Kisah Bilal bin Rabah (1): Budak yang Menjadi Muaddzin

in Tokoh

Last updated on February 16th, 2018 12:40 pm

“Sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab sangat membanggakan asal-usul keturunannya, dan di masa itu perbudakan masih merajalela. Situasi sosial seperti itu, tentunya sangat merugikan bagi seorang budak yang asal-usulnya tidak jelas, dia tidak termasuk dalam Bani (kaum/keluarga besar) mana pun. Namun apa yang terjadi pada dunia perbudakan di Arab pada saat itu sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari kondisi perbudakan yang sudah berlangsung sangat lama dalam sejarah manusia.”

–O–

Apabila diucapkan namanya, setidaknya tujuh dari sepuluh Muslim di seluruh dunia akan mengenal namanya. Derajat keterkenalan namanya bahkan setara dengan para Khulafaur Rasyidin. Bagaimana tidak, namanya diperkenalkan kepada seluruh anak-anak Muslim di dunia dari sejak usia yang sangat dini. Dialah Bilal bin Rabah, Muaddzin pertama dalam Islam, yang seruannya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Mekah.[1]

Beberapa saat setelah peristiwa futuh Mekah, tibalah waktunya shalat Dzuhur. Waktu itu ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk Islam. Pada saat-saat yang sangat bersejarah tersebut, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan Adzan. Bilal melaksanakan perintah tersebut dengan senang hati, lalu mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas. Adzan tersebut adalah adzan yang pertama dikumandangkan di Mekah dalam sejarah Islam.[2]

Namun, siapakah sebenarnya Bilal bin Rabah? Bila disebut nama Abu Bakar as-Siddiq, maka Umar bin Khattab akan berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’.” Siapakah yang dimaksud dengan ‘pemimpin kita’ oleh Umar? Dialah Bilal. Namun setiap menerima pujian yang ditujukan kepadanya, Bilal akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir yang membasahi pipinya, dia berkata, “aku ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin aku seorang budak belian.”[3]

Menurut riwayat, Bilal adalah seorang laki-laki kulit hitam, kurus, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis. Benar apa yang dikatannya, sebelumnya dia adalah seorang budak belian. Namun berkat keyakinannya yang kuat terhadap agama Islam dan kenabian Nabi Muhammad SAW, beliau mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi bersama orang-orang suci lainnya. Bahkan banyak para pemuka dan petinggi kaum Quraisy yang sebelum datangnya Islam mempunyai kedudukan jauh di atas Bilal, namun setelah datangnya Islam, mereka tidak dapat menyaingi keharuman nama seorang Bilal si budak belian.[4]

 

Sejarah Perbudakan

Sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab sangat membanggakan asal-usul keturunannya, dan di masa itu perbudakan masih merajalela. Situasi sosial seperti itu, tentunya sangat merugikan bagi seorang budak yang asal-usulnya tidak jelas, dia tidak termasuk dalam Bani (kaum/keluarga besar) mana pun. Seorang budak pada masa itu tidak memiliki hak apapun, hidupnya telah dibeli oleh harta seorang tuan. Setelah dibeli, dia murni milik tuannya, mereka bekerja menggembalakan hewan ternak milik tuan mereka. Keseharian para budak kebanyakan hanya berada di antara kambing-kambing dan unta-unta milik para pembesar.[5]

Namun apa yang terjadi pada dunia perbudakan di Arab pada saat itu sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari kondisi perbudakan yang sudah berlangsung sangat lama dalam sejarah manusia. Sejarah tertua perbudakan tertulis dapat ditemukan dalam Hukum Hammurabi (1760 SM), namun fenomena perbudakan itu sendiri sudah jauh terjadi sebelum itu, yakni pada tahun 5300 SM pada masa kejayaan Bangsa Sumeria Kuno.[6]

Hal serupa juga terjadi di Mesir Kuno, Bangsa Akadia, dan Assiria. Sekalipun demikian, sejarah perbudakan pada era tersebut tidak banyak dikenal, karena hanya Hukum Hammurabi saja yang bisa dijadikan bukti, di samping catatan hieroglif di Mesir pada masa Ramses II. Untuk era ini, yang terinformasikan dari wacana perbudakan adalah status hukum budak itu sendiri. Ini bisa dimengerti karena landasan dari sejarah ini didasarkan pada Hammurabi Code yang khusus bicara masalah hukum di Babilonia. Sedangkan di Mesir, perbudakan terjadi secara massive untuk membangun kota dan tempat-tempat lain bagi kerajaan. Untuk era-era setelah itu, perbudakan tetap terjadi dengan skala besar tetapi tidak terekam oleh sejarah secara terperinci.[7]

Sejarah perbudakan yang secara terperinci tercatat, dimulai pada era Yunani Kuno (abad ke-7 SM). Pada masa Yunani Kuno, terdapat dua karakter perbudakan yang berada di dua kota terkemuka, yakni Spartha dan Athena. Kehidupan di kedua kota di Yunani tersebut sangat tergantung pada perbudakan yang diperoleh dari peperangan. Karakter perbudakan di Sparta lebih pada posisi “pelayan dan hamba” bagi tuannya, yang lazim dikenal dengan nama helot –satu predikat yang dilekatkan pada warga dari kota Helos . Posisi mereka adalah warga tidak bebas, artinya sebagai warga yang terikat oleh aturan-aturan khusus. Helot biasa dipekerjakan di sektor pertanian dan menjadi sokoguru perekonomian Sparta. Mereka dijadikan pekerja dan bahkan dalam ritual keagamaan digunakan sebagai persembahan.[8] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (2): Perbudakan dari Masa ke Masa

Catatan Kaki:

[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), hlm 101-102.

[2] Syahruddin el-Fikri, “Muazin Pertama dalam Islam”, dari laman http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/04/13/oocdr5313-muazin-pertama-dalam-islam, diakses 15 Februari 2018.

[3] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 101.

[4] Ibid., hlm 101-102.

[5] Ibid.

[6] Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, dalam jurnal Hadlarah, Universitas Muhammadiyah Malang terbitan 25 Muharam – 9 Shafar 1432 H, hlm 48-49.

[7] Ibid., hlm 49.

[8] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*