Kesultanan Demak (18): Transisi Politik di Nusantara (4)

in Islam Nusantara

Last updated on October 10th, 2019 05:24 am

Jauh hari sebelum Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka, Adipati Unus sudah melihat kehadiran Portugis sebagai ancaman nyata bagi eksistensi Nusantara. Itu sebabnya, dia memulai pembangunan alutsista dalam jumlah besar di Jepara.

Gambar ilustrasi. Sumber: tirto.id

Pramoedya Ananta Toer, dalam novel sejarah yang berjudul Arus Balik, menggambarkan bagaimana suasana psikologis para ningkat dan rakyat Jawa ketika mendengar berita kedatangan Portugis ke Kawasan Samudera Hindia. Demikian juga dengan kedigjayaan senjata yang mereka bawa, yaitu Meriam. Dengan senjata ini, mereka berhasil menaklukkan sejumlah pelabuhan penting di Kawasan Samudera Hindia, mulai dari Teluk Persia sampai ke Goa. Dan sebentar lagi mereka pasti akan menuju ke Nusantara.[1]

Mendengar ancaman besar datang di ujung samudera sana, salah seorang putra Raden Fatah, bernama Yunus, memulai proyek pembangunan kapal dalam jumlah sangat besar. Ini dilakukannya beberapa tahun sebelum Malaka akhirnya jatuh oleh serangan Portugis pada bulan Juli 1511. Ketika itu Yunus sedang menjadi Adipati di wilayah Jepara. Itu sebabnya dia kemudian lebih kenal dengan sebutan Adipati Unus.

Tome Pires dalam Suma Oriental mengatakan bahwa upaya Adipati Unus membangun kekuatan laut tersebut adalah untuk menyerang Kesultanan Malaka dan merebut pelabuhan yang menjadi pusat dari sistem perdagangan terbesar di dunia itu. Tapi rencananya itu gagal, setelah Afonso de Albuquerque berhasil terlebih dahulu merebut pelabuhan tersebut. Itu sebabnya, Adipati Unus marah dan melancarkan serangan ke Portugis di Malaka.[2]

Akan tetapi, bila kita lihat skema politiknya pada masa itu, agaknya tidak mungkin Adipati Unus yang hanya seorang putra dari Raden Fatah memiliki ambisi ke sejauh itu. Lagi pula, ketika itu Jepara adalah wilayah yang tunduk pada Kesultanan Demak. Bila memang Adipati Unus bermaksud ingin menguasai Kawasan perdagangan sebesar Malaka, seharusnya dia menghancurkan dulu Demak, dan menundukkan seluruh kerajaan lain di Pulau Jawa dan Nusantara.

Menurut Kronik Tionghoa dari Klenteng Semarang, Adipati Unus sudah mulai membangun galangan kapal sejak tahun 1509 M.[3] Bila dihubungkan dengan catatan perjalanan Afonso de Albuquerque, pada tahun 1503 M, dia bertolak ke India. Kemudian pada tahun 1509 M, dia dinobatkan sebagai gubernur kerajaan Portugal untuk Kawasan Timur Jauh.[4] Dan pada tahun 1510 M, dia sudah berhasil menaklukan Goa dan mendirikan pangkalan pertama di sana.[5]  

Sebagai catatan, sejak ribuan tahun lamanya masyarakat di Kawasan Samudera Hindia – mulai dari Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika hingga Nusantara – sudah saling mengenal dan saling mempengaruhi satu sama lain, baik melalui perdagangan, hubungan diplomatik dan juga perang.  

Dengan kondisi seperti ini, nyaris tidak ada satupun informasi yang di satu wilayah di Kawasan ini yang tidak langsung menyebar ke wilayah lainnya. Apalagi informasi itu terkait peristiwa besar seperti penaklukkan yang dilakukan Albuquerque ke sejumlah pelabuhan penting di Kawasan Samudera Hindia.

Dengan demikian, proyek pembangunan kapal dalam jumlah besar yang dilakukan oleh Adipati Unus, lebih mungkin diasumsikan sebagai sebuah rencana strategis untuk menangkal potensi ancaman yang datang, ketimbang sebagai rencana penaklukan ambisius yang bersifat pribadi.

Lagi pula, tidak ada yang aneh bila seorang putra mahkota Demak memiliki pandangan yang visoner seperti itu. Mengingat Kesultanan Demak memang merupakan pemegang legitimasi kekuasaan tertinggi di wilayah Jawa.

Bila kita melacak sejarah, sebenarnya visi serupa sudah pernah muncul dulu, sekitar abad ke 13 M. Ketika itu, Sri Kertanegara yang merupakan raja Singasari, merasa cemas dengan semakin meluasnya akspansi kekaisaran Mongolia di daratan Asia. Itu sebabnya dia melakukan sejumlah kunjungan diplomatik ke berbagai negara di Nusantara guna mempersatukan kekuatan menghalau agresi bangsa Mongol.

Dan sebagaimana sejarah mengisahkan, bangsa Mongol pada akhirnya memang datang ke Nusantara. Tapi ketika itu Sri Kertanegara sudah tewas dibunuh oleh Jayakatwang. Delegasi Mongol tersebut bertemu dengan Jayakatwang. Tapi utusan tersebut siksa; hidung dan telinganya di potong oleh Raja Glang-glang tersebut. Tak ayal, perlakuan ini memicu agresi bangsa mongol ke Nusantara. Untungnya, menantu Sri Kertanegara waktu itu, Raden Wijaya, berhasil menumpas pasukan Mongol, meskipun dengan siasat yang terbilang rumit.

Mungkin itu pula sebabnya, ketika Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit, visi strategis Kertanegara justru dilanjutkan oleh penerusnya. Pemahaman bahwa gugusan kepulauan di nusantara ini adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, adalah kesadaran alami yang dimiliki oleh setiap raja yang memimpin wilayah ini. Dan sepertinya, kesadaran itu pula yang mendorong Adipati Unus sejak jauh-jauh hari membangun angkatan perangnya.  (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), hal. 28-33

[2] Lihat, The Suma Oriental of Tome Pires, An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malacca And India In 1512-1515, And The Book of Francisco Rodrigues, Rutter of A Voyage In The Red Sea, Nautical Rules, Almanack And Maps, Written And Drawn In The East Before 1515, Translated from The Portuguse MS in the Bibliotheque de la Chambre de Diputes, Paris, and Edit by Armando Cortesao, Volume I, (London: Printed For The Hakluyt Society, 1994), hal. 188

[3] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 114

[4] Lihat, Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Freedom Institute, 2008), hal. 97

[5] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 32

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*