“Malcolm menunggu orang-orang Kristen bubar dari gereja, mengundang mereka untuk datang ke Kuil Nomor Tujuh. Kepada mereka Malcolm menceritakan tentang kejahatan orang-orang Kristen terhadap orang-orang kulit hitam.”
–O–
Negro Kristen di daerah Ghetto, di Harlem, New York, kebanyakan adalah para pendatang yang berasal dari selatan Amerika Serikat (AS). Kebanyakan dari mereka sudah tidak muda lagi, dan mereka adalah tipe orang yang akan pergi ke mana saja asalkan di sana ada semacam “ceramah keagamaan” yang mengajak mereka kepada kebaikan. Jadi mereka bukan tipe pemikir yang kritis yang mencari suatu kebenaran dengan pembuktian-pembuktian tertentu. Jenis orang seperti ini bagi Malcolm lebih mudah untuk dijaring.
Sekedar catatan, di wilayah bagian selatan AS pada perang sipil tahun 1861-1865 adalah wilayah yang mendukung perbudakkan. Sementara wilayah bagian utara AS, termasuk New York, adalah wilayah yang mendukung dihapuskannya perbudakkan. Jadi, orang-orang dari selatan ini adalah orang-orang yang secara historis pernah mencicipi kuatnya tradisi perbudakkan di AS.[1]
Malcolm bersama anggota Nation of Islam (NOI) lainnya memulai kegiatannya untuk menjaring calon pengikut dengan menunggu bubaran jemaat Gereja Evangelis pada hari minggu sekitar jam dua siang. “Datang dan dengarkan kita saudara dan saudari, anda belum mendengar apapun sampai anda mendengarkan ajaran dari yang mulia Elijah Muhammad,” kata para anggota NOI terhadap sekitar 30-50 orang yang baru saja keluar dari gereja.
Banyak di antara mereka yang tertarik untuk menghadiri pertemuan NOI. Malcolm sebagai pembicara memulai ceramah dengan mengangkat sebuah tema yang emosional, yakni tentang perbudakkan. Tema seperti ini sangat tepat untuk diangkat karena memang menyentuh pengalaman pribadi mereka.
“Anda melihat air mata, saudara dan saudari. . . . Air mata yang belum pernah ada lagi dari sejak saya masih kecil. Tetapi saya tidak dapat menahannya ketika saya merasakan tanggung jawab yang saya miliki untuk membantu anda memahami untuk pertama kalinya apa yang dilakukan oleh agama orang kulit putih ini—yang kita sebut Kristen—kepada kita. . . .
“Saudara dan saudari di sini, untuk pertama kalinya, tolong jangan biarkan hal itu mengejutkan anda. Saya tahu anda tidak menyangka ini. Karena hampir tidak ada dari kita orang kulit hitam yang berpikir bahwa mungkin kita membuat kesalahan tanpa bertanya-tanya apakah ada agama khusus di suatu tempat bagi kita—agama yang khusus diperuntukkan bagi orang kulit hitam.
“Nah, ada agama seperti itu. Ini disebut Islam. Biarkan saya mengejanya untuk Anda, I-S-L-A-M! Islam! Tapi saya akan memberi tahu anda tentang Islam nanti. Pertama, kita perlu memahami beberapa hal tentang Kekristenan sebelum kita bisa paham mengapa jawaban bagi kita adalah Islam….”
Kemudian selanjutnya Malcolm menceritakan tentang perbudakkan orang-orang kulit putih terhadap negro di Afrika, bagaimana Yesus digambarkan sebagai seseorang yang berambut pirang dan bermata biru hanya semata demi keuntungan orang-orang kulit putih, bagaimana orang-orang kulit hitam direndahkan dan dilecehkan, dan bagaimana struktur ketimpangan ekonomi sengaja diciptakan, dan seterusnya.
Di akhir ceramah, Malcolm selalu bertanya, “berapa banyak yang percaya terhadap apa yang telah mereka dengar?” hasilnya adalah semua orang yang hadir pasti berdiri tanpa keraguan. Namun, ketika mereka diminta untuk berdiri bagi siapapun yang ingin menjadi pengikut yang mulia Elijah Muhammad, hanya sedikit saja di antara mereka yang bersedia. Walaupun demikian, perlahan tapi pasti, pengikut NOI di New York semakin hari semakin bertambah banyak.
–O–
Demikianlah, Malcolm terus melanjutkan safari dakwahnya ke berbagai kota besar di AS. Pada tahun 1956, NOI telah memiliki sejumlah pengikut yang cukup besar. Dan bukan hanya persoalan jumlah saja, ajaran Islam versi Elijah Muhammad ini sekarang telah berhasil menjaring anggota-anggota yang berasal dari kalangan menengah ke atas, mulai dari akademisi, karyawan, pengusaha, dan bahkan beberapa orang yang memiliki jabatan di perusahaan-perusahaan milik orang kulit putih, dan semua ini membawa dampak positif bagi perkembangan organisasi yang dicita-citakan oleh Elijah Muhammad. Dari sana dia mendapatkan pendakwah-pendakwah yang muda, cerdas, dan agresif yang cocok bagi perkembangan organisasi.
Pada tahun itu juga Malcolm berhasil merekrut Louis Eugene Walcott, seorang musisi muda, pemain biola, dan juga penyanyi, yang di kemudian hari mengubah namanya menjadi Louis Farrakhan. Louis Farrakhan di era kekinian telah menjadi pengganti dari Elijah Muhammad sebagai pemimpin NOI. Sebagai pemimpin organisasi religius, suaranya cukup mewarnai dunia perpolitikkan di AS. Dia dikenal sebagai orang anti Yahudi di AS dengan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial.[2]
Masih pada tahun yang sama, Betty Shabazz bergabung dengan NOI. Dia adalah seorang perempuan negro bertubuh tinggi, bermata coklat, dan berkulit coklat namun lebih gelap dibanding Malcolm. Setelah bergabung dengan NOI, dia membuang nama belakangnya, sehingga namanya menjadi Betty X. Dia adalah istri masa depan Malcolm, kisahnya akan diceritakan pada artikel selanjutnya. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan:
Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 141-145. Adapun informasi yang didapat bukan dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.
Catatan Kaki:
[1] James McPherson, “A Defining Time in Our Nation’s History”, dari laman https://www.civilwar.org/learn/articles/brief-overview-american-civil-war, diakses 23 April 2018.
[2] Burhan Wazir, “The Observer Profile: Louis Farrakhan”, dari laman https://www.theguardian.com/news/2001/aug/05/comment.theobserver, diakses 23 April 2018.