Kesultanan Malaka (2)

in Sejarah

Last updated on February 28th, 2019 05:08 am

Pada awal abad ke 15, Tiongkok menggelar ekspedisi pelayaran terbesar dalam sejarah. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang laksamana bernama Cheng Ho. Misinya untuk membangun hubungan persahabatan dengna sebanyak mungkin bangsa di dunia. Parameswara melihat kesempatan emas di sini. Dia serta merta membangun persahabatan dengan Tiongkok. Dan Malaka pun menjadi negara kuat dalam lindungan adidaya Asia tersebut.


Gambar ilustrasi. Sumber: wacana.co


Menurut M.C. Ricklefs, asal usul Kesultanan Malaka sebenarnya masih diperdebatkan. Tapi secara umum sejarawan sependapat, bahwa tokoh yang bernama Parameswara adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Malaka. Dalam riwayat yang cukup masyhur disebuatkan, bahwa Parameswara adalah seorang pangeran dari Palembang yang berhasil meloloskan diri ketika armada Majapahit menaklukkan Palembang pada tahun 1377 M. Dari Palembang, dia berlari ke utara, dan menemukan suatu tempat yang cocok dijadikan sebagai bandar perdagangan, karena posisinya yang terletak di celah tersempit Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional. Tempat ini dia kemudian mendirikan sebuah kesultanan yang di kenal dengan nama Malaka.[1]

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Kesultanan Malaka didirikan oleh Parameswara, setelah dia mengalami dua kali kekalahan beruntun dari Majapahit. Kekalahan pertama terjadi ketika terjadi perang saudara di dalam kerajaan Majapahit, pasca wafatnya Prabu Hayam Wuruk.[2]

Parameswara merupakan seorang pangeran dari Sriwijaya yang menikahi seorang putri dari Majapahit. Karena hubungan kekerabatan ini, dia kemudian harus turut serta dalam perang saudara tersebut. Akhir kisah, pihak Parameswara kalah, dan dia melarikan diri ke Tumasik (Singapura). Di sini dia lalu mendirikan sebuah kerajaan yang dia sendiri bertindak sebagai rajanya. Namun tak lama berselang, kerajaan yang dibangun oleh Parameswara kembali diserang oleh armada Majapahit. Sehingga untuk kedua kalinya di mengalami kekalahan dalam perang.[3]

Melihat kerajaannya hancur begitu saja, akhirnya Parameswara memutuskan melarikan diri dan mencari daerah sebagai harapan baru untuk kedua kalinya. Setelah mencari-cari akhirnya Parameswara memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan di daerah Semenanjung Malaya, kerajaan ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Malaka.[4]

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini Parameswara bertekad untuk membangun kekuatannya dengan lebih cermat. Dia menyadari bahwa dia berada di satu titik geo-politik yang paling krusial, yaitu di tengah jalur pelayaran dunia. Tapi saat itu Malaka hanyalah sebuah kekuatan kecil di tengah sejumlah kekautan adidaya; Majapahit di Selatan, Tiongkok di Utara, dan juga Kerajaan Siam yang hanya berjarak beberapa mil dari wilayahnya dan sudah menjadi penguasa tradisional atas jalur transportasi Selat Malaka.

Pada awal abad ke 15, terjadi sebuah perbahan dalam perimbangan kekuatan negara adidaya ini. Di Nusantara, Majapahir secara perlahan kehilangan pamornya, dan menurun penaruhnya di sejumlah wilayah di Nusantara. Pada tahun 1403, seluruh daratan Tiongkok dikuasai oleh Yung-lo yang kemudian menjadi kaisar Dinasti Ming. Dia mulai memperbaiki keadaan negaranya dari awal. Secara bertahap dia mulia memulihkan lagi kedamaian di negerinya, serta meningkatkan kesejahetaran rakyatnya. Demikian juga dalam hubungan luar negeri, dia berusaha membangun kembali hubungan dagang dan kerjasama dengan sebanyak mungkin negara. Untuk rencana terakhir ini, dia akhirnya mengirim utusan khusus untuk membawa misi persahabatannya kepada sejumlah negara baik di Asia Tenggara maupun di Asia Barat. Dan orang dipercaya mengemban misi tersebut tidak lain adalah Zheng He, atau dikenal juga dengan nama Sam Po Bo atau Cheng Ho.[5]

Tidak main-main, Cheng Ho berlayar bersama armada besar layaknya sebuah armada perang. Sebagai gambaran, pada pelayaran pertamanya, Cheng Ho membawa serta  307 unit kapal layar besar dengan total muatan 27.800 awak kapal, jauh berbeda dengan penjelajahan Christopher Columbus yang hanya membawa tiga unit kapal layar dan 88 awak kapal. Pada akhirnya, sejarah mencatat,  Cheng Ho telah berhasil melakukan perjalanan mengelilingi dunia dalam rangka eskpedisi perdamaian, yang meliputi tujuh kali pelayaran dengan total waktu selama 28 tahun (1405 M – 1433 M). Selama ekspedisi tersebut, tak kurang dari 30 negara di  Benua Asia dan Afrika telah disambangi Cheng Ho dan armadanya.[6]

Pada misi perlayarannya yang pertama itulah, armada Cheng Ho singgah di Malaka. Rombongan ini kemudian disambut suka cita oleh Parameswara. Komandan pasukan Cheng Ho yang menemui Parameswara waktu itu bernama Ying Ching. Dalam kesempatan tersebut, Parameswara menawarkan persahabatan, sekaligus pengkuan dari Kaisar Yung Lo atas legitimasinya di kawasan tersebut. Ying Ching, yang memang mengemban misi untuk membangun persahabatan, langsung mengabulkan permohonan tersebut. Bagi Parameswara, pengakuan dari adidaya semacam Tiongkok sangatlah penting. Dengan adanya pengakuan ini, dia berharap secara otomatis mendapat perlindungan dari salah satu kekuatan tersebesar di Asia masa itu. Dan ini cukup untuk menghalau keinginan Kerajaan Siam untuk menyerang kesultanannya.[7]

Untuk menunjukkan keseriusannya, Parameswara mempersembahkan bunga emas sebanyak 40 Tahil[8] kepada Yin Cing untuk diserahkan pada Kaisar Yung Lo. Persembahan ini diterima dengan suka cita oleh Yin Ching, karena pada saat itu Tiongkok memang sedang menderita kekuarangan barang-barang yang mewah dan permata-permata yang bernilai demi kepentingan para wanita. Tak cukup sampai di situ, selang beberapa tahun, Parameswara segera mengirim utusan ke Istana Tiongkok untuk secara resmi meminta pengakuan dari kaisar Yung Lo. Utusan tersebut dikaruniai sebuah cap, pakaian dari kain sutra dan pajong kuning, sebagai bukti bahwa kaisar memberikan pengakuan secara resmi pada Kesultanan Malaka yang dirajai oleh Parameswara.[9]

Tapi itu ternyata belum bisa menjamin Malaka bebas dari ancaman. Pada tahun 1409 M, armada perang Kerajaan Siam menyerang Malaka. Mendengar aksi penyerangan ini, Cheng Ho bersama armadanya secara khusus mengunjungi Malaka, sekaligus untuk menunjukkan secara resmi dukungannya pada Kesultanan Malaka. Melalui kunjungan ini juga, secara tersirat Cheng Ho ingin mengultimatum pada semua, bahwa siapa saja yang menyerang Malaka, maka itu berarti akan berurusan langsung dengan Tiongkok. Dan benar saja, sejak kunjungan tersebut, Malaka menjadi kota pelabuhan yang damai dan bebas dari gangguan negara-negara di sekitarnya.[10] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

http://nationalgeographic.grid.id/assets/img/home-ngi.png

Catatan kaki:


[1] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 27-28

[2] Lihat, Ketahui Kisah Kesultanan Malaka, http://nationalgeographic.grid.id/read/13299590/ketahui-kisah-kesultanan-malaka?page=all, diakses 23 Februari 2019

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 141

[6] Lihat, Laksamana Cheng Ho dan Ekspedisi Terbesar di Abad Ke-15, https://srivijaya.id/2018/02/18/laksamana-cheng-ho-dan-ekspedisi-terbesar-di-abad-ke-15, diakses 23 Februari 2019

[7] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Op Cit, hal. 42

[8] 1 tahil = 37,8 gram. Lihat, Ibid

[9] Ibid, hal. 142-143

[10] Lihat, M.C. Ricklefs, Op Cit, hal. 28 ke

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*