Dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, sejarawan nyaris tak mungkin melewatkan arti penting dari Kesultanan Malaka. Kedudukan sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di dunia masa itu, menjadi salah satu faktor kunci yang mempercepat sirkulasi barang, informasi, dan nilai, ke seluruh Nusantara. Termasuk di antaranya, agama Islam.
Pada akhir abad ke 14 dan awal abad 15 pengaruh imperium Majapahit di seluruh nusantara melemah. Di waktu yang hampir bersamaan, lahirlah sebuah kesultanan baru di Nusantara bagian barat. Tepat di tepi celah strategis jalur laut internasional, yaitu selat Malaka. Sebagaimana posisi geografisnya, kesultanan ini kemudian dikenal dengan Kesultanan Malaka.
Hadirnya Kesultanan Malaka mengubah secara siginifkan tradisi perdagangan kuno di Nusantara dan dunia. Kesultanan ini berhasil mengkonversi posisi geo politiknya, menjadi satu kekuatan optimal yang diperhitungan baik secara strategis maupun ekonomi oleh semua kekuatan dunia yang ada di timur maupun di barat. Menurut M.C. Ricklefs, “Malaka mungkin merupakan contoh paling murni dari negara pelabuhan transito Indonesia.”[1] Menjurut Ismail Fajrie Alatas, kedudukan Malaka pada masanya telah merevisi sistem perlayaran kuno dengan meringkas jarak pelayaran antar wilayah, menjadi terpusat hanya pada dirinya. Inilah kunci kemajuan Kesultanan Malaka pada masa itu.[2]
Menariknya, selain tumbuh sebagai pusat perdagangan dunia, Malaka juga menjadi salah satu pusat perkembangan agama Islam yang paling progresif di Nusantara. Di samping karena Islam diterima sebagai agama negara, masyarakatnya terbuka dan kosmopolitan, karena di tempat inilah interaksi antar manusia terjalin dari segala penjuru dunia.
Meski kedudukan dan fungsi Malaka bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan berhasilnya penyebaran Islam di Nusantara, tapi setidaknya kesultanan ini menjadi salah satu faktor kunci yang mempercepat sirkulasi barang, informasi, ide, dan agama pada akhir abad pertengahan di Nusantara. Sehingga agama Islam bisa berkembang lebih cepat dan lebih masif dari abad-abad sebelumnya.
Tulisan sederhana ini hanya berupaya mengisahkan kronologi lahir dan berkembangnya Kesultanan Malaka, dan arti pentingnya dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Asal usul
Prof. Dr. Slamet Mulyana, dalam bukunya berjudul “Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara,” menyebutkan bahwa sebelum abad ke 14 M, Malaka adalah wilayah yang belum luas dikenal. Nama tempat ini tidak disebutkan dalam jurnal perjalanan Marco Polo yang melintasi kawasan ini pada tahun 1292 M. Demikian juga dengan Ibn Batutah, yang melintasi jalur Selat Malaka pada tahun 1345 M. Dia tidak mencatat sama sekali nama Malaka dalam jurnal perjalanannya. Dengan demikian, bisa diasumiskan bahwa kota pelabuhan ini belum berdiri atau belum dikenal pada abad ke 13 dan 14 masehi.[3]
Sebagian anggapan menyebut bahwa orang-orang yang kini menghuni kawasan Malaka datang dari utara. Mereka menyusuri dataran Asia hingga sampai ke semenanjung Malaya, dan dikenal sebagai masyarakat Melayu. Tapi menurut penelitian dari F.R.S. William Marsden, asumsi ini agaknya salah. Masyarakat Melayu yang sekarang ada di sepanjang pantai Selat Malaka, sebenarnya adalah orang-orang Sumatera yang bermigrasi ke kawasan tersebut pada sekitar abad ke 12 M. Mereka kemudian mendirikan pemukiman di sana, dan mendorong masyarakat yang sebelumnya menempati kawasan tersebut ke dalam hutan dan gunung di pedalaman. Praktis setelah itu wilayah pantai Selat Malaka di kuasai oleh orang-orang Sumatera. Inilah yang membuat masyarakat Melayu memiliki kemiripan baik dari segi bahasa, budaya dan tata kramanya dengan kebudayaan masyarakat yang ada di Sumatera.[4]
Tentang asal usul kerajaan Malaka, William Marsden merujuk pada dua kitab kuno yang menurutnya cukup otentik, yang mengisahkan sejarah migrasi masyarakat Sumatera ke kawasan tersebut. Kitab tersebut berjudul “Makuta Segala Raja-Raja”, dan kitab yang berjudul “Penurun-an Segala RajaRaja”, yang isinya mengisahkan hikayat para raja yang pernah memimpin kawasan tersebut.[5]
Berdasarkan kitab tersebut, tempat asal penduduk yang menempati pesisir pantai semenajung Malaya adalah Palembang. Pada tahun 1160 M, seorang pangeran bernama Sri Turi Buwana yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain mengkomandoi sejumlah rombongan berjalan ke wilayah yang dikenal dengan nama Ujong Tanah. Daerah Ujong Tanah yang dimaksud terletak di ujung tenggara dari semenanjung yang terletak berseberangan langsung dengan Pulau Sumatera. Sering berjalannya waktu tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan Tanah Malayo, atau Tanah Melayu.[6]
Sri Turi Buwana kemudian mendirikan sebuah kota pertama mereka yang mereka sebuat Singapura. Kota ini dengan cepat berkembang, dan memicu lahirnya kecemburuan dari adidaya Nusantara kala itu, Majapahit. Pada tahun 1208, Sri Turi Buwana wafat. Tahtanya berhasil diwariskan kepada keturunannya selama beberapa generasi. Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan cicitnya yang bernama Parameswara, kerajaan Singapura di serang oleh armada perang Majapahit.[7]
Akibat dari serangan tersebut, Kerajaan Singapura hancur tak bersisa. Tapi Parameswara berhasil melarikan diri. Dia memilih ke Utara, mencari titik tersempit di Selat Malaka dan mulai membangun kembali kekuatannya di sana. Menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana, pada waktu itu Malaka masih merupakan desa kecil di Pantai barat Semenajung, dan menjadi sarang perompak, lanun, dan nelayan. Di kampung Malaka itu Parameswara dalam waktu singkat menjadi orang paling berkuasa.[8] (AL)
Bersambung..
Catatan kaki:
[1] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 28
[2] Lihat, Ismail Farjrie Alatas, Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial &Etnisitas, dalam L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Depok, Komunitas Bambu, 2000, hal. xxx
[3] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 141
[4] Lihat, F.R.S. William Marsden, “The History Of Sumatra, Containing an Account of The Government, Laws, Customs, And Manners of The Native Inhabitants, With a Description of The Natural Productions, And a Relation of The Ancient Political State of That Island,” The Third Edition, London, LONGMAN, HURST, REES, ORME, AND BROWN, PATERNOSTER-ROW, 1811, Chapter. 18
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Op Cit, hal. 141-142