Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Kertawijaya selama masa pemerintahannya telah membuka membuka kesempatan bagi kaum Muslimin di tanah Jawa untuk membangun pondasi dakwah Islam yang lebih terorganisir dan sistematis.
Selain beberapa istri dan sebagian putra-putranya beragama Islam, sejumlah kebijakan yang ditetapkan Sri Prabu Kertawijaya tampak sekali memberi peluang bagi orang-orang beragama Islam untuk memegang tampuk jabatan penting di Majapahit. Agus Sunyoto dalam buku Atlas Walo Songo, merinci beberapa dari mereka, antara lain:
Arya Lembu Sura yang Muslim diangkat menjadi Raja Surabaya. [1] Dia adalah adik dari Arya Wiraraja, yang oleh Agus Sunyoto dikatakan sebagai raja Islam pertama di Jawa, dengan kerajaannya bernama Lumajang. Di samping itu, tercatat dalam Sedjarah Dalem, bahwa Arya Lembu Sura adalah juga ayah kandung dari putri Retna Penjawi, permaisuri Brawijaya.
Selanjutnya adalah Arya Teja yang dikenal sebagai seorang Muslim diangkat menjadi Adipati Tuban. Dia menikah dengan salah satu putri dari Arya Lembu Sura. Kelak dari pernikahan ini, lahir seorang putri yang bernama Raden Ayu Candrawati atau yang bergelar Nyai Ageng Manila. Putri Arya Teja ini kemudian dinikahi oleh Sunan Ampel. Dari pernikahan tersebut kemudian lahir beberapa ulama besar, seperti Sunan Bonang dan Sunan Drajat.[2]
Tokoh Muslim lain yang diberi posisi strategis oleh Brawijaya V, adalah kemenakan jauh permaisurinya yang bernama Sayyid Es, yang diangkat sebagai anak dan dianugerahi gelar Syeikh Suta Maharaja. Kemudian Sayyid Es diangkat menjadi Adipati Kendal.[3]
Dan yang termasuk penting adalah perhatian khusus Brawijaya V pada dua kemenakan permaisurinya yang lain dari negeri Champa, yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murthadho. Keduanya tidak hanya diberi jabatan, tapi juga wilayah yang bisa digunakan untuk membangun basis pengajaran Islam.
Sayyid Ali Rahmatullah diberi tanah di wilayah Ngampel dan diangkat menjadi imam di Surabaya. Pada masa selanjutnya, jabatannya naik menjadi Adipati di Surabaya.
Di tanah yang diberikan Brawijaya V inilah Ali Rahmatullah mendirikan pusat mendidikan Islam, guna mendidik generasi muda untuk menjadi pendakwah yang terpelajar, menyebarkan Islam dengan hikmah, dan sikap hati-hati di berbagai tempat yang berbeda di pulau Jawa. Sebagian dari murid-muridnya adalah Muhammad (Ainul Yaqin), anak saudaranya, Ishaq, dan Raden Fatah yang kelak menjadi sultan pertama di kerajaan Islam, Demak.[4]
Sayyid Ali Rahmatullah kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Sementara itu adiknya, Ali Murthadho diangkat menjadi Imam di Masjid Gresik dengan gelar Raja Pandita. Di samping itu, ada juga kemenakan permaisurinya yang lain bernmama Burereh (Abu Hurairah) diangkat sebagai leba di Wirasabha.[5]
Perhatian khusus yang diberikan Kertawijaya terhadap orang-orang Islam tersebut, bisa jadi karena desakan atau pengaruh dari permaisurinya yang bernama Darawati asal negeri Champa. Bisa jadi juga karena alasan politis dan diplomatik lainnya, sehingga orang-orang Muslim dari negeri Champa diberi tempat khusus di Majapahit.
Tapi terlepas dari itu, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Kertawijaya selama masa pemerintahannya inilah yang membuka kesempatan bagi kaum Muslimin di tanah Jawa untuk membangun pondasi dakwah Islam yang lebih terorganisir dan sistematis.
Prabu Kertawijaya mangkat pada tahun 1451. Posisinya kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Rajasawardhana. Dia hanya menjabat sebagai raja Majapahit selama dua tahun. Konon setelah dua tahun memerintah, Rajasawardhana hilang ingatan atau mengalami gangguan jiwa, sehingga menceburkan diri ke lautan (segara), dan mati tenggelam.[6]
Setelah kematiannya, tampuk kekuasaan Majapahit mengalami kekosongan selama tiga tahun (1453-1456) karena perang saudara di antara putra-putra Kertawijaya untuk memperebutkan tahta kerajaan. Perang ini baru berakhir setelah putra Kertawijaya yang bernama Hyang Puwawisesa atau bergelar Girisawardhana, dilantik menjadi raja Majapahit pada 1456.[7]
Dikisahkan oleh Agus Sunyoto, bahwa Girisawardhana melanjutkan kebijakan ayahnya yang memberikan porsi besar pada kerabat-kerabatnya yang muslim di dalam pemerintahan. Beberapa di antaranya: Raden Kusen, putra Arya Damar yang juga kemenakannya, diangkat menjadi Adipati Terung; Saudaranya yang lain, bernama Bhatara Katong yang juga Muslim diangkat menjadi raja di Wengker (Ponorogo); Raden Paku, keturunan Bre Wirabhumi, diangkat menjadi raja muda di Giri dengan gelar Prabu Satmata. Kelak, Raden Paku ini dikenal luas dengan julukan, Sunan Giri; Dan salah satu kerabat Muslim sang prabu yang lain bermana Raden Patah, diangkat menjadi penguasa di wilayah baru bernama Demak.[8]
Sebagai catatan, perang saudara yang berlangsung menahun di internal Majapahit, mengakibatkan kohesifitas wilayah kekuasaan mereka kian renggang. Ketika wafatnya Kertanegara, masih terpantau setidaknya 24 negara bawahan (nagara sakawat-bhumi) yang menjadi bagian dari Majapahit. Tapi ketika akhir masa pemerintahan Girisawardhana, telah bermunculan wilayah baru seperti Demak, Pengging, Giri, Sengguruh, Tepasana, Garudha, dan Surabaya.[9]
Munculnya sejumlah wilayah baru tersebut, bukan pertanda bahwa kekuasaan Majapahit kembali berjaya. Sebaliknya, kemunculan mereka merupakan dampak dari perpecahan internal di sejumlah daerah kekuasan Majapahit. Perpecahan ini kian marak, ketika Girisawardhana mangkat. Terdapat belasan wilayah baru muncul, yang masing-masingnya mendaulat diri sebagai pewaris sah tahta Majapahit.[10]
Akibatnya, sering terjadi gesekan, hingga pecah peperangan di antara mereka. Adapun ibu kota kerajaan Majapahit, pada masa itu berpindah ke wilayah pedalaman, yaitu ke Daha-Kediri. Imperium Majapahit yang bercorak kebudayaan Bahari itupun bertransformasi menjadi Negara agraris yang terkucil dari pergaulan dunia. Pelaut-pelaut Portugis yang datang ke Jawa pada awal abad 15, masih mencatat nama Majapahit sebagai Negara yang terletak di wilayah pedalaman Daha. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Nama “Lembu” dari Arya Lembu Sura menurut de Graaf dan Pigeud, menunjuk kedudukan bangsawan bahkan putra raja. Arya Lembu Sura adalah raja pribumi dan sekali-kali bukan keturunan Asia. Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2016), hal. 105
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Lihat, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh, “Al-Imam Al-Muhajir; Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash Shadiq”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 69
[5] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 106
[8] Ibid, hal. 108
[9] Ibid, hal. 111
[10] Wilayah-wilayah tersebut antara lain: Jepara, Samarang, Kendal, Pati, Tuban, Siddhayu, Gresik, Pamadegan, Arosbaya, Sumenep, Puger, Babadan, Macan Putih, Pasuruhan, Kedawung, Dengkol, Banger, Proppo, Gerongan, Gending,, Panjer, Keniten, Srengat, Jamunda, Hantang, Pamenang, Balitar, Rawa, Kampak, Pesagi, Mahespati, Pasir. Uter, Wirasari, Wedi, Taji, Bojong, Juwana, Batu Putih, Gumena, Tedunan, Jaratan, Kajongan, Pati, dan Rajagwesi. Lihat, ibid