Tome Pires, penulis Portugis yang datang antara tahun 1512-1515 mengisahkan, bahwa waktu itu, Demak dipimpin oleh sosok bernama Pate Rodim yang usianya sekitar 30 tahunan. Dan hampir seluruh pemimpin (pate) di tanah Jawa ketika itu tunduk pada nya.
Selama berkuasa menjadi sultan pertama Demak, Raden Fatah bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.[1] Menurut sumber yang lain, Raden Fatah juga menggunakan gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah.[2]
Tidak begitu jelas kapan tepatnya Raden Fatah dinobatkan sebagai Sultan Demak. Tapi sangat mungkin itu terjadi pada 1478, atau bersamaan dengan takluknya Prabu Kertabumi oleh serangan Girindrawardhana. Setelah itu, barulah dia memerintahkan untuk membangun Masjid Agung Demak yang diresmikan pada tahun 1481, sekaligus menandai berdirinya entitas politik yang dikenal dengan Kesultanan Demak.
Selama masa pemerintahannya, Raden Fatah berhasil menyulap Demak – yang awalnya merupakan sebuah pedukuhan kecil yang digabungkan dengan kota Bintara – menjadi salah satu metropolitan paling ramai di Nusantara.
Popularitas Demak ketika itu, berhasil menggantikan Majapahit di Pulau Jawa, dan hampir setara dengan popularitas Malaka di Kawasan Nusantara dan Asia Tenggara. Menurut Tome Pires, pengaruh Kesultanan Demak ketika itu sudah melingkupi Jawa, Palembang, Jambi, Bangka, Belitong, dan Tanjung Pura.[3]
Tapi kejayaan itu segera sirna setelah bangsa Portugis berhasil menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Kehadiran bangsa Portugis di Nusantara, menandai lahirnya era kelonialisme bangsa Eropa yang akan bertahan hingga lebih dari 500 tahun kemudian. Dan sebagai kekuatan politik terbesar di Nusantara, Kesultanan Demak menjadi aktor penting dalam proses transisi peradaban di Nusantara tersebut.
Terkait berapa lama masa pemerintahan Raden Fatah, Agus Sunyoto mengatakan bahwa ketika Tome Pires, penulis asal Portugis tiba di Demak pada tahun 1515, Raden Fatah sudah wafat dan digantikan oleh putranya, yang bernama Sultan Trenggana.[4]
Menurut M.C. Ricklefs, Sultan Trenggana naik tahta sekitar tahun 1505 M, menggantikan ayahnya yang wafat setahun sebelumnya, yaitu tahun 1504. Kemudian dia turun tahta pada tahun 1518 karena kalah dalam perebutan tahta melawan saudaranya yang bernama Raja Yunus (Adipati Unus) dari Jepara. Pada tahun 1518, Adipati Unus naik tahta dan memerintah Demak sampai tahun 1521. Setelah wafatnya Adipati Unus, Sultan Trenggana kembali naik tahta untuk kedua kalinya.[5]
Dari informasi Ricklefs di atas, bisa dikatakan bahwa ketika Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511 M, Raden Fatah sudah mangkat. Tapi menurut Prof. Dr. Slamet Muljana, ketika Tome Pires ada di Malaka dari tahun 1512 sampai 1515, Raden Fatah masih hidup. Beliau baru meninggal pada tahun 1518. Setelah itu dia digantikan oleh Adipati Unus, lalu kemudian pada tahun 1521 – setelah Adipati Unus wafat – Sultan Trenggana naik tahta.
Adanya sejumlah perbedaan pendapat mengenai dinamika pergantian kekuasaan di dalam Kesultanan Demak tersebut di atas, sebenarnya berawal dari tafsir atas catatan perjalanan Tome Pires ke Demak pada tahun 1515.
Dalam catatan yang berjudul Suma Oriental tersebut, Tome Pires mengambarkan Kota Demak ketika itu adalah sebagai wilayah yang Makmur; terdiri dari delapan sampai sepuluh ribu rumah, dan tanah di sekitarnya menghasilkan beras berlimpah-limpah yang sebagian diekspor ke Malaka. Pires mengatakan, bahwa pada tahun itu (1515), Demak dipimpin oleh sosok yang bernama Pate Rodim, dan hampir seluruh pemimpin (pate) di tanah Jawa ketika itu tunduk pada nya.[6]
Dikatakan oleh Tome Pires, bahwa Pate Rodim ketika itu masih muda, sekitar 30 tahunan usianya. Tapi dia larut terbuai oleh rayuan para selirnya, sehingga kejayaan negara jatuh. Padahal di era ayahnya Pate Rodim, Demak menjadi salah satu kekuatan terbesar di Nusantara. Dia bahkan mampu mengumpulkan 40 unit kapal Junk dan mengendalikan perniagaan di sepanjang pesisir utara Jawa hingga Palembang, Jambi, Bangka, Belitung, pulau-pulau Monomby,[7] dan banyak pulau-pulau di sekitar Tanjung Pura. Tapi sekarang jumlah junk yang dimiliki Pate Rodim bahkan tidak mencapai 10 unit.[8]
Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa Pate Rodim yang dimaksud oleh Tome Pires tersebut? (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 377
[2] Lihat, M Kholidul Adib, Menelusuri Lokasi Keraton Demak Bintoro (Bag. 1), https://kabardemak.wordpress.com/2016/01/22/menelusuri-lokasi-keraton-demak-bintoro-bag-1/, Diakses 21 September 2019
[3] Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malacca And India In 1512-1515, And The Book of Francisco Rodrigues, Rutter of A Voyage In The Red Sea, Nautical Rules, Almanack And Maps, Written And Drawn In The East Before 1515, Translated from The Portuguse MS in the Bibliotheque de la Chambre de Diputes, Paris, and Edit by Armando Cortesao, Volume I, (London: Printed For The Hakluyt Society, 1994), hal. 184
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 393
[5] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 54
[6] Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, Op Cit, hal. 183-185
[7] Tidak terlalu jelas dimana tepatnya Pulau Monomby yang dimaksud Tome Pires. Tapi bila melihat gambaranya, bahwa pulau ini terletak berhadapan dengan Palembang. Itu sebabnya sebagian pendapat ada yang mengatakan bahwa Monomby dan Bangka adalah tempat yang sama dengan nama berbeda. Tapi bila kita lebih jauh menganalisis yang dimaksud Pires, pulau-pulau Monomby di sini bisa berarti pulau-pulau kecil yang ada di Selat Karimata, sampai ke Tanjung Pura (Kalimantan). Dan bila dikaitkan konteksnya dengan wilayah kekuasaan Demak waktu itu, bisa diasumsikan bahwa wilayah dari pesisir utara Jawa hingga seluruh Kawasan nusantara bagian barat waktu itu, tunduk pada Kesultanan Demak.
[8] Ibid