Mozaik Peradaban Islam

KH. Saifuddin Zuhri (2): Mencari Jati Diri

in Tokoh

Masa kecil Saifuddin Zuhri dihabiskan untuk melahap kitab-kitab induk di bawah bimbingan guru ternama. Pada tahun 1937 Saifuddin merantau ke Solo. Saat itu umurnya menginjak 18 tahun. Di kota itu, Saufuddin tidak hanya belajar, tapi juga bekerja, dan mulai menapaki dunia keorganisasian.

Sumber gambar: lifestyle.okezone.com

Sejak kecil, selain ditempa melalui kegiatan belajar agama secara formal, Saifuddin Zuhri sudah akrab dengan tradisi pembahasan-pembahasan kitab-kitab babon. Pada tahun 1928-an, di Sukaraja setiap bulan diadakan pengajian khusus untuk para kiai. Meski pengajian ini merupakan forum para kiai, tetapi orang awam yang bukan golongan kiai diperbolehkan hadir sebagai pendengar.

Dalam kegiatan tersebut, para ulama dari seluruh daerah Banyumas datang menghadiri pengajian khusus ini. Kitab-kitab yang dibahas dalam pengajian tersebut antara lain; Tafsir al-Baidhawi, Hadits Shahih al-Bukhari, Ihya Ulumuddin, dan al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari. Pengajian ini diprakarsai oleh KH. Ahmad Syatibi, dan beliau terpilih sebagai guru dalam pengajian ini. Dan Ustadz Mursyid pun turut hadir sebagai pendamping KH. Ahmad Syatibi. Saifuddin pun tidak ketinggalan turut hadir sebagai pendengar yang setia. Hal ini menambah pengalaman berharga yang kelak membentuk kepribadiannya ketika dewasa. Hingga akhirnya dia bisa membuat kesimpulan-kesimpulan tentang tokoh-tokoh yang dia kagumi, terutama Ustadz Mursyid.

Setelah merayu dengan segala cara, ayahnya pun luluh, dan memasukkan Saifuddin ke Madrasah Al- Huda Nahdlatul Ulama. Memang, madrasah ini terlalu berat bagi keluarga Saifuddin, karena biayanya jauh lebih mahal dibanding Sekolah Arab pada umumnya. Sekolah Arab hanya 3 sen sebulan, sementara di Madrasah Al-Huda, ayahnya harus merogoh koceknya hingga 25 sen sebulan. Belum lagi ditambah dengan biaya Sekolah Ongko Loro setiap bulan 10 Sen. Jadi, ayahnya harus mengeluarkan sejumlah 35 sen sebulan untuk pendidikan Saifuddin.[1]

Akan tetapi keinginan kuat itu terus diperjuangkan, dan Saifuddin kecil pun merelakan waktunya yang sebelumnya sepulang sekolah digunakan untuk bermain-main, kini sebelum berangkat ke madrasah dia gunakan waktunya untuk tugas rutin; memandikan dan memberi makan dua ekor kuda peliharaan ayahnya. Dua ekor kuda penarik delman milik ayahnya yang kadang-kadang digunakan untuk mencari muatan, atau disewa penumpang ke Banyumas atau Purwokerto.

Setelah selesai mengenyam pendidikan di Madrasah Al-Huda NU, pada tahun 1937 Saifuddin merantau ke Solo. Saat itu umurnya menginjak 18 tahun. Semenjak di Solo, dia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk membiayai sekolahnya. Karena itu dia berusaha mencari pekerjaan sampingan. Pertama-tama dia berencana menjadi pelayan toko dan hotel, tetapi hal itu terdengar oleh ayahnya dan dia melarang rencana tersebut.

Kemudian, karena punya bakat menulis yang diperoleh dari guru-gurunya, dan hobinya membaca majalah dan koran-koran, dia pun melamar menjadi koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta untuk meliput berbagai peristiwa politik di Solo. Dengan itu, dia bisa melanjutkan sekolah lagi. Bahkan untuk menambah penghasilannya, dia juga membantu surat kabar berbahasa Jawa, Darmokondo, yang terbit di Solo.[2]

Semula dia masuk sekolah di Mambaul Ulum. Dia diterima di kelas tertinggi dan harus masuk siang. Karena itu, dia tidak betah dan hanya bertahan selama lima minggu. Saifuddin pun pindah ke Madrasah Salafiyah, madrasah modern dengan bahasa pengantar bahasa Arab. Di sini pun dia diterima di kelas tertinggi, yang juga masuk siang, sehingga dia tidak bisa kerja sampingan. Karena sulit baginya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan, yang dengan itu dia bisa membiayai sekolahnya.

Setelah sebulan di Madrasah Salafiyah, akhirnya dia pindah ke Madrasah Al-Islam. Di sini dia merasa betah, sebab dia bisa masuk ke kelas tertinggi dan masuk pagi hari, sehingga dia bisa sambil kerja sepulang dari sekolah. Meskipun di antara gurunya ada yang beraliran tajdid (pembaharu), yaitu Kyai Ghazali, namun pembelajaran tafsir dan fikih tetap menggunakan kitab-kitab kuning, seperti Tafsir Jalalain dan Fathul Muin. Setelah empat bulan, dia mengikuti ujian akhir dan lulus dengan mendapatkan ijazah Tsanawiyah.

Selama di Solo, Saifuddin tidak hanya mengambil dan mempelajari ilmu-ilmu agama, tetapi memanfaatkan sebagian waktunya untuk mengembangkan bakatnya dengan menulis dan mengikuti berbagai macam kursus dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dia sempat mengikuti kursus jurnalistik, kursusverkooper juga dia masuki. Dengan pertimbangan, bahwa pengetahuan verkooper penting bagi seorang mubaligh untuk bisa mencari bentuk “pemasaran” buat menghidangkan Islam kepada masyarakat.  Seorang mubaligh harus mengerti kondisi masyarakat, jiwa masyarakat, organisasi, pendekatan,dan sopan santun.

Rasa ingin tahunya yang tinggi juga mendorongnya mengikuti beragam ceramah. Dia mengikuti perkumpulan kebatinan, menghadiri ceramah-ceramah Muhammadiyah, ceramah-ceramah pastur dan pendeta Kristen,  termasuk mengikuti pengajian Alfiyah ibnu Malik di pesantren Kiai Masyhud yang terletak di dekat Pesantren Al-Islam. Selain itu, dia juga mengikuti ceramah-ceramah Pemuda Muslimin Indonesia (PSII). Dia ingin mengetahui sejauh mana pemimpin Utama H.O.S Cokroaminoto membina kader-kader PSII.[3]

Dalam pada itu, dia melihat Nahdhatul Ulama di Solo ketika itu tergolong paling lemah di antara organisasi-organisasi Islam lainnya. Dia merasakan bahwa Nahdhatul Ulama Solo ini tak jauh dengan yang ada di kampungnya, bahkan di kampungnya lebih maju dan semarak kegiatan-kegiatannya. Dia juga sempat mengikuti kongres Bahasa Indonesia sebagai tindak lanjut dari Sumpah Pemuda 1928 yang dilaksanakan di Gedung Habipraya, Solo.

Acara tersebut merupakan peristiwa nasional yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional. Selain itu, acara ini juga menjadi target korespondensi, karena bahasa Indonesia harus dikuasai oleh setiap warga Indonesia. Oleh sebab itulah, demi acara ini dia harus meninggalkan sekolah dan pesantren untuk beberapa hari.

Setelah menyelesaikan pendidikan Tsanawiyah, Saifuddin kembali pulang ke Sokaraja. Selama kurang lebih 13 bulan di Solo, dia banyak mendapatkan pengalaman berharga. Dia juga banyak berkenalan dan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh pergerakan, yang nantinya banyak mewarnai perjalanan hidupnya. Dia bercita-cita untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama di kampungnya agar maju dan tak ketinggalan. Pengalaman di Solo mampu memberikan gambaran untuk mengembangkan gerakan-gerakan yang ada di daerahnya, sekaligus memajukan sumberdaya manusia di sana. (KI)

Bersambung…..

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 3

[2] Ibid., hlm. 93

[3] Ibid., hlm. 42

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*