Ketika kisah tentang jatuhnya Kota Malaka oleh serangan Portugis menyebar ke seluruh Nusantara, tidak sedikit raja yang terteror dan memilih diam. Tapi ada juga dari mereka yang marah dan bangkit melakukan perlawanan. Salah satunya adalah Adipati Unus, putra Raden Fatah yang ketika itu menjadi penguasa Jepara.
Ketika tahun 1511 armada perang Portugis mulai memasuki Selat Malaka, Kesultanan Malaka sudah tidak sama seperti sebelumnya. Pusat perdagangan di Asia Tenggara ini sedang dirundung perpecahan. Komunitas internasional yang menjadi kekuatan inti di Malaka, sekarang justru diurus dengan cara yang salah. Kesultanan menetapkan pajak yang sangat tinggi kepada mereka. Sehingga banyak pedagang yang mulai mempertimbangkan untuk mencari pelabuhan lain dan pasar baru yang lebih menguntungkan. Kesultanan Malaka seperti lupa, bahwa kepercayaan dan kesetiaan komunitas internasional kepada mereka, adalah kunci kejayaan mereka.[1]
Dikisahkan oleh Tome Pires, bahwa armada perang Portugis tiba di Malaka pada awal Juli 1511 di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque, yang juga bertindak sebagai Gubernur Kerajaan Portugal untuk wilayah Hindia. Jumlah armada yang dibawa oleh Albuquerque ketika itu terdiri dari 15 kapal dalam ukuran kecil maupun besar dengan awak berjumlah 1600 orang.[2]
Sedangkan Malaka ketika itu adalah imperium terbesar di Asia Tenggara. Menurut Tome Pires, Kesultanan Malaka memiliki sekitar 100.000 prajurit yang tidak hanya berasal dari Malaka, tapi juga wilayah lain di sekitarnya, seperti Kuala Linggi (Coala Penagy) dan Kasang (Cacam).[3]
Di samping itu, Kesultanan Malaka juga memiliki kekuatan armada laut yang tangguh. Mereka memiliki banyak kapal, mulai dari jenis kapal untuk bertarung di laut lepas, di perairan dangkal dan sungai. Ditambah lagi, armada angkatan laut Malaka juga di dukung oleh kapal-kapal jenis Junk yang berasal dari Gujarat. Dan kapal-kapal dari Gujarat itu memang dikirim untuk membantu pertahanan Malaka dari serangan Portugis. Sebab sebelum menaklukkan Malaka, Albuquerque juga sudah pernah menaklukkan Goa.[4]
Tapi menurut Tome Pires, ada satu kelemahan dari Malaka, selain karena saat itu sedang terjadi konflik internal di dalam Kerajaan pasca wafatnya Bendahara Negara, Tun Perak, rakyat Malaka juga tidak setia. Sebab Malaka sebenarnya adalah kota perdagangan. Ada banyak bangsa hidup di wilayah ini. Tak kurang dari sekitar 80 bahasa dituturkan di tanah Malaka. Dan sebagaimana umumnya kota perdagangan, kesetiaan para pendatang pada raja hanya sebatas kepentingan ekonomi. Mereka tidak mencintai raja Malaka layaknya orang-orang pribumi Melayu. Dengan kata lain, sistem pertahanan Malaka ketika itu hanya tampak besar di luar, tapi sebenarnya ringkih di dalam.[5]
Di sisi lain, meski secara kuantitas sangat kecil, armada perang yang dibawa Albuquerque tidak bisa dianggap remeh. Pengalaman bertempur dengan tentara Muslim membuat Bangsa Eropa mengenal segala perlengkapan perang mutahir, seperti bubuk mesiu dan meriam. Dengan sedikit inovasi, Albuquerque melengkapi kapal-kapalnya dengan meriam yang banyak, sehingga kapalnya lebih mirip sebuah panggung meriam di lautan ketimbang sebuah sarana transportasi.[6]
Pada tanggal 25 Juli 1511 M, 15 kapal perang Portugis itu sudah membentuk sebuah formasi di perairan Selat Malaka. Moncong-moncong meriam yang ada di setiap kapal berderak, mengarah ke pelabuhan Malaka. Lalu dengan sedikit aba-aba, suara dentuman pun bersahutan dari setiap kapal. Meriam-meriam dari kapal Portugis itu dengan ganas memuntahkan biji-biji besi sebesar buah kelapa ke arah pelabuhan Malaka. Dalam waktu singkat pelabuhan yang terkenal di seantero dunia itupun terbakar. Peluru-peluru meriam itu menerjang semua yang ada, mulai dari kapal, rumah penduduk, hingga benteng kota. Setelah hari itu, Malaka jatuh ke tangan Portugis.[7]
Kisah tentang jatuhnya Kota Malaka oleh serangan Portugis langsung menyebar ke seluruh Nusantara. Ada yang terteror dan memilih diam. Tapi ada juga yang bangkit dan siap melakukan perlawanan. Salah satunya adalah Adipati Unus, putra Raden Fatah yang ketika itu menjadi penguasa Jepara. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2013, hal. 210. Menurut M.C. Ricklefs, Malaka pada masa itu merupakan pusat dari sistem perdagangan yang terbesar di dunia. Akan tetapi, kunci keberhasilan Malaka ternyata bukan terletak pada keuntungan geo-strategisnya. Melainkan pada piawaian para Sultan Malaka dalam membuat kebijakan strategis. Selain menegakkan hukum dan keamanan di laut; Kesultanan Malaka juga menyediakan fasiltas dan berbagai sarana yang menguntungkan bagi para pedagang. Sehingga banyak negeri yang mendirikan kantor dagang dan mengirimkan duta perdagangannya di Malaka. Dari sini, lalu terbentuklah sebuah komunitas dagang internasional. Semuanya berada di bawah koordinasi Sultan Malaka. Komunitas inilah sebenarnya yang menjadikan pelabuhan Malaka bernilai strategis tinggi dibanding dengan pelabuhan lainnya yang banyak berdiri di sepanjang jalur laut Samudera Hindia. Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 30
[2] Dalam surat yang dikirimkannya kepada Raja Portugal, Afonso de Albuquerque melaporkan bahwa awalnya jumlah kapal yang dibawanya berjumlah 17, tapi satu di antaranya kandas di Ceylon (Srilanka). Sehingga dia ke Malaka dengan membawa 16 unit kapal perang. Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malacca And India In 1512-1515, And The Book of Francisco Rodrigues, Pilot Major of That Armada of Discovered Banda and Moluccas, Rutter of A Voyage In The Red Sea, Nautical Rules, Almanack And Maps, Written And Drawn In The East Before 1515, Edit by Armando Cortesao, Volume II, (New Delhi, Chennai: Asian Edicational Service, 2005), hal. 278
[3] Ibid, hal. 279
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Lihat, M.C. Ricklefs, Op Cit, hal. 31
[7] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 211