Masjid Al-Ghamamah: Tempat Bersimpuh di Bawah Redupnya Awan

in Arsitektur

Masjid Al-Ghamamah dibangun sekitar 70 tahun setelah wafatnya Rasulullah, merupakan salah satu dari 4 masjid yang melingkupi Masjid Nabawi di Madinah. Terletak 300 meter sebelah barat daya Masjid Nabawi. Sama seperti masjid tertua lainnya di Madinah, Masjid Al-Ghamamah sarat akan sejarah semenjak zaman Nabi berhijrah ke Madinah. Meski pada masa itu, belum menjadi sebuah masjid seperti sekarang.”

Sumber: madainproject

Sejarah Awal Nama Al-Ghamamah

Masjid Al-Ghamamah hanya merupakan sebuah lahan kosong yang lapang, ketika Nabi hijrah ke Madinah. Dari beberapa sumber, lapang tersebut digunakan oleh Rasulullah sebagai tempat ibadah salat Ied pertama setelah di Madinah, juga kegiatan ibadah lainnya sehingga memiliki nama lain yaitu Al-Mushalla (tanah lapang tempat salat).

Abu Hurairah meriwayatkan, setiap kali Rasulullah melalui Al-Mushalla, maka Nabi akan menghadap ke arah kiblat dan berdoa.

Nama Al-Ghamamah yang berarti awan atau mendung, tertuang dalam beberapa riwayat yang menarik. Salah satu sumber menyebutkan, ketika melaksanakan salat di lapang tersebut, datang arakan awan yang menghalangi sinar matahari dari Nabi. Sehingga teriknya matahari tidak mengganggu kegiatan ibadah.[1]

Adapun sumber lain yang mengisahkan tentang sejarah disebutnya Al-Mushalla dengan nama Al-Ghamamah. Kala itu, Madinah sedang dilanda kekeringan hampir satu tahun. Lalu penduduk Madinah pun mengeluh kepada Rasulullah mengenai kurangnya air dan kesulitan yang mereka alami. Nabi yang sedang berada di Masjid Nabawi pun berdiri dan keluar, lalu mengajak untuk melakukan salat Istisqa (meminta hujan) di lokasi tersebut. Setelah salat Istisqa dilaksanakan, lalu datanglah awan-awan dan hujan pun turun.

Abdullah bin Zaid dari hadis Bukhari meriwayatkan, “Nabi mengajak penduduk pergi ke Al-Mushalla untuk melakukan shalat istisqa. Nabi membalikkan selendangnya dan salat mengimami kami dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya dalam dua rakaat itu. Lalu mereka dituruni hujan.”[2]

Di Al-Mushalla pun pernah dilaksanakan salat gaib Raja Najashi, penguasa Abyssinia (sekarang Ethiopia). Ia adalah seorang raja yang sebelumnya memeluk agama Kristen, tetapi menerima kelompok-kelompok muslim yang hijrah ke Habasyah. Ketika ia wafat, tidak ada yang bisa mengimami salat jenazah. Maka Rasulullah yang menjadi imam untuk salat gaib Raja Najashi, yang jasadnya tidak dimakamkan di Madinah melainkan di Ethiopia.

Pembangunan Masjid

Khalifah Umar bin Khattab membangun sebuah masjid kecil, sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah di lahan kosong tersebut, dan pada masa itu disebut Al-Mushalla. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dibangun kembali antara tahun 86 – 93 H. Sayangnya, masjid ini sempat tidak digunakan dan dibiarkan rusak.

Lalu di tahun 1340 M, Sultan Hasan bin Muhammad bin Qalawan al-Shalihi merenovasi kembali Masjid Al-Ghamamah. Lalu dibangun dan diperluas oleh Syarif Saifuddin Inal al-Ala’i pada tahun 1622 M.

Di masa Ottoman, Masjid Al-Ghamamah diperbaharui kembali oleh Sultan Abdul Majid al-Utsmani (1859 M), dan bentuknya kurang lebih menyerupai bentuk masjid yang ada pada saat ini.

Masjid Al-Ghamamah mengalami renovasi secara ekstensif oleh Raja Fahad bin Abdul Aziz al-Saud sekitar tahun 1990-an. Sang raja mempertahankan sebagian besar gaya arsitektur bangunan era Utsmaniyah, termasuk menara.

Kubah di Masjid Al-Ghamamah ada enam, dan berbentuk lingkaran. Kubah terbesar berada di bagian atas mihrab, sedangkan lima kubah di atas area teras. Ini tidak diubah dan mengikuti gaya arsitektur Ottoman sebelumnya.

Menara masjid berada di sudut barat laut, sebelumnya berbentuk segi empat yang sama tingginya dengan masjid. Namun, kini menjadi segi delapan.

Masjid Al-Ghamamah merupakan bangunan berbentuk persegi panjang, yang tidak terlalu besar, sekitar 50 x 30 meter. Terbagi atas dua bagian yakni aula salat dan jalan masuk. Eksterior dinding masjid dibuat dari batu basal hitam. Lengkungan luar masjid merupakan mahakarya arsitektur yang langka, batu-batu berwarna gelap dipisahkan oleh garis-garis putih.

Di pintu masuk bangunan, tulisan Masjid Al-Ghamama terukir dalam tulisan kaligrafi yang indah, ditempatkan pada sebuah panel berwarna hijau. Pintunya sendiri terbuat dari kayu dengan hiasan khas era Utsmani. Bagian interior dicat berwarna putih, sementara untuk lengkungan dan pilar diarsir dengan warna hitam.

Masjid Al-Ghamama dibuka untuk para jemaah untuk salat lima waktu, dengan sistem suara internal untuk menghindari benturan suara dari Masjid Nabawi. (TR)

Catatan kaki:


[1] Arab News, The Place: Al-Ghamama Mosque in Madinah, where Prophet Muhammad offered Eid and Raid prayers, pada laman https://www.arabnews.com/node/2092161/saudi-arabia diakses pada 2 Juli 2023

[2] BPKH, Masjid Awan, Tempat Rasulullah Berdoa Minta Diturunkan Hujan, pada laman https://bpkh.go.id/masjid-awan-tempat-rasulullah-berdoa-minta-diturunkan-hujan/ diakses pada 2 Juli 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*