Masjid Larabanga, Ghana: “Mekah” di Afrika Barat

in Arsitektur

“Masjid Larabanga, Ghana, Afrika Barat, masjid ini merupakan masjid bersejarah karena merupakan masjid tertua di Ghana dan Afrika Barat. Tapi jangan bandingkan dengan masjid bersejarah di tempat-tempat lainnya yang menampilkan kemegahan dan kemewahan sebuah bangunan, masjid ini sangat sederhana dengan luasnya yang hanya kurang lebih 8 x 8 meter dan material bangunannya terbuat dari lumpur, batang kayu gelondongan, dan gelagah. Majid ini juga dikonotasikan sebagai “Mekah” di Afrika Barat karena sejarah dan nilai sejarah arsitekturnya.[1]

–O–

Masjid ini memiliki empat pintu masuk yang kecil, dan masing-masing pintu diperuntukkan untuk orang-orang yang berbeda, yaitu laki-laki, perempuan, Kepala Desa dan Imam, dan Muazin. Karena memiliki luas yang kecil, maka setiap kali shalat jum’at diselenggarakan para jamaah sampai membludak ke luar masjid. Menurut penduduk setempat, ketika shalat jum’at sebanyak 12 klan hadir di masjid ini, total jamaah mencapai 4.000 orang. Untuk menjangkau pendengaran orang sebanyak itu maka pengurus masjid mesti mempersiapkan pengeras suara. Masih menurut masyarakat setempat, isi masjidnya dapat menampung sebanyak 200 orang, yang mana dengan luas hanya 64 m2 cukup meragukan.[2]

Salah satu pintu masuk masjid. Photo: Rachel Zack
Material masjid terbuat dari lumpur, batang kayu gelondongan, dan gelagah. Photo: Monocletophat123

Setiap tahun ketika musim hujan berlangsung, beberapa bagian dari masjid ini hilang karena terbawa air. Sehingga setiap tahunnya selepas musim hujan masjid ini mesti diperbaiki dan dicat ulang.[3] World Monuments Fund (WMF), sebuah organisasi non-profit yang bergerak untuk melakukan penyelamatan terhadap situs-situs arsitektural bersejarah di dunia telah berkontribusi secara substansial terhadap restorasi masjid ini. Mereka mengkategorikan Masjid Larabanga sebagai salah satu dari 100 situs yang paling terancam punah.[4]

Sebelumnya pada tahun 1970an pernah diupayakan restorasi menggunakan material modern, yakni semen. Namun ternyata semen malah mengakibatkan kerusakan yang lebih parah, dinding bangunan menjadi lembab karena air terperangkap di dalamnya dan mengakibatkan kayu-kayu penyangga membusuk dan digerogoti rayap. Kerusakan diperparah oleh angin dan hujan yang mempercepat runtuhnya menara masjid.[5]

Kondisi masjid ketika sebelum direstorasi. Photo: Jurgen

Kemudian mulai dari tahun 2002 WMF mulai melakukan upaya restorasi, kali ini mereka menggunakan pendekatan tradisional, semen-semen di dinding bangunan disingkirkan dan mereka kembali menggunakan plester yang berbasis lumpur yang bersumber dari lokasi setempat. Selain itu mereka juga mengganti kayu yang membusuk, memperbaiki portal bangunan, dan merekonstruksi menara dan mihrab yang roboh. Website resmi WMF mengatakan bahwa projek restorasi telah selesai.[6]

Kondisi masjid setelah restorasi oleh WMF. Photo: WMF

 

Gaya Arsitektur

Secara arsitektural, masjid kuno di wilayah Utara Ghana termasuk ke dalam gaya Sudanic-Sahelian, bangunan serupa dapat ditemukan di daerah Burkina Faso dan Pantai Gading. Gaya ini merupakan perpaduan antara kaidah arsitektur secara umum dengan arsitektur vernakular yang menjunjung tinggi kekhasan lokal. Ada dua gaya utama dalam masjid ini, yaitu  gaya Sudan dan Gaya Djenne.[7]

Gaya Djenne memiliki ciri bangunan persegi panjang tanpa penopang. Dindingnya memiliki bantalan beban dan atap datar yang dikelilingi oleh tembok pembatas. Biasanya ada satu menara di salah satu ujung persegi panjang. Sebuah contoh khas dari masjid ini adalah Masjid Wuriyanga yang terletak di Upper East Region, sebuah kota dekat perbatasan wilayah utara dan Togo, terbentang di antara Garu di wilayah timur atas dan Nalerigu di wilayah utara.[8]

Gaya Sudan, meski berbentuk segi empat, memiliki struktur rangka kayu atau pilar yang menopang atap. Hal ini ditandai dengan dua menara piramidal (menara dan mihrab) yang ditopang oleh sejumlah penopang yang tidak beraturan. Puncak masjid diposisikan di atas tembok pembatas yang membuat masjid menjadi lebih tinggi. Masjid Larabanga adalah contoh dari arsitektur gaya ini.[9]

Kondisi di dalam masjid. Photo: WMF

 

Sejarah

Ada beberapa kontroversi mengenai kapan tepatnya masjid itu dibangun, dan siapa yang membangunnya. Masjid tersebut diduga didirikan pada tahun 1421 M. Dikisahkan terdapat seorang pedagang muslim bernama Ayuba yang sedang melintas ke daerah tersebut. Ayuba bermalam di sana dan dia bermimpi mendapat perintah untuk membangun masjid di sana. Besok paginya ketika dia terbangun, secara misterius pondasi masjid sudah ada di sana, maka dia melanjutkan pembangunan sampai masjid selesai dibangun.[10]

Versi lain mengatakan, berdasarkan cerita dari penduduk lokal, Ayuba ketika di lokasi tersebut melemparkan tombak ke udara dan kemudian dia tidur di tempat tepat di mana tombak tersebut terjatuh. Selanjutnya kisahnya sama seperti paraghrap di atas. Dikisahkan, selama proses pembangunan, setiap pagi Ayuba terbangun, bangunan sudah bertambah tinggi melebihi dari apa yang dikerjakan. Masyarakat mempercayainya bahwa itu adalah bantuan langsung dari Allah SWT.[11]

Ayuba memutuskan untuk terus tinggal di daerah tersebut sampai akhir hayatnya, dia dikuburkan di bawah pohon Baobab yang ada di dekat salah satu pintu masuk masjid. Konon. Setelah Ayuba dikuburkan di sana, daun dari pohon tersebut menjadi memiliki kemujaraban untuk menyembuhkan. Masyarakat setempat seringkali mengambil daun dari pohon tersebut untuk dimakan.[12]

Salah seorang penduduk setempat berdiri di samping masjid. Photo: Dieu-Donné Gameli
Pohon Baobab di samping masjid, Ayuba, pendiri masjid dimakamkan di bawahnya. Photo: Stig Nygaard

Di Masjid tersebut terdapat sebuah Al-Quran tahun dari tahun 1650. Masyarakat setempat meyakini bahwa Al-Quran tersebut dikirim langsung dari surga untuk Imam setempat waktu itu yang bernama Bramah.[13] Versi lain mengatakan Ibrahim pemimpin spiritual dari Kerajaan Gonja merasa kekurangan Al-Quran yang pada saat itu jumlahnya hanya ada tujuh dan semuanya hasil dari tulisan tangan. Ibrahim kemudian berdoa meminta Al-Quran dekat di sebuah batu mistis yang terletak tidak jauh dari Masjid Larabanga. Doa tersebut dikabulkan dan Ibrahim mendapat Al-Quran langsung dari surga. Kini, Al-Quran tersebut dijaga dan dipelihara oleh pengurus setempat. Setiap tahun baru Islam, Al-Quran tersebut dibawa dalam acara festival obor.[14] (PH)

Catatan Kaki:

[1] “Ancient Mosques of the Northern Region”, dari laman http://www.ghanamuseums.org/ancient-mosques.php, diakses 1 Januari 2018.

[2] “Larabanga Mosque”, dari laman http://www.ghana.photographers-resource.com/locations/Heritage/LG/Larabanga_Mosque.htm, diakses 1 Januari 2018.

[3] Ibid.

[4] “Larabanga Mosque”, dari laman https://en.wikipedia.org/wiki/Larabanga_Mosque, diakses 1 Januari 2018.

[5] “Larabanga Mosque”, dari laman https://www.wmf.org/project/larabanga-mosque, diakses 1 Januari 2018.

[6] Ibid.

[7] “Ancient Mosques of the Northern Region”, Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] “Larabanga Mosque”, dari laman http://www.ghana.photographers-resource.com/locations/Heritage/LG/Larabanga_Mosque.htm, Ibid.

[12] “Larabanga Mosque”, dari laman https://www.atlasobscura.com/places/larabanga-mosque, diakses 1 Januari 2018.

[13] “Ancient Mosques of the Northern Region”, Ibid.

[14] “Larabanga Mosque”, dari laman http://www.ghana.photographers-resource.com/locations/Heritage/LG/Larabanga_Mosque.htm, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*