Sejarah berdirinya Kesultanan Demak, dimulai ketika Majapahit diperintah oleh Prabu Kertawijaya (1447-1451). Menurut Agus Sunyoto, dialah Raja Majapahit pertama yang memberi perhatian besar pada perkembangan agama Islam.
Mudahnya bangsa Portugis merebut hegemoni di perairan Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah yang berkembang sebelumnya di Pulau Jawa, yaitu kemunduran Majapahit. Imperium terbesar di Nusantara ini, harus menghadapi musuh yang tidak mungkin dikalahkan oleh imperium manapun, yiatu perang saudara.
Jejak kemunduran ini dimulai pada tahun 1401-1405 atau setelah wafatnya Hayam Wuruk. Ketika itu, terjadi perang suksesi memperebutkan tahta Majapahit antara Prabu Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dengan Breh Wirabhumi (anak tiri Hayam Wuruk). [1]
Perang yang dikenal sebagai Perang Paregreg ini telah menguras kekuatan Majapahit sedemikian rupa. Sehingga membuat pengaruh Majapahit di Nusantara memudar dan kewibawaannya menurun. Beberapa negara bawahan bahkan mulai melepaskan kesetiaannya dari Majapahit.[2]
Di sisi lain, perubahan cepat yang terjadi di level global membuat segala bentuk anasir dari luar berjamur di Nusantara. Salah satu yang paling dominan adalah pengaruh agama Islam yang datang bergelombang baik dari India, Hadramaut (Yaman), maupun dari Cina dan Champa.
Sebagai catatan, pengaruh Islam yang hadir pada era ini memang memiliki metode penyebaran agak berbeda dengan sebelumnya. Bila sebelumnya Islam datang dalam bentuk komunitas atau keluarga,[3] pada masa ini, Islam masuk ke nusantara dengan didukung pengaruh diplomasi antar negara yaitu Kerajaan Majapahit dengan Dinasti Ming di Cina dan Champa di Vietnam.
Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo mengatakan, bahwa pengaruh Islam dari Cina menguat sangat pesat sejak ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho mendatangi Nusantara pada tahun 1405.[4] Ekspedisi ini secara tidak langsung menandai dimulainya proses pembangunan instalasi formal kekuasaan bangsa Cina – yang kebetulan umumnya Muslim – di Nusantara. Maka tidak mengherankan bila mereka bisa dengan cepat memanjat struktur sosial dan politik di Majapahit. Baik melalui jalur pernikahan, maupun melalui jalur politik dan profesional.
Pada masa selanjutnya, di Majapahit sudah lahir beberapa orang ningrat berdarah campuran (Arab, Cina dan Jawa) yang menjabat posisi penting di kerajaan. Sejak itu, kaum Muslimin mulai mendapat perhatian lebih dari para petinggi Majapahit.
Adapun kronologi sejarah berdirinya Kesultanan Demak, mungkin dimulai ketika Majapahit di perintah oleh Maharaja Sri Prabu Kertawijaya (1447-1451) yang bergelar Brawijaya V.[5]
Menurut Agus Sunyoto, dialah Raja Majapahit pertama yang diketahui memiliki perhatian besar pada perkembangan agama Islam. Hal itu terjadi karena selain dia memiliki kawan-kawan dan kerabat serta pembantu-pembantu beragama Islam, dua orang istrinya yang berasal dari Champa dan Cina juga adalah pemeluk agama Islam. Bahkan sebagian dari putra-putra Sri Prabu Kertawijaya, diketahui sebagai Muslim.[6]
Lebih lanjut menurut Agus Sunyoto, berdasarkan sumber hitoriografi seperti Babad Ponorogo, Babad ing Gresik, Babad Pengging, Babad Sembar, Serat Kandha, dan naskah-naskah yang berisi silsilah keturunan Prabu Keryawijaya, seperti Tedhak Demayudan, Tedhak Pusponegara, Pustaka Dharah Agung, Silsilah Jayalelana, Serat Dharah, Layang Kecacing, diketahui bahwa Prabu Keryawijaya atau Brawijaya V memilii sejumlah putra beragama Islam, seperti Arya Damar Adipati Palembang, Raden Arak-kali Batthara Katwang Adipati Ponorogo, Arya Lembu Peteng Adipati Pamadegan, Arya Menak Koncar Adipati Lumajang, Raden Bondan Kejawen Kyayi Ageng Tarub II, Raden Dhandhun Wangsaprana yang bergelar Syeikh Belabelu, dan Raden Fatah Adipati Demak.[7]
Menurut sejumlah catatan sejarah, Raden Fatah inilah yang dikatakan sebagai pendiri, sekaligus raja pertama Kesultanan Demak. Hanya saja – sebagaimana sejarah awal kemunculan Kesultanan Demak – latar belakang ataupun asal-asul Raden Fatah juga masih banyak diperdebatan. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, Tanggerang Selatan, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 102
[2] Lihat, https://satujam.com/perang-paregreg/, diakses 5 Desember 2018
[3] Pada abad ke-9 M, muncul infomasi yang mengisahkan tentang adanya migrasi besar-besaran bangsa Persia. Hal ini disampaikan oleh S.Q. Fatimi dalam karyanya “Islam Comes to Malaysia”, dan juga oleh Prof. Wan Hussein Azmi seorang peneliti dan akademisi Malaysia dalam salah satu makalahnya berjudul “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI”. Lihat, Prof. Madya DR. Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI, dalam Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 185
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 25
[5] Dalam Babad Tanah Jawi Prabu Kertawijaya disebut dengan nama Raden Alit. Dia naik tahta pada tahun 1447, menggantikan kakaknya, Rani Suhita. Karena sampai wafatnya Rani Suhita tidak dikaruniai keturunan, sehingga tampuk kekuasaan beralih ke adiknya. Setelah naik tahta, Kertawijaya bergelar Brawijaya V. Dijuluki demikian, karena dari urut-urutan raja yang pernah memerintah Majapahit, dia adalah raja laki-laki kelima, setelah Prabu Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya), Prabu Jayanegara, Prabu Rajasanegara (Hayam Wuruk), dan Prabu Wikramawardhana. Lihat, Ibid, hal. 104
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 105