“Secara umum fenomena perbudakan pada masa Islam terjadi bukan atas justifikasi dari Islam, tetapi kelanjutan dari fenomena yang terjadi jauh sebelum Islam. Rasulullah dan para sahabat pada era-era setelahnya selalu memerdekakan budak.”
–O–
Pada artikel sebelumnya telah dibahas, bahwa perbudakan sudah terjadi jauh hari sebelum zaman Islam. Mulai dari masa Sumeria kuno, Babilonia (masa Hammurabi), Mesir kuno, Akadia, Assiria, sampai dengan Yunani kuno. Tidak hanya sampai di sana, perbudakan juga terus berlanjut ke masa Athena, di sana para budak posisinya lebih buruk lagi, mereka tidak memiliki hak konvensional sebagai manusia seutuhnya.[1]
Mereka berada di bawah penguasaan tuan-tuan mereka, yang rata-rata bekerja di sektor domestik sebagai pelayan. Nasib para budak tersebut tergantung hubungan baik dengan tuannya. Di samping itu, mereka juga bekerja di sektor pertambangan di bawah pengawasan tuan-tuannya. Hal ini berlangsung terus sampai masa perpindahan kekuasaan ke era Romawi Kuno.[2]
Romawi Kuno, yang menganut sistem republik kemudian berganti menjadi kekaisaran, mewarisi sistem perbudakan dari Yunani dan Bangsa Fenisia (Funisia). Perbudakan di Romawi terjadi secara besar-besaran, mereka didatangkan dari negara-negara jajahan di seluruh Eropa dan Mediterania. Para budak berasal dari suku bangsa Berber, Jerman, Inggris, Thracia, Ghalia (Celtik), Yahudi, dan Arab. Jumlahnya cukup besar, populasi mereka mencapai 30% dari total populasi Kekaisaran Romawi.[3]
Para budak tersebut dipekerjakan di berbagai sektor, tetapi yang paling banyak di sektor peternakan dan domestik sebagai pelayan rumah tangga. Nasib para budak pada era ini sangat tertindas, karena di samping untuk tenaga kerja, mereka juga dijadikan objek hiburan sebagai gladiator dan pekerja seks untuk tentara dan warga Romawi. Hal ini terjadi secara merata dan besar-besaran, sehingga memunculkan pemberontakan budak beberapa kali, dan pemberontakan besar yang ketiga dipimpin oleh Spartacus (117-109 SM).[4]
Menjelang akhir kekaisaran Romawi, para penganut agama Kristen pun sempat dijadikan budak. Bahkan, sebelum Romawi menjadi negara Kristen, pada masa Kaisar Nero (37-68 M), para penganut Kristen dibantai habis dan dibakar hidup-hidup dalam peristiwa pembakaran kota Roma. Pola-pola perbudakan di Romawi berlangsung terus sampai Era Romawi Kristen dan datangnya Islam.[5]
Pada masa peralihan kejayaan dari Romawi ke Islam, yakni pada abad pertengahan, negara-negara Eropa yang telah menjadi negara Kristen juga mempraktikkan perbudakan. Hal ini terjadi secara besar-besaran ketika Bangsa Viking menaklukkan sebagian wilayah Eropa. Mereka banyak mempraktikkan perbudakan yang dikenal dengan sebutan thralls, bahkan setelah Eropa memasuki masa Renaisans, perbudakan masih tetap dipraktikkan.[6]
Di Eropa, perbudakan mengalami puncaknya ketika masa kolonialisme dan imperialisme. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di wilayah-wilayah koloni yang luas di Asia, Afrika, dan Amerika, bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugis, Spanyol mempekerjakan para budak yang berasal dari wilayah ketiga benua tersebut. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor publik, dan hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai pelayan domestik.[7]
Perbudakan di masa awal Islam
Sebelum masuk pada kisah Bilal bin Rabah, kita perlu melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat Arab terhadap perbudakan. Pada masa awal kelahiran Islam, yakni pada abad ke-7, perbudakan adalah struktur masyarakat Arab yang sangat fundamental. Perbudakan telah mengakar dalam kehidupan sesehari masyarakat Arab. Para budak biasa diperjualbelikan oleh tuan-tuan pembesar masyarakat Arab. Walaupun Islam telah lahir melalui Nabi Muhammad SAW, namun perbudakan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihapuskan. Menghapuskan perbudakan pada saat itu juga, akan menjauhkan suku-suku yang terbiasa dengan perbudakan untuk mendekat terhadap ajaran Islam. Singkat kata, perbudakan tidak bisa dihapuskan secara mendadak, terlebih pada waktu itu posisi Islam belum cukup kuat.[8]
Namun demikian, dalam perkembangannya Islam memberikan paparan tentang perbudakan dan memberikan sikap moral untuk memperlakukan budak dengan baik tidak seperti masa-masa sebelumnya.[9] Sebagaimana tercantum dalam hadist:
“Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka.” (HR. Bukhari I/16, II/123-124)[10]
“Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.” (HR. Tirmidzi)[11]
Meskipun secara syariat Islam memperbolehkan perbudakan, namun mesti dilihat konteksnya pada masa tersebut. Hal tersebut bukan untuk memperkuat posisi perbudakan dalam Islam, tetapi lebih pada penggambaran yang terjadi di masyarakat yang dihadapi oleh Rasulullah yang masih menganut sistem perbudakan, sedangkan Rasulullah dan para sahabat pada era-era setelahnya selalu memerdekakan budak.[12]
Bahkan untuk diyah/diyat (denda untuk menebus kesalahan) Islam menyuruh untuk memerdekakan budak, misalnya kafarat sumpah, riqab (bagian zakat untuk memerdekakan budak), dan denda untuk tindakan dosa tertentu (tahrir alraqabah). Islam mengajarkan persamaan derajat manusia, dan yang membedakan hanya ketakwaan saja, sehingga Al-Qur’an memuji budak hitam yang beriman dibandingkan dengan wanita cantik tetapi kafir. Secara umum fenomena perbudakan pada masa Islam terjadi bukan atas justifikasi dari Islam, tetapi kelanjutan dari fenomena yang terjadi jauh sebelum Islam. Posisi Al-Qur’an “hanya” memberikan gambaran perbudakan dalam masyarakat yang dihadapinya.[13] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, dalam jurnal Hadlarah, Universitas Muhammadiyah Malang terbitan 25 Muharam – 9 Shafar 1432 H, hlm 49.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] “Slavery in Islam”, dari laman http://www.bbc.co.uk/religion/religions/islam/history/slavery_1.shtml, diakses 16 Februari 2018.
[9] Ustadi Hamsah, Loc. Cit.
[10] Raehanul Bahraen, “Islam Kejam, Membolehkan Perbudakan?”, dari laman https://muslim.or.id/8903-islam-kejam-membolehkan-perbudakan.html, diakses 16 Februari 2018.
[11] Ibid.
[12] Ustadi Hamsah, Loc. Cit.
[13] Ibid.