Di tanah Arab, fenomena Mansa Musa menggugat superioritas bangsa Arab diantara bangsa-bangsa Muslim lain di dunia. Bangsa Arab, bagaimana pun memiliki perasaan sebagai bangsa unggulan, terlebih Rasulullah SAW sendiri merupakan keturunan Arab. Meski Islam datang untuk membongkar pemahaman sempit ini, namun penyakit ini tetap tumbuh, terlebih bila berhadapan dengan bangsa Afrika yang berkulit hitam, yang selama berabad-abad lamanya menempati strata terbawah, bahkan di kelas budak dalam stratifikasi masyarakat Arab Jahiliyah.
Lalu tiba-tiba datang seorang raja berkulit hitam dengan segenap kemewahan, kekuasaan, dan sifat glamornya, membanjiri kota-kota dengan emas dan kekayaan yang melimpah. Para elit lokal yang dia temui pastilah sangat terpukul oleh agregat kekayaan dan posisi kekuasaannya yang begitu jauh, jika dibandingkan dengan kekayaan dan kekuatan absolut Mansa Musa.
Di luar dunia Islam, bagi bangsa-bangsa Eropa, yang pada masa itu sedang memasuki era penjelajahan dan penemuan, fenomena Mansa Musa menjadi catatan tersendiri. Dan tak sampai 7 tahun dari masa perjalanan hajinya, nama Mansa Musa muncul di peta penguasa dan penjelajah bangsa Eropa, meskipun letak kekaisarannya sering salah tempat.
Bagi Mansa Musa sendiri, perjalanan ini menjadi titik balik dari visi pemerintahannya. Setelah melihat-lihat pemandangan di Kairo dan tempat lain, Mansa Musa melihat kemungkinan tak terbatas untuk membangun pusat-pusat kota kekaisarannya. Setelah meninggalkan Mekkah – dan kemudian Kairo – Mansa Musa membujuk sejumlah ilmuwan, arsitek, dan pengrajin untuk datang dan bekerja padanya.[1]
Begitu sampai di tanah airnya, Mansa Musa mengatur karyawan barunya untuk tugas konstruksi dalam skala yang belum pernah dilihat oleh Kekaisaran Mali. Perpustakaan, sekolah, universitas, masjid dan istana bermunculan. Mali tumbuh menjadi kota dan pusat pembelajaran abad pertengahan, dan Universitas Timbuktu, yang didirikan oleh Mansa Musa pada tahun 1327, menjadi tenar dan menarik perhatian calon ilmuwan belajar di sana.[2]
Tapi, puncak masa keemasan Mali tersebut hanya berlangsung sekejap. Mansa Musa meninggal pada 1337 setelah 25 tahun memerintah Mali. Sepanjang sejarah Mali, tak ada raja pengganti yang mampu menandingi kualitas Mansa Musa. Bahkan, ketika sejarawan Muslim yang terkenal, Ibn Khaldun menulis karya magnum opus-nya, Muqaddimah, pada tahun 1377 – atau hanya 50 tahun setelah perjalanan haji Mansa Musa ke Mekkah – Kekaisaran Mali telah mulai mengalami kemunduran yang signifikan. Akhirnya, Kekaisaran Songhai yang berbasis di Afrika Barat, dengan ibu kotanya Goa (Sekarang Nigeria), muncul dan mengalahkan Kekaisaran Mali yang kian memudar pengaruhnya pada akhir abad ke-14, 15, dan 16.[3]
Kekayaan dan kemasyuran emas Mansa Musa juga tidak selalu berujung baik. Pada tahun 1591, tentara Maroko menyerang dan menaklukkan Kekaisaran Mali, yang pada waktu itu sudah nyaris tidak ada. Sayangnya, pasukan yang menyerang sangat kecewa saat mengetahui bahwa jalan-jalan Timbuktu tidak diaspal dengan emas.
Sedang dari utara, rasa ingin tau menyeruak dipikiran bangsa Eropa. French Geographical Society menawarkan hadiah uang 10.000 franc kepada orang pertama yang mencapai Timbuktu dan kembali dengan informasi tentang kota tersebut. Hadiah tersebut akhirnya diklaim pada tahun 1820 oleh penjelajah Prancis René Caillié. Caillié melaporkan bahwa tidak ada yang menarik atau emas dari kota legendaris tersebut.[4]
Setelah kematiannya, legenda Mansa Musa hilang begitu saja, berikut emas dan segenap kekayaan alamnya yang luar biasa. Timbuktu yang dulu marak sebagai pusat produksi emas, segera menyusut pamornya sedemikian rupa, seiring dengan “menghilangnya” emas dari tanah Mali.
Tapi bagaimanapun, legenda Mansa Musa sudah menarik perhatian dunia, memunculkan rasa ingin tahu, dan bahkan – secara tidak langsung – memicu lahirnya kolonialisme bangsa-bangsa Eropa ke benua Afrika. Pertanyaan menarik di berikan oleh Eamonn Gearon, “Bila menilik ke belakang, Afrika abad ke-19 yang merupakan konsekuensi dari munculnya legenda emas Timbuktu, dan perebutan wilayah Afrika (Scramble for Africa) [5], apakah mungkin akan berbeda kisahnya bila nama Mansa Musa tidak pernah dikenal, dan daya pikat emas tidak pernah sedemikian kuat pada era Victoria?”. (AL)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] [1] Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 164
[2] http://www.businessinsider.sg/mansa-musa-the-richest-person-in-history-2016-2/?r=US&IR=T
[3] Eamonn Gearon, Op Cit, Hal. 166
[4] Ibid, Hal. 166
[5] Abad ke-19 hampir seluruh negara Eropa Barat memiliki tanah jajahan di Afrika, dan pada akhir abad 19, hampir seluruh wilayah Afrika sudah dibagi habis oleh negara kolonialis Eropa. Melalui serangkaian pertemuan di Berlin, London dan Paris serta kota lainnya, para negarawan dan diplomat asyik melakukan pembicaraan dan pendekatan dalam rangka membagi-bagi wilayah koloni di Afrika (Scramble for Africa), meski peta yang dipakai oleh mereka tidak akurat. Banyak wilayah yang belum mereka ketahui (terra incognita), tapi dibagi begitu saja. Para perunding hanya menarik garis lurus pada peta yang tidak akurat itu, tanpa memperdulikan kondisi di lapangan. Lihat, DR. Abdul Hamid Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, Bandung, Penerbit Angkasa, 2008, Hal. 14