“Walapun Umayyah bin Khalaf dan teman-temannya membicarakan sesuatu yang buruk tentang Muhammad, namun mereka juga sebenarnya takjub dengan pribadi Muhammad. Mereka berkata bahwa Muhammad tidak pernah berdusta atau menjadi tukang sihir. Tidak pula sinting atau berubah akal.”
–O–
Bilal bin Rabah adalah seorang budak kulit hitam, dan hampir pasti orang tuanya pun budak juga. Dia diyakini berasal dari Abyssinia (sekarang dikenal sebagai Ethiopia). Orang tua Bilal termasuk tawanan yang dibawa dari Etihopia ke Arabia.[1] Terlahir dalam perbudakan, dia mungkin tidak pernah mengharapkan bentuk kehidupan untuk ditawarkan kepadanya selain dari sekadar kerja keras, kesakitan, dan kesusahan.[2]
Bilal adalah satu dari sekian banyak orang yang diperbudak oleh seorang kepala suku Quraisy bernama Umayyah bin Khalaf. Umayyah adalah salah seorang pemuka Bani Jumah.[3] Salah satu tugas yang ditugaskan oleh tuannya adalah untuk menggembalakan unta di bawah terik matahari di padang pasir Mekah pada siang hari. Di malam hari tugasnya menyajikan makanan dan anggur kepada tuannya. Umayyah bin Khalaf diriwayatkan apabila sedang makan dia seperti binatang yang makan dengan rakus sampai kekenyangan, kemudian mabuk dan tertidur.[4]
Dia memperlakukan budaknya secara tidak manusiawi, tidak ada satupun yang bisa mengatakan ‘tidak’ atas perintahnya atau menunjukkan tanda-tanda mengeluh. Umayyah bin Khalaf menyukai Bilal hanya karena tubuhnya yang kuat, jika tidak, dia pasti akan membuangnya seperti kain gombal atau membunuhnya tanpa ampun. Bilal harus melakukan yang terbaik untuk memuaskan tuannya, dia harus menjaga tubuhnya tetap kuat dan sehat sehingga bisa mengurus harta benda tuannya.[5]
Umayyah bin Khalaf membeli Bilal saat masih kecil. Dari saat pertama dia masuk ke dalam rumah tuannya, Bilal menerima semua perlakuan buruk dan kasar dari setiap anggota keluarganya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menghormati atau memberinya waktu istirahat dari banyak beban yang diperintahkannya untuk dipikul. Seiring berjalannya waktu, Bilal merasa bahwa dia akan menghabiskan seluruh hidupnya di bawah perbudakan. Dia lemah, tidak punya uang untuk membayar kebebasannya, atau memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya dari kekejaman tuannya.[6]
Bahkan jika dia ingin mencari kebebasan, seluruh masyarakat akan berbalik melawan dia. Dia akan disebut ‘budak yang melarikan diri’. Seperti biasa, Bilal menyembah berhala yang terbuat dari batu karena tuannya menginginkan dia melakukannya. Namun, Bilal tahu di dalam hatinya bahwa batu-batu semacam itu tidak akan bisa membahayakan dirinya atau pun membuatnya lebih baik. Berkali-kali, dia tertegun di depan berhala dan meminta mereka untuk memberkati dia. Dia yakin bahwa situasi masyarakat di Mekah akan berubah tapi dia tidak tahu bagaimana perubahan semacam itu akan dimulai.[7]
Berita Tentang Nabi
Hari-hari Bilal tidak berbeda dengan budak lainnya. Hari-harinya dilalui dengan rutinitas yang menyengsarakan dan tidak memiliki harapan untuk hari esok. Suatu saat, berita-berita tentang Muhammad yang diceritakan dari mulut ke mulut para penduduk Mekah sampai juga ke telinganya. Dari tamu-tamu yang datang menemui tuannya, Bilal mendengar percakapan mereka yang mengutuk, marah, menuduh, mengancam, dan membenci Muhammad.[8]
Namun, di antara pembicaraan tentang keburukan Muhammad, Bilal juga mendengar tentang ajaran-ajaran yang disampaikan Muhammad. Di antaranya yang dia dengar adalah bahwa Muhammad mengaku dirinya seorang Nabi, dan dia menyeru orang untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya; Muhammad juga menganjurkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan keadilan dan kesetaraan; bahwa semua orang sama di hadapan Pencipta mereka, satu-satunya hal yang membuat seseorang berbeda adalah keyakinannya terhadap Allah dan kebenaran-Nya; Muhammad juga mendesak orang-orang Mekah untuk meninggalkan dewa-dewa palsu mereka, dan menyembah hanya kepada Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam semesta; dan Muhammad juga menyerukan kepada pembesar-pembesar untuk memperlakukan budak mereka dengan baik.[9]
Apa yang disampaikan oleh Muhammad, bagi Bilal itu merupakan suatu hal yang aneh dan baru. Bilal semakin tertarik. Terlebih, walapun Umayyah dan teman-temannya membicarakan sesuatu yang buruk tentang Muhammad, namun mereka juga sebenarnya takjub dengan pribadi Muhammad. “Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi tukang sihir. Tidak pula sinting atau berubah akal, walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang memasuki agamanya!” kata salah seorang dari mereka kepada yang lainnya.[10]
Bilal juga mendengarkan percakapan mereka tentang kesetiaan Muhammad menjaga amanat, tentang kejujuran dan ketulusannya, tentang akhlak dan kepribadiannya. Didengarnya juga bisik-bisik mengenai sebab mereka menentang dan memusuhi Muhammad, yaitu karena: pertama, kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang, dan kedua, khawatir akan merosotnya kemuliaan suku Quraisy sebagai pemegang kuasa pusat tempat ibadah dan ritual haji di jazirah Arab, dan ketiga, kedengkian terhadap Bani Hasyim (keluarga Muhammad), mereka mempertanyakan kenapa Nabi dan Rasul baru tersebut bukannya keluar dari golongan mereka.[11]
Mendengar itu semua, di sela-sela rutinitasnya sebagai budak, keseharian Bilal selanjutnya dipenuhi dengan perenungan tentang Islam. Sepanjang hari ketika sedang menggembala ternak dia terus berpikir tentang ide-ide yang sebelumnya bahkan untuk diimajinasikan saja dia tidak berani. Dia berpikir dalam-dalam tentang Pencipta dan Ciptaannya.[12] (PH)
Feature Image by Nebil Belhaj
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Ja’far Subhani, ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 188.
[2] Aisha Stacey, “Bilal Ibn Rabah: From Slavery to Freedom”, dari laman https://www.islamreligion.com/articles/4722/viewall/bilal-ibn-rabah/#_ftn24401, diakses 18 Februari 2018.
[3] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 103.
[4] Abdul Basit Ahmad, Bilal bin Rabah, The Mu’adhdhin, (Riyadh: Darussalam, 2004), hlm 15.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm 15-16.
[7] Ibid., hlm 16.
[8] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 104.
[9] Abdul Basit Ahmad, Ibid., hlm 17.
[10] Khalid Muhammad Khalid, Loc. Cit.
[11] Ibid.
[12] Abdul Basit Ahmad, Loc. Cit.