yang ditatah halus; diberi warna dasar dari tulang bubuk berwarna putih, sedangkan gambar pakaian diberi warna hitam; gambar muka wayang dibuat miring dengan tangan menjadi satu dengan badan (irasan) diberi gapit untuk menancapkan pada kayu yang diberi lubang khusus.

Tokoh Bima dalam perwayangan. Sumber gambar: wayangku.id

Menurut Zarkasi, salah satu sumbangan penting Raden Fatah dalam usaha pengembangan wayang sebagai alat dakwah adalah menciptakan kayon (gulungan) yang ditancapkan di tengah panggung kelir dan menciptakan simpingan.

Gambar kayon (gulungan). Sumber: flickr.com

Masih menurut Sri Mulyono, Sultan Demak, Raden Fatah, membuat suatu perangkat gamelan laras pelog yang pada hari-hari tertentu ditempatkan dan dibunyikan di halaman Masjid Agung Demak. Gamelan itu disebut Gamelan Sekati. Tradisi inilah yang sampai sekarang masih dijalankan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta pada tiap-tiap Bulan Maulud dalam perayaan Maulid Nabi, yang disebut perayaan Sekaten (dari kata Syahadatain).

Gamelan Sekaten Solo. Terdapat dua gamelan milik Keraton Kasunanan Surakarta yakni Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari yang akan ditabuh selama seminggu pada setiap gelaran Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Sumber gambar: Jawapos.com

Pada zaman Demak, hari besar yang harus dimeriahkan adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad Saw. Yang terakhir inilah yang diutakan. Menurut Ki Siswoharsojo dalam Guna Cara Agama, pada masa Demak, untuk memeriahkan Hari Maulid itu, tujuh hari sebelumnya para bupati dan abdi dalem (pegawai kraton) pesisir dipanggil untuk hadir di istana. Maksudnya untuk memberikan kebaktian kepada penguasa.

Abdi Dalem dalam bidang keagamaan (penghulu, juru suronoto dan sebaginya) disuruh zikiran di masjid sambal memberikan penerangan mengenai agama kepada rakyat dan memberikan tuntutnan syahadatain kepada rakyat yang berduyung-duyun membajiri masjid karena ingin melihat atau mendengarkan gamelan masjid.

Sebagai alat untuk menarik masyarakat, dibunyikanlah gamelan besar yang diletakkan di (Bangsal) Sri Manganti yang diusung dari istana ke masjid sesudah Isya dengan dibunyikan terus menerus selama perjalanan. Di halaman masjid, gamelan besar dua pasang diletakan di kanan dan kiri bangsal. Selanjutnya dibunyikan siang dan malam. Siang mulai pagi sampai Zuhur, malam mulai bakda Isya sampai tengah malam.

Rakyat banyak yang terteraik pada bunyi gamelan itu dan berbodong-bondong datang ke halaman masjid. Di sana sambal menunggu memperoleh bagian makanan yang sudah disediakan, mereka diberi penerangan mengenai ajaran Agama Islam dan riwayat Nabi Muhammad Saw. Kemudian sedekahan (pemberian) makanan nasi yang sebelumnya dibacakan doa, lalu makan Bersama. Mereka yang tertarik pada ajaran Islam lalu dituntun mambaca dua kalimah syahadat, sebagai pernyataan masuk Islam. Demikian, setiap hari dilakukan selama tujuh hari sampai jatuh Hari Maulid Nabi.

Pada hari terakhir, 12 Rabiul Awwal, adalah puncak keramaian. Mulai pagi, Raden Fatah yang dijuliki Sri Sultan Alam Akbar, sebagai khalifah umat Islam, duduk bersila dihadapan para patih, hulu balang dan pejabat-pejabat tinggi. Lalu dari istana diiringi “gunungan ambeng” berisi nasi dan lauk pauknya dibawa menuju masjid sebagai selamatan yang diselenggarakan resmi oleh raja.

Menjelang shalat Zuhur, Sri Sultan dengan diiringi seluruh pejabat tinggi negara dan hulubalang turun dari istana berjalan kaki menuju masjid agung. Sri Sultan mengimami Shalat Zuhur dan para abdi dalem menjadi makmum. Sesudah Shalat Zuhur, dibacakan doa oleh penghulu, lalu selamatan dimakan bersama rakyat.

Sebagai penutup, diramaikan dengan segala bunyi-bunyian (tambur, terompet, gamelan, dan sejata prajurit), kemudian bubar. Tradisi ini, sesudah masa Demak tetap dilanjutkan ke Pajang, terus ke Mataram, sampai sekarang ke Surakarta dan Yogyakata.  (AL)

Suasana upacaya Sekaten di Kesultanan Yogyakarta. Upacara ini hingga sekarang masih rutin diselenggaran setiap tahun dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Sumber gambar: bonvoyagejogja.com

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 388-393

[2] Uraian lebih jauh mengenai asal usul dan sejarah perkembangan wayang dalam dakwah Islam di Nusantara, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/wayang-dalam-dakwah-islam-di-nusantara-sejarah-wayang-1/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*