Presiden Soekarno dalam pidatonya pernah mengatakan, bahwa kedudukan agama dalam masyarakat adalah salah satu unsur mutlak di dalam segenap usaha kita di lapangan nation building. Langkah-langkah memajukan kehidupan religi ini kemudian terwujud dalam perjuangan seorang menteri yang kharismatik, mantan wartawan, santri yang intelek, sekaligus seorang ulama yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Seorang pejuang yang penuh loyalitas terhadap agama dan bangsa itu bernama Saifuddin Zuhri.
Oleh: Khairul Imam
(Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An-Nur Yogyakarta)
Pengantar
Bagi bangsa Indonesia agama seakan sudah mendarah daging dalam kehidupan. Banyak tokoh dan pemuka agama selalu unjuk gigi dan tampil dalam setiap denyut pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mereka berjuang melalui partai politik, organisasi massa, maupun jalan tradisional seperti pesantren dan lain sebagainya. Agama menjadi simbol kekuatan dalam merebut kemerdekaan, dan semakin menemukan muaranya dengan digaungkan proklamasi 1945. Agama dijadikan sebagai detak jantung dalam Pancasila dan menancap lebih dalam pada ideologi dan falsafah Negara dan UUD 1945.
Hal ini tercermin dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan nuansa religius, sekaligus memberikan makna rohani dalam mengiringi detak perjuangan bangsa Indonesia menuju bangsa yang berperadaban dan berketuhanan.
Pasca proklamasi kemerdekaan, Republik Indonesia masih dalam keadaan yang carut-marut. Pembentukan pemerintahan belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini tampak pada kabinet pertama yang dibentuk yang hanya bersifat formalitas semata dan belum bisa menjalankan roda pembangunan dan pemerintahan. Kabinet pertama dibentuk dengan menerapkan sistem presidensial, di mana presiden berfungsi sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Tak lama kemudian, kabinet ini berubah menjadi parlementer.
Dalam sistem parlementer ini sering terjadi pergantian kabinet, terhitung sejak tahun 1945-1949 telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet dengan tiga orang perdana menteri, yaitu Sutan Syharir, Amir Syarifuddin, dan Hatta. Bahkan ada sebuah kabinet yang mengendalikan pemerintahan hanya berumur satu bulan, yaitu kabinet Susanto dari tanggal 20 Desember 1949 sampai 21 Januari 1950.[1]
Dalam masa gejolak pemerintahan ini, Menteri Agama dalam setiap kabinet juga turut mengalami bongkar pasang. Akan tetapi keberadaan Menteri Agama mutlak diperlukan. Karena, sebagaimana dalam pidato Presiden Soekarno, bahwa kedudukan agama dalam masyarakat adalah salah satu unsur mutlak di dalam segenap usaha kita di lapangan nation building.[2]
Dengan demikian, untuk membumikan Islam, maka pemerintah harus dapat mendukung keberlangsungan keberagamaan masyarakat, yaitu melalui peraturan Menteri Agama, pengadaan buku-buku Islam, atau perbaikan sarana pendidikan dari tingkat bawah sampai tingkat atas, dan dukungan-dukungan lainnya. Mengingat saat itu, terutama era 1960-an, terjadi kemelut antara umat Islam dan partai beraliran komunis yang, menghembuskan nalar komunisme dalam diri bangsa Indonesia, serta tarik-menarik kepentingan antara nasionalime-agama-komunis.
Langkah-langkah memajukan kehidupan religi ini kemudian terwujud dalam perjuangan seorang menteri yang kharismatik, mantan wartawan, santri yang intelek, sekaligus seorang ulama yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Seorang pejuang yang penuh loyalitas terhadap agama dan bangsa itu bernama Saifuddin Zuhri.
Latar Belakang dan Masa Kecil
Lahir pada tanggal 1 Oktober 1919 di Kauman Sokaraja Tengah, Banyumas, Jawa Tengah dari pasangan Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Dia dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, ayahnya seorang petani-santri, dan ibunya, Siti Saudatun adalah seorang perajin batik.[3]
Meski berangkat dari keluarga sederhana, dia memiliki garis keturunan priyayi dari jalur ibunya. Ayah Saudatun yang bernama Mas Amari adalah putra orang terpandang di daerah tersebut. Ibu Saudatun yang bernama Salbiyatun adalah putri H. Asraruddin, pimpinan sebuah pesantren di Kebonkapol, Banyumas, yang juga seorang penghulu Lanraad (pengadilan negeri) di Banyumas. Namun Saudatun lebih memilih terjun di dunia bisnis dengan berprofesi sebagai pedagang batik, dan ayahnya sebagai petani yang berpenghasilan rata 15 sen sehari.
Pendidikan pertama Saifuddin dihabiskan di Sekolah Rendah Nomor Dua Bumi Putera, atau Sekolah Onko Loro (2e Inlandsche School) sampai kelas terakhir, yaitu kelas lima. Akan tetapi dia lebih memilih tidak mengambil sertifikat (ijazah), karena sertifikat itu harus ditebus dengan 50 sen, dan itu melebihi penghasilan kedua orang tuanya.
Selain itu, oleh sebagian santri yang anti-belanda sekolah itu dianggap tidak berguna. Lebih-lebih ada yang mengatakan hanya pantas untuk bungkus terasi dan tidak bisa dijadikan bekal masuk kubur. Akan tetapi, karena di lingkungannya banyak pesantren, maka dia banyak belajar dengan kyai-kyai yang ada di sekitarnya. Setiap pagi dia berangkat ke Sekolah Ongko Loro, sore hari dia belajar di Sekolah Arab, dan malam hari dia mengaji dengan ayahnya.
Selain mengaji dengan ayahnya, dia juga mengaji di pesantren-pesantren yang bertebaran di sekitarnya. Maka tak heran, dalam usia antara 13-14 tahun dia sudah menamatkan beberapa kitab kuning, seperti Safinah an-Najah, Ajurumiyyah, talim al-Mutaallim, dan Qathr al-Ghais.
Pada tahun 1929, di Sukaraja berdiri Madrasah Al-Huda Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh seorang kyai muda dari Solo bernama Ustadz Mursyid. Saifuddin kecil pun mendesak ayahnya supaya bisa masuk sekolah tersebut. Ustadz Mursyid, yang diam-diam dia kagumi, baik dari segi ilmunya maupun dari segi ketampanannya itu sudah merasuk dalam hatinya. Dia sangat ingin sekali menjadi muridnya di Madrasah Al-Huda, sebuah sekolah yang mentereng dan mempunyai nama.
Tidak biasanya sekolah-sekolah agama di daerah itu yang mempunyai nama. Biasanya hanya menggunakan inisial “Sekolah Arab”. Ustadz Mursyid, atau yang sebelumnya dikenal dengan Mas Mursyid adalah orang asli Solo yang diambil menantu oleh seorang saudagar batik di kampung tersebut. Mas Mursyid yang jago main sepak bola itu juga sangat piawai dalam penguasaan kitab-kitab kuning. Bahkan di sela-sela berdagang di pasar, dia masih sempat muthalaah kitab. Hal ini menambah kekaguman Saifuddin terhadap sosok Ustadz Mursyid. (KI)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Dzakiyatun Niswah, Pelaksanaan Demokrasi Parlementer di Indonesia tahun 1945-1959, https://www.academia.edu/5459677/Pelaksanaan_Demokrasi_Parlementer_di_Indonesia_tahun_1945-1959, diakses 12 Juni 2019
[2] Lihat, Solichin Salam, Bung Karno dan Kehidupan Berpikir dalam Islam (Jakarta: Wijaya, 1964), hal.78.
[3] Lihat, Profil KH Saifuddin Zuhri, Menteri Agama Ayah Lukman Hakim Saifuddin,
https://www.tagar.id/profil-kh-saifuddin-zuhri-menteri-agama-ayah-lukman-hakim-saifuddin, diakses 12 Juni 2019