Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (6)

in Studi Islam

Last updated on August 21st, 2022 09:23 am

Cahaya memiliki sifat kecahayaan yang sama dan identik. Perbedaan antara cahaya matahari dan cahaya lampu pada hakikatnya terletak pada efek pencahayaan keduanya. Menurut teori tasykik, wujud itu pun demikian. Dari segi kewujudannya, semua yang maujud itu identik. Tetapi, dari segi intensitas, prioritas, ketinggian, dan terutama sekali kemampuan efeknya, maujud itu berbeda-beda.

Gambar ilustrasi. Sumber: nadirhosen.net

Kaidah Kedua

Meski diungkapkan dengan aneka rumusan, para filosof dan urafa secara umum menyepakati kaidah kebertingkatan realitas. Ragam dan tingkatan realitas tidak hanya mengikuti garis vertikal (thuly) melainkan juga garis horisontal (‘aradhy) yang berlapis ganda: zhahir (lahir) dan bathin (batin).

Tiap-tiap ragam dan tingkatan yang berlapis ganda itu mempunyai sifat dan hukum yang berbeda-beda. Tetapi, sesuai dengan kaidah pertama, ada hukum-hukum abstrak dan sederhana yang mencakup seluruh ragam dan tingkatan.

Misalnya, hukum wujud. Ia berada pada segenap lapis ragam dan tingkatan realitas. Demikian pula halnya dengan sifat hidup, cahaya, dan pengetahuan. Begitulah kira-kira pengertian kaidah yang disebut oleh Mulla Shadra dengan tasykik al-wujud (gradasi wujud). Kaidah gradasi wujud ini menunjukkan kesempurnaan dan kemencakupan wujud, yang tak lain adalah watak-dasar realitas itu sendiri.

Teorti tasykik dapat disederhanakan dengan melihat pada contoh cahaya, yang memang sering dipakai oleh kalangan filosof Muslim untuk menggambarkan sifat wujud yang ‘terang dan menerangi’.

Cahaya adalah suatu fakta yang beragam selaras dengan spektrum frekuensi dan intensitasnya. Cahaya monokromatis dengan panjang gelombang 400 per seribu-juta meter dengan intensitas 10 watt tiap meter perseginya, yang terlihat secara subjektif oleh mata dan persepsi manusia sebagai cahaya ungu dengan terang sedang, berbeda dengan cahaya multiwarna atau polikromatis yang terdiri atas banyak frekuensi yang memancar dari matahari dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan jarak-tempuhnya. Dan masih tak berhingga tingkat cahaya dengan tak berhingga kemungkinan frekuensi dan tak berhingga kemungkinan intensitas lainnya.

Namun, di balik semua keragaman intensitas dan frekuensi itu, cahaya memiliki sifat kecahayaan yang sama dan identik. Perbedaan antara cahaya matahari dan cahaya lampu pada hakikatnya terletak pada efek pencahayaan keduanya.

Menurut teori tasykik, wujud itu pun demikian. Dari segi kewujudannya, semua yang maujud itu identik. Tetapi, dari segi intensitas, prioritas, ketinggian, dan terutama sekali kemampuan efeknya, maujud itu berbeda-beda.

Wujud Allah jelas paling utama (asyraf), kuat (aqwa), tinggi dan “efektif” dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada. Demikian pula wujud manusia dibandingkan dengan binatang, dan seterusnya.

Atas dasar kaidah tersebut, para filosof memaparkan bentangan gerak penyempurnaan menaik dan menurun. Yang “di atas” memberdayakan kemampuan “yang di bawah”, yang “di bawah” menyambut karunia “yang di atas” dan begitulah seterusnya. Adalah salah bila kita menganggap realitas, khususnya yang berada dalam naungan alam material, sebagai substansi yang stabil dan konstan.

Mulla Shadra menyebut ke-ada-an itu dengan kaidah al-harakah al-jauwhariyyah (gerakan substansial). Dengan ungkapan itu, Mulla Shadra melangkah lebih maju dibanding dengan para pendahulunya yang beranggapan bahwa gerak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas (kamm); kualitas (kayf); posisi (wadh’) dan tempat (‘ayn).

Gerak kuantitatif terjadi melalui perubahan jumlah dan volume; gerak kualitatif terjadi melalu perubahan warna, rasa, bau, atau kualitas-kualitas material lainnya; gerak tempat terjadi melalui perpindahan benda dari satu titik ke titik lain; gerak posisi terjadi melalui perubahan saat demi saat pada bagian-bagian objek dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut pandangan para pendahulu Mulla Shadra, substansi adalah wadah terjadinya perubahan aksidental tersebut yang bersifat stabil, tak berubah dan konstan.

Dengan kata lain, hakikat substansi tak berubah, dan yang mengalami perubahan hanyalah empat aksiden tersebut. Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa bila substansi berubah, maka manusia itu pun akan mengalami perubahan.

Saat ditanya oleh Bahmanyar mengenai apa sebab substansi tidak berubah, Ibn Sina menjawab bahwa “bila substansi berubah maka sosok Ibn Sina saat ditanya akan berbeda dengan sosok Ibn Sina saat menjawab.”

Bersambung…

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*