Lahir dan Batin

in Tasawuf

Last updated on May 7th, 2019 10:27 am

Hampir setiap hari kita mendengar kata lahir dan batin, terutama saat Lebaran. Tapi, apakah sebenarnya makna lahir dan batin? Secara umum, sisi lahir bersifat tampak, terindrai dan jasmani. Itulah bagian luar, permukaan dan bentuk dari sesuatu. Sebaliknya, sisi batin bersifat tersembunyi, gaib dan ruhani. Dan itulah bagian dalam, inti dan pusat dari sesuatu.1ehehe

Sisi lahir sesuatu pastilah bersifat kuantitif, sementara sisi batinnya bersifat kualitatif; sisi lahir sesuatu bersifat material, sementara sisi batinnya bersifat metafisikal; dan sisi lahir sesuatu bersifat aksidental, sementara sisi batinnya bersifat substansial. Sisi lahir buah apel, misalnya, tak lain dari bentuknya yang bulat, warnanya yang merah (atau hijau atau lainnya), sifatnya yang padat dan sebagainya, sedang sisi batinnya merupakan rasa yang terkandung di dalamnya. Kalau dimakan, sisi lahir apel akan menghilang dan sirna, sementara sisi batinnya akan selalu mengendap dalam ingatan pemakannya. Demikian pula halnya dengan kopi, gula, air dan segala sesuatu yang ada di alam semesta.

Dalam khazanah tasawuf, sisi lahir disejajarkan dengan dunia, kehidupan (duniawi), jasad, siang, syariat, baqa`, keragaman (katsrah), ketampakan (syahadah) dan sebagainya. Pada pihak lain, batin dihubungkan dengan “lawan-lawannya”, yakni akhirat, kematian (kehidupan ukhrawi), ruh, malam, tarikat, fana`, ketunggalan (wahdah), kegaiban (ghayb). Seperti dapat kita bayangkan, sisi lahir hanya berjumlah satu lapis, sedangkan sisi batin berlapis-lapis. Jelasnya, tidak terdapat intensitas dan gradasi dan kedalaman pada sisi lahir, sementara sisi batin mempunyai sisi yang lebih batin secara tak terbatas. Ketakterbatasan ini disebabkan oleh sifat alam batin yang imaterial dan di luar lingkaran ruang dan waktu. Alam batin tidak mengalami gerak jasmani yang membinasakan, melainkan mengalami gerak ruhani yang mengemuncak. Itulah mengapa, kendati aspek lahiriah sesuatu telah hilang lenyap ditelan bumi, aspek batinnya akan tetap abadi—kalau tidak malah terus tumbuh dan berkembang.

Ambillah contoh permohonan maaf yang kita lakukan setiap hari raya Idul Fitri. Sisi lahir tindakan tersebut ialah mengucapkan kata-kata apologetik sambil berpelukan, berjabat tangan atau lainnya—yang segera habis setelah dilakukan. Sebaliknya, sisi batin meminta maaf bisa berupa komitmen di dalam jiwa untuk tidak mengulang kesalahan kepada orang yang bersangkutan. Atau, bila kita “merasa” tidak pernah berbuat salah, maka permohonan maaf kita ialah dengan meningkatkan kualitas hubungan. Lebih batinnya lagi boleh jadi ialah menyadari banyaknya kesalahan diri atau meneguhkan hakikat dan fitrah hamba yang penuh kelemahan dan demikian seterusnya—sesuai dengan kemampuan seseorang menyelami samudra makna batin yang terkandung dalam tindakan tersebut.

Contoh lain ialah menggunjing. Pada sisi lahirnya, menggunjing ialah berkata-kata buruk tentang seorang tanpa sepengetahuannya. Tetapi, sisi batinnya ialah memakan daging bangkai saudara sendiri. Dalam sebuah hadis, sisi batin menggunjing disebutkan sebagai makanan anjing-anjing neraka. Shalat lahiriah ialah mengangkat tangan untuk takbir, membungkuk untuk ruku, meratakan muka dengan tanah untuk sujud dan sebagainya. Tetapi, sisi batinnya ialah upaya menyembah dan mendekat kepada Allah. Dalam hadis yang sangat masyhur, Rasul menggambarkan shalat sebagai mikraj orang beriman.

Semua kegiatan ibadah yang ditetapkan syariat sesungguhnya memiliki sisi batin. Ibn Arabi mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah berfirman kepada manusia dengan keseluruhannya, dan tidaklah Dia melebih-lebihkan sisi lahir ucapan-Nya atas sisi batinnya atau sebaliknya. Kebanyakan orang yang menyeru kepada agama hanya memperhatikan sisi la­hiriah pengetahuan hukum-hukum syariat, tapi lalai terhadap sisi batin hukum-hukum tersebut, kecuali segolongan kecil dari mereka yang berada di jalan Allah, yakni mereka yang menilik lahir-batin semua hukum. Tidak ada hukum lahiriah yang mereka tetapkan dalam syariat kecuali mereka temukan hubungannya dengan sisi batin manusia. Dengan demikian, mereka menangkap keseluruhan hukum agama yang disyariatkan. Mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka secara lahir dan batin, sehingga mereka berjaya dan beruntung di saat kebanyakan orang gagal dan merugi.”

Soalnya kemudian ialah bagaimana cara manusia yang hidup di alam lahir berhubungan dengan alam batin. Menurut Ibn Arabi, untuk masuk ke wilayah batin, seseorang harus “menyeberang dan melintas”. Dalam bahasa Arab menyeberang disebut ‘a-b-r. Berbagai derivat kata itu berkali-kali digunakan Al-Quran untuk konteks yang beraneka ragam. Dalam surah Yusuf (12) ayat 43, Al-Quran menggunakannya dalam konteks kemampuan takwil mimpi. Dan mimpi adalah peristiwa yang berlangsung di alam batin. Dalam surah Al-Hasyr (59) ayat 2, Al-Quran menggunakannya dalam konteks mengambil pelajaran dari kengerian yang menimpa orang-orang kafir. Seperti terungkap dalam ayat itu, mengambil pelajaran itu merupakan kegiatan batin yang hanya bisa dilakukan oleh ulî al-abshâr (orang-orang yang bermata-budi).

Pada surah Yusuf (12) ayat 111, Al-Quran kembali menegaskan bahwa ulî al-abshâr sanggup mengambil pelajaran batin (yang dalam ayat ini diacu dengan kata ‘ibrah) dari kisah-kisah para rasul. Maksudnya, di samping memiliki aspek historis yang sudah lampau dan lenyap, kisah-kisah itu juga memiliki aspek batin yang abadi—aspek yang secara apik disebut oleh Henry Corbin sebagai “meta-historis”. Demikian pula dalam surah An-Nur (24) ayat 44, Al-Quran menyatakan bahwa pembalikan siang dan malam bisa ditembus dan ditilik secara batin oleh mereka yang bermata-budi.

2 Comments

  1. Mantap untuk menambah wawasan… ada lahir ada bathin, ada siang ada malam, daratan dan lautan, langit dan bumi.. dst..dst.. yang tunggal hanya اَللّهُ. Yang esa hanya اَللّهُ. Dia maha segala-galanya..

Leave a Reply to Najmi Cancel reply

Your email address will not be published.

*